Oleh: Puguh Warudju*
Pemilihan diksi untuk sebuah tema pameran, karena memang dilakukan oleh para seniman, maka wajarlah bila hasilnya bernuansa gagasan kreatif, yang dapat diartikan sebagai melepas dari kebiasaan atau melampaui konvensi. Kata eksploraksi tentu tidak ditemukan dalam kamus diksionari manapun, karena diksi yang ini adalah ciptaan atau pengembangan dari kata eksplorasi.
Kata eksplorasi secara umum mengartikan “penjelajahan” atau “perluasan” wilayah jangkauan studi atau pengamatan agar mencapai peningkatan pemahaman yang lebih tinggi dan luas. Contoh: Ibu Guru melakukan metode pengajaran dengan mengajak para murid menyimak berbagai buku bacaan sejenis dari pengarang yang berbeda, demi pemahaman yang luas dan beragam serta dapat menarik kesimpulan dari hubungan-hubungan makna pada berbagai buku yang dibaca oleh si murid.
Amsal yang lain, : Perusahaan Pertambangan Timah, melakukan eksplorasi area yang sekira dapat ditentukan sebagai wilayah penghasil Timah yang terbanyak dan berdurasi panjang untuk ditambang.
Adapun eksploraksi adalah cara kreatif mengembangkan (memlesetkan) kosa kata agar memiliki perluasan makna, yang tidak melepas sama sekali makna dasar sebelumnya. Eksploraksi bila dipisah kata dasarnya (etimologis) terdiri dari kata eksplor dan aksi. Eksplor adalah kata dasar dari eksplorasi yaitu mengartikan jelajah, sementara aksi mengartikan sebagai bentuk tindakan atau realisasi dari ide.
Maka kita kemudian bisa menduga bahwa eksploraksi disematkan untuk mewakili penjelajahan terhadap gerak atau tindakan yang mewujudkan ide. Tindakan yang meluas atau menjelajah dalam tindakan.
Pada (tanggal..), (bulan…), 2024 Peruja memasuki usia institusi ke …, yang dirayakan pada 31 Desember 2024, sekaligus menyambut Tahun Baru 2025, diselenggarakan di galeri Darmin Kopi, Jakarta Selatan. Dan saat ini mulai 15 Februari sampai dengan 28 Februari 2025, kelompok Peruja menyambungkan mata rantai acara dengan menggelar pameran seni lukis secara bersama di tempat yang sama.
Tentu terhubung dengan tema, maka pameran ini merupakan suatu bentuk representasi dari teks tentang eksploraksi atau jelajah tindakan. Atau juga semacam forma deklarasi tentang penjelajahan aksi-aksi yang telah dilakukan oleh Peruja selama ini, entah itu dalam rekonstruksi kelembagaan, rekonstruksi identitas sebagai entitas kelompok yang melingkupi profesi dalam bidang seni rupa, maupun segala bentuk kegiatan kreatif sebagai subordinasi terhadap konstruksi sosial seni rupa di Jakarta khususnya atau di Indonesia pada umumnya.
Apapun yang diekspresikan oleh Peruja dalam segala kegiatan kreatifnya atau yang kemudian disebut eksploraksi adalah upaya untuk mengartikulasikan tentang eksistensi mereka selaku komunitas seni rupa yang tentunya juga determinan terhadap eksistensi per -se individu para perupa yang tergabung dalam lembaga kreatif tersebut. Karena seni tentu mewakili eksistensi sang seniman selaku pribadi sekaligus sebagai elemen sosial. Melalui karya seni seniman menyatakan siapa dirinya di tengah arus sosialnya. Demikian tatkala mengintegrasikan kepada suatu kelompok maka sebagian identitas dirinya melebur sebagai identitas kelompok (immersive in group– pendalaman bersama). Dengan demikian eksploraksi tak lain adalah refleksi dari kegiatan individu -individu yang terintegrasi pada entitas kelompoknya.
