Selain memiliki potensi kekayaan alam, sumber daya manusia, Indonesia juga memunyai kekayaan budaya yang sungguh sangat luar biasa melimpahnya. Bahkan, terkait kekayaan budaya ini, dalam Sidang Umum Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization – UNESCO) ke-39, Asisten Direktur Jendral UNESCO Bidang Budaya (ADG Culture), Fransesco Bandarin mengatakan Indonesia adalah negara super power dibidang budaya.
Dengan kekayaan budaya yang sedemikian besar itu, menjadi suatu keniscayaan, pada suatu kelak, jika dimanfaatkan dan dikembangkan dengan baik serta bijak, Indonesia bakal menjadi bangsa maju, sejahtera dan bahagia. Pertanyaannya kemudian, apakah potensi-potensi ini, khususnya kekayaan budaya yang dimiliki Bangsa Indonesia sudah dikembangkan serta dimanfaatkan dengan baik dan bijak untuk kemajuan negara, kesejahteraan juga kebahagiaan rakyat? Langkah-langkah apa yang bakal, sedang dan sudah dilakukan pemerintah, dalam hal ini, Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemdikbud Ristek)?
Menyoal hal tersebut, Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Kemdikbud Ristek, Restu Gunawan menyebutkan Selama ini objek pemajuan kebudayaan yang kaitannya dengan Undang-undang Cagar Budaya dan Undang-undang Pemajuan Kebudayaan lebih cenderung melindungi, pengembangan dan pemanfaatannya, terutama pada pemanfaatannya kaitannya untuk ketahanan budaya, diplomasi, penelitian dan pendidikan, kesejahteraan masyarakat masih sedikit.
Untuk mengupas lebih dalam mengenai fokus kerja, strategi, capaian serta kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan itu, Jurnalis Penaberita.id, Frans P berkesempatan mewawancara Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Kemdikbud Ristek, Restu Gunawan, belum lama ini di ruang kerjanya di Kompleks Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta Pusat. Berikut petikan wawancaranya.

Pengembangan kebudayaan itu seperti apa? Meliputi apa saja?
Dalam konteks Undang-undang Cagar Budaya dan Undang-undang Pemajuan Kebudayaan ada proses pengembangan dan pemanfaatan. Selama ini objek pemajuan kebudayaan yang kaitannya dengan kedua undang-undang itu kita lebih cenderung melindungi, pengembangan dan pemanfaatannya, terutama pada pemanfaatannya kaitannya untuk ketahanan budaya, diplomasi, penelitian dan pendidikan, kesejahteraan masyarakat masih sedikit. Dengan struktur yang baru di Dirjen Kebudayaan ini harapannya bisa seimbang. Jadi, kita melakukan pengembangan dan pemanfaatan dengan basis pelindungan.
Meskipun dikembangkan dan dimanfaatkan tapi harus tetap melindungi situs atawa kawasannya agar tidak rusak. Bahwa bangunannya masih tetap, tapi bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Contohnya, gedung masa kolonial di kawasan Menteng, di Semarang, dll itu boleh dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kafe, untuk penelitian, untuk wisata sejarah, dan lain sebagainya tetapi bangunannya, arsitekturnya, landscapenya tetap alias tidak dirubah.
Harapannya semakin banyak orang melakukan pengembangan dan pemanfaatan ini, tentu dengan tetap memperhatikan aspek-aspek pelindungan. Contoh lainnya, candi dimanfaatkan untuk peribadatan. Boleh, namun koridor pelindungannya tetap dilakukan. Maka, harus ada Standar Operasional Prosedur (SOP)-nya.
Pengembangan kebudayaan yang dimaksud apakah hanya untuk fisik/benda saja atawa ada dalam hal tak benda seperti tarian, berteater, berpuisi, cara berpikir, bercocok tanam untuk ketahanan pangan dan lain sebagainya?
Kalau dalam konteks tak benda, seperti kesenian, diera digital ini, kalau dulu orang nonton wayang semalam suntuk. Sekarang sudah ada inovasi dari teman-teman dalang untuk membuat tontonan selama dua sampai tiga jam. Karena ternyata daya tahan orang untuk nonton itu dua sampai tiga jam, maka pertunjukan itu dibuat di youtube, dan itu malah menghasilkan/keuntungan.
