Foto: Dok. Pribadi
Foto: Dok. Pribadi

Oleh: Bambang Asrini Widjanarko, Perupa, Kurator dan Penulis Seni

Seharusnya tatkala kegalauan memuncak dan kondisi bangsa tak sedang baik-baik saja, kaum seniman lebih banyak bersuara. Bukankah mereka adalah ‘mahluk yang paling peka’ jika sesuatu terjadi, menghadirkan empati sosial pun kultural dalam ingatan-ingatan komunal tentang negeri? Seperti pernyataan “Bapak Realisme-Sosialis Seni Rupa”, yakni S.Sudjojono yang sudah menjadi klasik “bahwa kebenaran nomor satu daripada kebagusan” ujarnya satu saat.

Penulis sebagai Kurator dan perupa, mau tak mau memberanikan diri mengupas dan menafsirkan sejumlah fenomena kondisi bangsa saat ini dengan menyodorkan karya personal bertajuk Menolak Dikerdilkan. Sebuah karya lukisan berjenis drawing yang menggunakan media pensil, acrylic dan sticker, yang jamak disebut karya mixed media diatas kertas berukuran 60×40 cm.

Karya memberi presentasi sebuah imej cakar Elang atau Naga? Entahlah, Anda bisa menfsirkan sendiri. Cakar tersebut, lebih besar ukurannya ketimbang ilustrasi sosok Garuda Merah yang berpose “separuh miring” telentang dibawahnya. Yang diimbuhi latar gelap, mungkin sehitam nasib bangsa saat ini. Sementara imej siluet Garuda Pancasila berwarna Merah bisa diartikan lebih cair sebagai sikap keberanian, marah atau lantang bersuara? Anda bebas untuk menafsirkannya.

Tentunya seni bisa disikapi dan dimengerti dengan muti-tafsir dan Anda berhak pula merelasikan karya itu yang berjudul Menolak Dikerdilkan dengan lebih kaya, namun semoga itu menyiratkan keprihatinan dan kegundahan sekaligus harapan yang bisa jadi pupus dan Garuda yang sedang dikerdilkan saat ini?

Soekarno dan Ingatan Kolektif Philosophische Grondslag 

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sejak dua dekade semacam momok yang menakutkan, menteror saat sama mengikis kepercayaan kita pada hukum yang tak tegak di negeri ini. Ingatan kolektif kemudian terbang menghinggapi benak, tatkala Soekarno menyatakan Pancasila dengan pekiknya bahwa Pancasila adalah Philosophische Grondslag, yakni philosophische berarti “bersifat filosofis” dan grondslag berarti “dasar” atau “landasan”.

Pancasila, yang kemudian menjadi “jagoan” dalam lukisan penulis, yang seharusnya menjadi simbol hulu dari segala aturan dan sistem bermasyarakat kita lumpuh, juga falsafah menjadi “landasan bangsa” seperti jargon-jargon yang ‘gamang tak berdaya’?

Penulis terus bertanya-tanya dalam ‘igauan lukisan’, serta meraba-raba imajinasi tentang Pancasila yang Philosophische Grondslag ala Soekarno itu, konon tiga sila awal, amat dijunjung fundamennya sebagai ‘amusi awal’, yakni tentang Ketuhanan yang menjadi hulu segalanya, mendorong perlakuan keseteraan antar anngota masyarakat demi memuliakan Keadaban Kemanusiaan serta menjamin Nasionalisme bagi Indonesia yang tak retak.

Sementara, dengan fundamen ke-3 sila di awal tersebut, kita menyongsong instrumen kokoh berjuluk Demokrasi yang bersandar pada Hikmah dan Kebijaksaanaan sesuai akar-akar kultur kita, yang pada akhir hari mewujudkan Keadilan Sosial dalam sila ke-5 sebagai hilir lautan utopia yang tak terbatas: Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Kertaraharja. Tapi, mimpi itu muskil jadi sandaran, senyatanya dengan realitas hari ini yang memiriskan hati.

Seni, benarkah ia menjadi pengingat dari simbol-simbol maknawi tentang bagaimana seseorang atau sekelompok masyarakat mengalami dan membangun imajinasi estetik bersama tentang Indonesia yang baik-baik saja?

Foto: Lukisan Bambang Asrini Widjanarko
Foto: Lukisan Bambang Asrini Widjanarko

Ancaman Kebebasan Berekspresi

Kekerdilan sang Garuda Merah, bisa jadi minusnya dialektika proses kebudayaan yang dikonstruksi oleh kaum elit (negara), sekaligus mereka yang kurang percaya ada harapan anyar terhampar dalam emansipatoris publik secara organik (warga).

Simbol Garuda Merah namun “mungil” dan berdiri serong tak tegak itu, kembali mengingat ada sejumlah isu yang ditengarai sebagai ancaman kebebasan berekspresi hari-hari ini, usai Desember 2024 lalu lima karya dalam Pameran Lukisan di Galeri Nasional disangka vulgar dan pameran terpaksa “ditunda” atau dihentikan sama sekali; seterusnya dari gejala paranoid pihak kampus ISBI yang “menggembok” pementasan Tetater legendaris Payung Hitam di Bandung sampai sebuah band Indie yang “teraniaya” diwajibkan membuat klarifikasi dan dipaksa membuka topeng.

Sebagai paras keyakinan musisi untuk anonim di sosial media oleh apparat kemanan tentu ini mengecewakan pun aksi melanggar hak-hak warga, yang benar-benar menyedihkan; dan barusan terjadi penghapusan mural kutipan Proklamator Bung Hatta tentang Kedaulatan Pangan di sebuah mural di Jakarta Timur, entah apa maksudnya yang sampai sekarang “oknum masyarakat” atau “oknum apparat” beum diketahui itikad dibelakangnya.

Sudah terang-benderang bahwa amanat UUD 45 pasal 32, ayat 1 bahwa negara wajib merealisasikan Pemajuan Kebudayaan, sementara warga sudah selayaknya memiliki hak atas proses kepemilikan Kecerdasan dan Kebudayaan itu sesuai ekspresi lokalnya. Tentu tanpa kehilangan harkat-martabatnya sebagai warga global di iklim digital (netizen) pun tak adanya represi dari negara memanifestasikan eksistensi kulturalnya secara merdeka.

Menolak Dikerdilkan, mungkin bagi penulis adalah semacam upaya membuka dialog yang tersumbat, yang tak bisa dipungkiri ada ketegangan antara Warga dan Negara, serta Yang Organik dan Yang Elitis. Taruhan berbagai fenomena sepuluh tahun terakhir di Indonesia, terjadi ketimpangan-ketimpangan sosial, gejala koruptif tumbuh subur terserak dimana-mana dan penegakan hukum lemah, membuat publik tak mampu bersuara membangun dialog dengan penguasa. Karya-karya seni, semacam apa yang kreasikan oleh penulis adalah semacam suara samar-samar yang berharap didengar dan menjadi pencerahan kelak untuk saling bertutur-sapa, sama berbilang mendekap, saling jaga antar komunitaskomunitas seiman kita. Salam Budaya.*