Menyoroti aksi yang terkait dengan rekonstruksi kelembagaan, menurut wacana yang sudah digulirkan belakangan ini, Peruja sedang mempersiapkan kepengurusan baru, memilih Ketua baru dengan kabinet stafnya. Sedangkan rekonstruksi identitas, ditempuh dengan jalur pengadaan aksi berbagai diskusi, workshop dan gelar pameran untuk kemudian dijadikan ruang elaborasi serta laboratorium agar mendorong hadirnya nuansa pembaharuan baik karakter kreatif secara personal maupun identitas kreatif secara kolektif.
Perupa yang baik adalah harus kuat memiliki karakter pribadi yang khas, sementara demikian pula dalam kelompok dituntut untuk merepresentasikan karakter kolektifnya, baik ditempuh oleh visual kreatif maupun oleh narasi kreatif dan penuh subtansi serta eksplorasi makna. Maka dengan deklarasi melalaui tema eksploraksi ini, salah satu potensi progressif yang dapat diidentifikasi pada Peruja semoga saja dapat terbaca mulai dari adanya titik terang untuk menguatnya identitas karakter personal anggotanya sehingga kian kuat pula identitas kolektif yang mampu dirajut di dalamnya.
Sementara itu sebagai bentuk aksi subordinasi sosialnya adalah kegiatan-kegiatan workshop edukasi pembinaan kekaryaan baik ke dalam maupun ke luar (masyarakat luas), melukis OTS, diskusi-diskusi dan gelar aksi pameran yang sebenarnya tadi sudah disinggung. Namun untuk menandai keberadaan sosialnya tentu terbentuk dari akumulasi seluruh aksi yang dapat ditempuh dan memiliki penetrasi (daya tembus) kepada ingatan kolektif masyarakat.
Tetapi pula, tidak semua kegiatan punya daya penetratif, manakala kering dari subtansi dan esensi makna yang musti dapat dibaca oleh masyarakat. Untuk itu setiap individu seniman dan kelompok seniman dituntut untuk menyelaraskan visual kreatif yang ditampilkan agar memiliki kedekatan terhadap konteks maupun kelindan sosial.
Dalam esainya The Origin of the Work of Art, Heidegger menekankan bahwa seni bukan hanya benda estetis, tetapi sebuah peristiwa yang membuka kebenaran (aletheia). Seni menghadirkan makna yang melampaui bentuknya dan menyingkap realitas yang lebih dalam.
Hal itu itu juga ditegaskan oleh Walter Benjamin, dalam The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction mengatakan bahwa seni memiliki aura yang hilang dalam reproduksi massal. Seni yang sejati memiliki makna dan daya getar yang unik, bukan sekadar objek estetis yang bisa diduplikasi begitu saja. Sementara dalam perspektif fenomonologis (keterlibatan langsung), Maurice Merleau-Pont dalam Eye and Mind, menegaskan bahwa seni tidak hanya dilihat, tetapi juga dirasakan dan dialami. Seni menciptakan hubungan antara yang melihat dan yang dilihat, melampaui sekadar keindahan permukaan.
Dalam Aesthetic Theory, Adorno menentang gagasan seni sebagai hiburan kosong. Ia melihat seni sebagai ekspresi kritis yang mampu menggetarkan kesadaran sosial dan membongkar struktur ideologi yang menekan. Bahkan dalam The Politics of Aesthetics, Rancière menekankan bahwa seni mengatur pengalaman visual dan mengubah cara kita memahami dunia, sehingga seni tidak hanya bersifat estetis tetapi juga politis dan filosofis.
Catatan akhir tercantum: dalam rangka mengembangkan kajian ikonologi yang berdekatan dengan Erwin Panofsky, Aby Warburg melihat seni sebagai media yang menyimpan “ingatan budaya” (ingatan kolektif) yang terus beresonansi pada berbagai zaman. Yang dimaksudkan adalah berlandaskan pada konsep Mnemosyne Atlas, disimpulkan bagaimana citra visual dari berbagai budaya dan era, saling terhubung dan terlembaga (tersistemisasi) menjadi “ingatan kolektif.” Menurut Warburg, seni bukan hanya representasi estetik dari suatu waktu tertentu, tetapi juga wadah bagi emosi, ideologi, dan pengalaman manusia yang diwariskan lintas generasi. Seni memiliki dynamogram, yaitu energi ekspresif yang bertahan dan muncul kembali dalam berbagai konteks sejarah.