Jadi, yang mau mengembangkan sesuai pakem, boleh, silahkan, tetapi ruang-ruang seperti ini ada peminat atawa penggemarnya, maka silahkan dikembangkan. Misalnya, pertunjukan musik. Kalau konser itu berlangsung dua jam, maka dipotong-potong menjadi seperempat jam untuk kemudian ditampilkan diaplikasi tontonan lain alias orang bisa nonton dikanal youtubenya.
Menurut saya, model-model pengembangan seperti ini perlu diberi ruang, tapi tergantung pada senimannya. Begitu juga kaitannya dengan riset. Ini perlu diperluas, kaitannya terhadap ritual, tradisi, teknologi tradisional, candi dan lain sebagainya itu perlu dilakukan sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Untuk mengembangkan itu masyarakat sudah cukup kreatif, ditambah lagi dengan dukungan perkembangan teknologi informasi. Maka terkait dengan pengembangan itu, peran dari Direktorat Kebudayaan, khususnya Anda apa?
Sangkin kayanya, UNESCO mengatakan, kita (Indonesia) merupakan negara super power dibidang kebudayaan. Selama ini, baikitu dalam tingkat desa, misalnya desa X, orang tidak menyadari ada kesenian, kuliner, ada ritual adat, tradisi dan ada sejarah desa yang bagus. Namun masyarakat selama ini menganggap itu sebagai hal yang biasa. Padahal jika orang lain yang datang ke desa itu, semua yang ada di sana, justru menarik.
Terkait hal itu, maka kita dorong dengan program Desa Pemajuan Kebudayaan dengan melakukan temu – kenali. Dalam hal ini masyarakat kita dorong untuk menemukan hal-hal yang menarik di desanya sendiri. Kita sebagai fasilitator saja, mempercepat akselerasi, membuat jaringannya, supaya sirkulasi darah kebudayaan ini bisa berjalan lancar. Salah satunya masyarakat yang harus menemukan dan mengenali, dan ini jangan dilihat sebagai proyek, tapi sebagai platform kerja sama antara pemerintah, masyarakat, komunitas serta pemerintah desa.
Mereka diminta untuk menemu kenali, kemudian dicatat, difoto, dibuat video atawa bahkan dibuat film. Dari situ ada kegiatan yang namanya Daya Desa. Jadi, masyarakat kita ajak workshop, kemudian dikembangkan, apakah menjadi festival berbasis desa. Kemudian kita ajak masyarakat untuk berjejaring untuk pemerintah daerah. Kita memfasilitasi masyarakat untuk berjejaring, berkomunikasi dengan pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait. Jadi jangan hanya bergantung dana dari pemerintah pusat, tapi di desa, di Pemda, dan pada pihak-pihak terkait ada peluang untuk dana.
Dengan bekerjasama, bergotong royong dari berbagai stakeholder, akhirnya bisa membuat Pasar Budaya atawa Festival Budaya. Sebab di sana ada kesenian tradisinya, adat istiadat, kuliner tradisional, ritual dan sebagainya. Dalam konteks ini, Pasar Budaya sebagai ruang bersama yang menumbuhkan kohesi sosial, saling memperkuat, silahturahmi, menumbuhkan ekonomi rakyat, guyup, gotong royong, jadi hubungan masyarakat yang telah terkontaminasi dengan media sosial dan kesibukannya masing-masing, maka mereka bisa ketemu kembali dalam festival ini.
Contoh konkretnya seperti apa?
Hal ini sudah kita mulai sejak 2021. Pada tahun itu, kita sudah memulai di 300 desa. Pada tahun ini sekitar 200-an. Salah satu contohnya di Sangiran 10 desa dan di Borobudur 20 desa. Uniknya di Sangiran, ada situs kebudayaan dunia masa prasejarah yang kemudian disambungkan dengan olahraga. Jadi, olahraga ketemu dengan warisan budaya dunia dengan nama, Sangiran Night Trail. Jadi, ada kegiatan lari malam sepanjang 25 km. Untuk yang kedua, yakni pada September 2022 ini, masyarakat desanya membuat event pameran batik, makanan, wayang, lari malam dan lain sebagainya.
