Jakarta, Penaberita.id—Seekor ikan hiu berwarna gelap pekat berukuran biasa terdampar di ruang belakang gedung pamer utama Galeri Nasional Indonesia. Ikan hiu dengan sisik belakang yang merinding itu sepertinya sedang menampakkannya ketidakberdayaannya. Bukan. Bukan karena ia kini sedang dicucuk punggungnya dan digantung di ruang pameran, tapi air mukanya yang muram itu seakan menjelaskan sekaligus bertanya; saya tak lagi jadi predator, lantas siapa yang menjadi predator sesungguhnya?
Begitulah semacam karya instalasi (patung) dari perupa muda asal Pulau Dewata, Bali, I Made Santika Putra dengan judul, “Who is the Predator Now?” Semacam pertanyaan yang menjadi perenungan dalam diri kita (apresiator) tentang kondisi kekinian negeri maupun dunia. Di bilik pameran lainnya, terlihat lukisan abstrak yang membentak secara vertikal maupun horizontal karya Friski Jayantoro dengan judul, “Hiduplah Dimasamu”.
Di atas kanvas berukuran 120×320 cm itu tampak garis yang semeraut dengan baluran warna yang terkadang gelap tak jarang terang. Sekilas lukisan tersebut seperti sedang menghubungkan antara ruang dan waktu beserta musim-musim yang terjadi pada masa itu. Pada sisi lain, ruang dan waktu ini tegak lurus dengan tubuh dan pikiran. Dengan kata lain, ketertautan yang saling memengaruhi antara kecemasan dan kondisi tubuh (sehat-kurang sehat-sakit). Namun masih ada harapan.
Kata pelukis muda yang berdomisili di Kota Batu, Jawa Timur itu, quarterlife crisis sangat membuat mental menurun, mungkin disisi lain dalam relitasnya organ tubuh kita tetap bergerak seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi pikiran kadangkala terasa diam ter-Freeze dengan memikirkan kecemasan akan masa depan. Harapan untuk lepas dr kegelisahan ini sungguh tinggi, tapi selalu berusaha tidak lupa untuk selalu menyadarkan diri sendiri agar hidup di masa sekarang atau masa yang sedang di jalani. Jalani saja mengalir, mengalir bukan berarti tanpa tujuan tapi mengalir mengikuti hati dan kemapuan.
“ Apa yang terjadi di masa lalu tidak dapat kita di rubah, namun apa yang ada di masa depan, masih bisa terpengaruh dan tergantung pada apa yang kita lakukan hari ini,” katanya.
Dalam perbincangan singkat malam selepas pembukaan pameran, Friski menerangkan kalau dirinya sebelumnya melukis dengan gaya realis. Namun seiring dengan banyak pengaruh serta bertambahnya pengalaman dan imajinasi kemudian ia mulai melukis dengan gaya abstrak.
“Dalam suatu diskusi santai, banyak teman-teman muda maupun senior yang mengapresiasi lukisan realis saya. Namun, kata mereka tak ada energi. Tak ada ruh dalam lukisan realis saya. Pun saya merasakan hal yang sama, ketika melukis realis saya seperti bisa menerka akan jadi seperti apa lukisan ini. Berangkat dari kecemasan dan ketidakpuasaan itu, kemudian saya berproses dan melukis dengan gaya abstrak,” ungkapnya.

Yang pasti, selain kedua perupa yang dibahas di atas, masih banyak karya-karya para perupa kontemporer Tanah Air dan juga perupa dari negara lain yang dihadirkan dalam helatan pameran yang bertajuk, “New Hope” alias Harapan Baru. Pameran yang digelar oleh Art Xchange Gallery di Hall A Galeri Nasional Indonesia tersebut berlangsung pada 3 – 23 Februari 2023.
Harapan Baru
Meski Pandemi Covid-19 sudah bisa diatasi, bukan berarti kecemasan sudah usai; Perang yang berkecamuk antara Rusia dan Ukraina, kondisi geopolitik global yang terus memanas serta bersitegangnya antara negara-negara adikuasa. Yang tak kalah pentingnya, banyak prediksi tentang payahnya perekonomian dunia karena beberapa negara-negara Eropa sudah mengalami krisis energi dan ekonomi.
Lantas, yang menjadi pertanyaan kemudian, di tengah kondisi yang tak menentu seperti itu, masihkah ada harapan baru di dunia seni rupa, khususnya seni rupa Tanah Air dari kaca mata para owner atawa pemilik galeri? Atawa para pebisnis karya-karya seni rupa?
Terkait pameran serta menyoal kesenirupaan dan krisis-krisis yang melanda dunia serta negeri ini, di bawah keteduhan langit malam di pusat Jakarta, owner Art Xchange Gallery, Benny Oentoro menjelaskan, bahwa saat ini pasar seni dunia dinilai tidak sehat. Kami telah mengalami momen atau periode di mana Seni Rupa akhir-akhir ini berada pada kondisi yang buruk. Bahkan sebelum Pandemi Covid 19 melanda, pasar Seni sudah terpuruk yang diakibatkan oleh kerancuan dari pasar primer dan sekunder sendiri.

Lantas, upaya-upaya perbaikan itu pun dilakukan. Ada seniman mencoba mempromosikan karya mereka sendiri dan melangkahi fungsi galeri; Kolektor percaya bahwa mereka membantu artis dengan membeli langsung dari artis, tanpa menyadari bahwa ini mengacaukan sistem, sehingga merusak ikatan antara artis dengan galeri yang mempromosikannya; Kurator mencoba menjadi dealer seni, balai lelang mencoba memasuki pasar primer dengan berhubungan langsung dengan Seniman dan seterusnya. Semua pergolakan ini merugikan pasar seni. Jika ingin Pasar kita sehat, semua pemain harus tetap teguh pada posisinya masing-masing.
“Kami percaya bahwa harapan itu selalu ada, harapan baru untuk pasar seni kita, selama kita berjuang untuk itu, tetap bersatu sebagai Tim dan saling membantu satu sama lain,” pungkasnya. *** Frans P