Dalam pendekatan ini, seni menjadi tanda sejarah yang bersifat futuristik, karena ia tidak hanya merekam masa lalu, tetapi juga membentuk pemahaman kita tentang masa depan melalui proses ingatan visual yang terus berkembang. Dengan kata lain, makna dalam seni tidak pernah selesai, ia terus bergerak dan bertransformasi sesuai dengan zaman yang membacanya. Warburg menunjukkan bagaimana motif dan simbol dalam seni dapat terus berulang di berbagai era, menciptakan kesinambungan identitas budaya.
Dalam masyarakat yang mengalami krisis identitas akibat globalisasi atau kolonialisme budaya, seni menjadi alat rekonstruksi dan negosiasi identitas. Tanda sejarah dalam seni memungkinkan masyarakat melihat kembali asal-usul peradaban dan mengambil pelajaran dari masa lalu untuk membentuk masa depan yang lebih baik. Misalnya, seni yang menggambarkan ketidakadilan sosial atau tragedi sejarah dapat menjadi katalis untuk kesadaran dan perubahan sosial. Warburg menunjukkan bahwa ada pola visual yang terus berulang dalam sejarah seni yang menandakan kondisi sosial dan psikologis tertentu dalam masyarakat. Misalnya, dalam periode krisis atau ketidakpastian, sering muncul kembali estetika ekspresionisme atau simbolisme yang menandakan ketegangan batin kolektif.
Karena seni sering kali menangkap tanda-tanda zaman sebelum masyarakat menyadarinya secara penuh, ia bisa menjadi semacam alat prognostik: yang memperkirakan arah perubahan sosial dan budaya. Misalnya, gerakan seni avant-garde sering kali mengantisipasi pergeseran besar dalam cara berpikir dan struktur sosial. Dalam hal ini seni visual tanpil dan berperan untuk mengingatkan agar persoalan traumatik tidak berulang karena dicegah oleh kesadaran ingatan kolektif yang dipendarkan oleh karya seni (Simak pula Kara Walker, Art 21).
Menampilkan figur atau obyek tradisional di tengah arus modern kontemporer, dimaksudkan untuk mengendalikan larutnya masyarakat kepada arus pemikiran modern yang sangat memungkinkan terjadinya benturan budaya. Karena sosok-sosok tradisional sebagai unsur bahasa menjadi pengingat pada pola pikir primordial (kembali ke akar budaya). Contoh : Kampung Dolanan di Yogyakarta merupakan upaya untuk mengembalikan kesadaran kolektif akan permainan tradisional (visual) agar anak-anak tidak sepenuhnya terserap dalam budaya digital yang individualistik.
Satu hal lagi, misalnya dengan seni rupa kita bisa memberikan kesadaran bahwa dinamika sosial yang sangat pesat dan progressif ternyata cukup signifikan untuk mendistorsi (menyurutkan) ruang dan peluang kontemplasi dan eksplorasi gagasan yang menukik kepada makna yang paling subtil terhadap kehidupan. Kurangnya ruang dan peluang kontemplasi, alhasil makna dan nilai-nilai menjadi datar dan kasar, relasi harmoni – humanistik tergantikan pragmatisme dan transasksional.
Demikianlah bentuk-bentuk tantangan bagi segala varian ekploraksi dalam prosesi cipta karya seni rupa. Sudahkan pameran ini menjadi refleksi dalam menjawab tantangan-tantangan tersebut? Dan juga kesadaran bahwa dalam kajian psikologi pembelajaran, eksplorasi akan terkait kepada instrumentasi dan operasi-operasi elaborasi, kontemplasi (perenungan) yang terproduk oleh prosesi inkubasi (pengendapan), sublimasi (peng-hayatan/peleburan diri pada setiap realitas) bahkan falsifikasi (penyangkalan) dan pada akhirnya menuju eksploraksi? Kita berharap melalui pameran kali ini, semua prosesi konseptual itu mulai dapat tereja darinya. Jika toh belum, maju terus dengan penuh semangat, Selamat berpameran dan berapresiasi,
*Puguh Tjahjono Sadari Warudju
Perupa, Dosen Seni Rupa dan Desain di Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
Kurator Galeri Darmin Kopi Jakarta Selatan