Semua hal itu kita lakukan kerja sama dengan pemerintah daerah, BUMN, BUMD, komunitas dan lain sebagainya. Di sisi lain, masyarakat juga antusias karena selama ini desanya tidak pernah menghelat event nasional, lari malam seperti ini.
Jadi, untuk contoh ini, pendampingan seperti apa yang Anda lakukan?
Untuk Sangiran Night Trail ini yang melakukan komunitas Luar Kota, salah satunya mendukung sedikit dananya, memberi ruang untuk mencari dukungan dana dengan surat rekomendasi mencari sponsor. Untuk desanya, dari 10 desa tadi, kita tunjuk ada Daya Desa dengan Penggerak Desa. Kemudian para Penggerak Desa ini kita berikan workshop temu – kenali. Kemudian diarahkan untuk mengajak masyarakat desa untuk event tersebut dalam hal menemukan hal-hal yang menarik dari desanya dan terlibat dalam kegiatan tersebut.
Yang jelas, semua hal itu tumbuh dari bawah, berasal dari masyarakat, bukan dari kita yang seolah-olah tahu segalanya. Mulai apa kesenian yang ada di sini? Kenapa keseniannya mati? Desa ini makanan tradisionalnya apa saja? Bagaimana kalau kita hidupkan kembali? Kurang lebih Penggerak Desa akan menghimpun dan melakukan pendampingan terkait hal itu. Kita juga membantu dana untuk perhelatan festival, namun tidak terlalu besar karena kita juga membangun jejaring dengan pemerintah daerah, pemerintah desa dan pihak-pihak terkait yang dapat membantu dalam hal pembiayaan dan hal-hal lainnya.

Seperti apa respon masyarakat terkait program itu?
Ending dari kegiatan ini adalah kita berikan penghargaan Desa Budaya. Penghargaan ini bukan untuk yang terbagus. Tapi, yang kita nilai adalah lompatan yang dilakukan masyarakat dalam membangun ekosistem kebudayaan. Terkait hal ini, respon masyarakat cukup bagus. Bahkan desa-desa yang ada di Aceh, Tidore, Kerawang, Yogyakarta di luar ekspektasinya di luar dugaan kita. Jadi capaian dan antusiasme masyarakat itu sangat luar biasa.
Biasanya festival yang hanya sehari dua hari, bisa sampai tiga empat hari, bahkan sampai seminggu. Masyarakat cukup antusias. Nah, desa yang masyarakatnya antusias ini kita kurasi kembali, melakukan pendampingan selama dua atawa tiga tahun dan diharapkan desa itu bisa mandiri.
Tantangan dalam menjalankan program ini apa?
Tantangannya masih dalam paradigma berpikir. Dalam hal ini, orang masih berpikirnya program ini adalah proyek. Padahal kita mendorong masyarakat untuk berpikir, inovasi, kreatif bukan didikte dari atas. Jadi paradigma berpikir proyek itu harus ditinggalkan, tapi ini sebuah platform kerja sama dan harus dilakukan pelan-pelan. Karena tidak seluruhnya landasan berpikirnya membangun ekosistem kebudayaan, padahal kita berpikirnya membangun ekosistem kebudayaan. Yang terpenting adalah rasa memiliki yang harus dan terus dikembangkan.
Ketika Anda datang ke desa, mengajak masyarakat untuk temu – kenali, apa respon masyarakat terkait kebudayaan?
Sebagian besar masih berpikir bahwa kebudayaan itu sebatas kesenian. Padahal kebudayaan itu kaitannya tentang obat-obat berbasis tumbuhan, jejamuan, obat-obatan herbal, ekonomi, pariwisata, dan lain sebagainya.
Masih banyak masyarakat, muali dari level nasional sampai ke tingkat desa bahwa kebudayaan itu bukan sebagai investasi, kebudayaan itu sebagai pemborosan. Nah, ini yang harus kita sadarkan, bahwa kebudayaan itu bukan biaya, tapi investasi.
Fokus kerja Anda di tahun 2022 ini apa saja?
Kalau yang prioritas di tahun 2022 ini adalah Muhibah Budaya Jalur Rempah sudah berjalan. Kita berlayar dari Surabaya, Makasar, Buton, Bau Bau, Ternate, Tidore, Banda, Kupang, kemudian kembali lagi ke Surabaya. Hal ini dilakukan bekerjasama dengan TNI AL dan anak-anak muda Laskar Rempah agar mengalami betul dalam berlayar. Tidak hanya, katanya, katanya, dan katanya. Tapi dia mengalami betul berlayar, bahwa nenek moyang itu adalah pelayar yang handal, kemudian keterlibatan Pemda, komunitas, pemberitaan media juga luar biasa.
Jalur Rempah ini menyadarkan kita bahwa ini warisan dan takdir Tuhan kita diberikan alam yang indah. Dan ternyata, sejak abad kesatu masehi rempah-rempah itu sudah digunakan dalam kehidupan masyarakat dan juga kebudayaan kita itu saling mewarnai, saling memengaruhi dan saling mempengaruhi.
Program lainnya adalah Desa Budaya. Nanti akan ada Kirab Budaya yang akan ada di Borobudur kaitannya dengan G20. Tapi yang di spot desa-desa ini tetap kita kembangkan, lakukan pendampingan. Kemudian program Gerakan Seniman Masuk Sekolah dan kita tambahkan juga dengan Presisi, yakni peningkatan karakter siswa berbasis seni budaya untuk mendukung program Merdeka Belajar. Karena lingkungan sekitar itu merupakan salah satu sumber belajar. Selama ini, seolah-olah kita kalau sumber belajar dari luar atawa dari tempat-tempat yang jauh. Kita tak sadar kalau lingkungan sekitar juga merupakan sumber belajar. Mulai dari tanaman, mengelola sampah, budaya, dan lain sebagainya yang dilakukan kerja sama antar guru, siswa dan pihak lainnya. Tidak ada lagi yang paling bisa dan paling pintar, semuanya kerja sama.
Untuk program ini sedang proses. Desa Pemajuan Budaya, bulan Agustus ini, dari desa-desa yang sudah dampingi, di bulan Agustus dalam rangka perayaan 17 Agustus juga akan kita tampilkan. Kita dorong untuk melakukan pementasan, festival, pasar budaya.
Tantangan dan siasat dalam menjawab tantangan dari fokus kerja tersebut?
Untuk fokus kerja Muhibah Budaya Jalur Rempah kemarin, kita tidak mengalami kerja sama dengan TNI AL, menggunakan kapal, berlayar dan sebagainya. Ini merupakan pendekatan baru. Tapi setelah dilakukan pendekatan, ternyata teman-teman dari TNI AL antusias juga dengan Pemda, anak-anak Laskar Rempah yang juga antusias dan kreatif. Bahkan pihak-pihak tadi bertanya, kapan lagi program semacam ini dilakukan?
Tantangannya, cukup pelik diawalnya untuk memberikan penjelasan dan menyadarkan, belum ada bayangan ketika berlayar, dan ternyata setelah dialami asyik, menarik dan semua yang terlibat cukup antusias. Kalau tantangan program Desa Budaya, saya kira, mengajak kerja bareng, menjelaskan ini bukan proyek, serta membangun rasa memiliki.
Sebentar lagi kita akan memasuki bulan kemerdekaan. Sudah sampai di mana progres Gita Bahana Nusantara (GBN)?
GBN ini sudah dua tahun tidak ke Istana Negara karena Covid-19. Pada 2020 dan 2021 GBN tampil secara virtual, Insya Allah, tahun ini bisa ke istana. Audisi di tingkat provinsi sudah jalan, ada audisi daring ada juga yang luring. Pada 1-19 Agustus mereka dibawa ke pemusatan latihan di Wisma Kinase. Anak-anak ini akan pentas di Sidang Tahunan MPR – DPR dan 17 Agustus di Istana Negara RI. Di istana biasanya pentas hanya pagi, yakni pada upacara kemerdekaan. Namun sekarang, pentasnya juga dilakukan pada sore hari, yakni pada saat upacara penurunan bendera.GBN ini selain untuk menampilkan yang terbagus, terbaik tapi juga untuk memberikan pendidikan karakter, nilai-nilai kebangsaan, kerja sama dan lain sebagainya.
Selain adanya rasa bangga, senang, apa manfaat dari ikut GBN ini bagi peserta? Apa tindak lanjut dari GBN?
Kualitas bermain musiknya semakin bagus, karena selama 19 hari ditempah dalam pemusatan latihan. Selain itu kemampuan kolaborasi semakin baik. Karena selama ini mereka main di level provinsi, sekarang bermain di level nasional, tentu auranya berbeda, tampil di Istana Negara, ditonton oleh seluruh warga Indonesia dan bangsa lain, menambah rasa percaya diri, bangga, menambah pengalaman.
Tindak lanjutnya, selama ini ada forum alumni GBN yang jumlahnya hampir 3000-an. Mudah-mudahan setelah ini ada ruang untuk tampil kembali, bisa kolaborasi dengan alumni. Harapannya kedepan ada ruang untuk tampil kembali.
Seberapa berdampak Covid-19 terhadap program kerja Anda?
Covid-19 memang sangat memberikan dampak pada kita, salah satunya kita tidak bisa tatap muka dan lain sebagainya. Tetapi, ternyata dengan virtual teman-teman seniman tetap berkarya. Maka di Ditjen Kebudayaan ada fasilitasi bantuan kebudayaan. Di mana seniman tetap berkarya dari rumah, kemudian dimasukkan kedalam kanal youtubenya Ditjen Kebudayaan atawa kanalnya masing-masing. Dengan begitu seniman daya resiliensi atawa daya membalnya bisa tumbuh, karena seniman itu terkait dengan kreativitas. Jadi, semakin ada tantangan baru, maka seniman semakin kreatif. Intinya, meski pandemi memberikan efek negatif tapi mendorong seniman untuk lebih kreatif.
Banyaknya hasil karya dari seniman karena pandemi, banyaknya pameran virtual, banyak menulis buku, dan lain sebagainya. Hikmahnya tentu menyadarkan kita (pemerintah), bahwa meski pandemi seniman tetap berkarya dan kita (pemerintah) sebagai fasilitator perlu menempatkan diri agar semakin kuat mendukung para seniman dalam berkarya. Fasilitasinya ini harus sesuai dengan kebutuhan para seniman, agar terus berkarya dan tetap kreatif.

Ada pesan terkait dengan situs cagar budaya, objek pemajuan budaya dalam hal pengembangan dan pemanfaatannya untuk masyarakat?
Sebenarnya yang tidak kalah pentingnya bagaimana menyambungkan situs cagar budaya dengan objek pemajuan budaya dengan aspek yang lain. Tentu kami mendorong masyarakat untuk menawarkan ide dan gagasannya. Mungkin di daerahnya ada situs cagar budaya disambungkan atawa dikembangkan dan dimanfaatkan dengan aspek yang cukup luas. Semua ini harus banyak dilakukan masyarakat, pemerintah sifatnya hanya memfasilitasi saja. Untuk sampai pada pengembangan dan pemanfaatan, perlu ide, gagasan dan kolaborasi atawa kerja sama dengan para pelaku-pelaku dari daerah lain sedang tugas kita (pemerintah) memfasiltasi.
Nama : Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Jabatan : Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan
Pendidikan
| 2009 | S3 Sejarah, Universitas Indonesia |
| 2003 | S2 Sejarah, Universitas Indonesia |
| 1992 | S1 Sejarah, Universitas Sebelas Maret Surakarta |
Pengalaman
| 2020 — sekarang | Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan |
| 2017 — 2020 | Direktur Kesenian |
| 2016 — 2017 | Kasubdit Diplomasi Budaya Dalam Negeri |
| 2015 — 2016 | Kasubdit Diplomasi Budaya Luar Negeri |
| 2012 — 2015 | Kasubdit Diplomasi Budaya |
| 2008 — 2012 | Kasubdit Peradaban Sejarah |
| 2008 | Kasi Pemetaan Wilayah dan Bangunan Bersejarah |
| 2003 — 2005 | Kasubid Sejarah Indonesia |
| 2002 — 2003 | Kasi Penulisan Sejarah |
