Oleh: Bambang Asrini, esais seni, sosial dan budaya
Seniman memang unik, dengan caranya sendiri berekspresi membeda dengan orang kebanyakan. Perupa itu yang azalinya punya nyali secara moral serta merasai lara yang ditanggung liyan. Demikian pula perupa pun pengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB), yakni Tisna Sanjaya.
Penulis tak lagi kaget selagi Ramadan mendapati karyanya yang kritis lewat imej (secara digital via WhattsApp) dikirim personal dan disebar via group. Lukisannya menyorot duka politik dan muramnya elektoral lima tahunan. Waktu dan ingatan masa lalu menyapa kembali, tak terkecuali Tisna, mau atau tidak mau.
Sebab ia memang salah satu dari seniman kita yang “dibesarkan” tatkala akar kuat rezim otoritarian Orde Baru berkuasa pun menjelang sangkakala runtuhnya di akhir 1990-an. Subject Matter politik atau topik-topik sejenis dijlentrehkan dengan sigap oleh seniman-seniman yang lain yang sezaman, sebutlah nama seperti Arahmaiani, Dadang Christanto, Heri Dono, FX Harsono sampai Semsar Siahaan.
Beberapa bulan terakhir, para akademisi, mahasiswa, profesional sampai tokoh-tokoh masyarakat sipil terus-menerus meneriakkan protes, bahkan guru besar di kampus-kampus ternama tak tinggal diam. Mereka menggaungkan keprihatinan massal tentang kecurangan proses jalannya Pemilu tersebab cacat etika yang didakwakan berhulu pada penyelenggara negara.
Namun ldul Fitri ini, penulis kembali dikirimi “ketupat lebaran” khusus via pesan singkat juga disebar di group media sosial. Kali ini, penulis sejenak dipaksa merenung oleh imej lukisan Tisna Sanjaya berjuluk “Etik Ndasmu”.

Idul Fitri Yang Karikatural
Dari puluhan ucapan selamat lebaran yang dikirimkan ke penulis dari kolega, teman dan keluarga, hanya Tisna Sanjaya yang tanpa tedeng-aling2. Ia secara karikatural menerakan imej separuh provokatif dengan penggayaan parodikal, menemani teks utama: Idul Fitri dan Mohon Maaf lahir Batin.
Drawing hitam-putih miliknya menyeret paksa benak penulis saat sama menyentak kesadaran bahwa “pintu-pintu pemaafan” sebagian besar ucapan selamat Idul Fitri mungkin semata basa-basi. Kata fitri sebagai alih arti kesakralan, “menjadi bayi kembali”, melenakan keterjagaan kita pada sesuatu. Terutama secara komunal tak sengaja tertidur, betapa tidak? Jika ujaran baik, doa kemenangan dan harapan ampunan dari Tuhan — tentu yang kita sangka dariNya, di hari fitri, lepas dari rasa haus dan dahaga selama Puasa, justru menutup realitas kasunyatan bahwa bangsa ini menuju jurang amnesia kolektif.
Tak disangkal, kita merayap pelan namun pasti menjumpai era Orde Baru yang lain, Neo-Orde Baru tepatnya. Seingat penulis dilukiskan juga oleh Tisna, persis diterakan di kanvas dengan cat akrilik, meskipun dikirimkan secara imej-digital sempat dikoreksi ulang penguatan warnanya disana-sini, dua kali menyerbu dari ponselnya selama Ramadan ke penulis dengan juluk “Wilujeng Sumping Neo Orde Baru!”
Balik ke karya “Etik Ndasmu” karya Tisna, lukisan berjenis drawing itu menohok langsung dengan gambaran sosok seperti bernuansa berparas badut dua orang. Satu orang memberi punggungnya (menggendong) pada yang lain. Yang diatas terlihat lebih kecil atau muda, sementara ia membawa semacam cemeti dan memecut udara yang menghamburkan uang lima puluh ribuan rupiah atau seratusan ribu.
Kaki orang yang dibawah penuh sekumpulan sosok ganjil; seperti gambaran setengah manusia-manusia yang terinjak-injak dan mulutnya terlihat melolong jeri. Sementara atmosfir ruang lain di drawing itu dipenuhi figur semacam binatang bebek-bebek yang mendongakkan moncong mereka. Bersaksi seperti bernyanyi bersama atau gambaran orkestasi bebek dipimpin dirigen bertongkat cemetikah? Tak jelas, sang seniman memilih tak cerewet pada karyanya secara eksplanasi di teks lain, misalnya konsep karya utuh yang tak dikirimkan ke penulis.
Sementara latar belakang drawing Tisna menampak sebuah bentuk seperti gunung, sebatang pohon dan matahari bersinar gagah dan teks Etik Ndasmu melengkapkan narasi “orkestasi bebek” yang bisa jadi amsal tentang orang-orang yang menikmati rezeki uang, yang disebar sang badut-badut tadi.
Tradisi mengirimkan karya sebagai pelengkap ucapan Selamat Lebaran antar seniman dan koleganya bisa jadi sebuah ilustrasi, tak lengkap, sebagai imbuhan saja dari teks utama; yang bukan merupakan kesungguhan total indepedensi sebuah karya. Namun, lagi-lagi di hari sakral Idul Fitri, imej-imej itu membongkar semua keluhan dan detailitas tentang apa itu hakikat karya serius yang harus diuji dan dibedah secara kritis-ilmiah atau membiarkan ia merasuk dan menggedor-gedor batin begitu saja.
Tak lagi penting, Idul Fitri yang karikatural itu sejenis dahaga mereka yang ingin semua hal layak dibenahi lebih dari lukisan yang diulas penuh makna-makna “kebenaran estetik”. Yang justru semangat ukhrowi menyembul di udara, adalah empati yang tak terhenti di bumi, tapi jungkir-balik dari langit ke bumi dan sebaliknya. Tak soal, dianggap vulgar, di-bully diluar tradisi pesan-pesan yang terus saja digelontor tatkala semua orang ingin “yang wajar saja” di hari lebaran.
Bukankah lebaran tak sekedar kuliner opor ayam, berbagi bingkisan—hampers dengan kolega bisnis, anjangsana disekitar keluarga inti dan tetangga sembari memberi tangan, selebihnya berfoto senyum sumringah berbaju koko baru dan style peci ustad serta glowingnya hijab?
Semuanya seolah baik-baik saja, dan diakhiri doa-doa yang menerawang ke langit-langit rumah saudara-saudara kita se-Tanah Air?
Karya Etik Ndasmu itu menggedor semacam Anchor, atau jangkar dari indera nalar dan rasa kolektif yang terusik; yang tak bisakah hari sakral lewat dengan tak melupa apa dan terus terjaga pada negeri yang sedang diporak-porandakan secara moral?
Bisakah ritual pemaafan dihaturkan, saat semua kebenaran nurani publik tersapih oleh lelaku sewenang-wenang penguasa pada rakyatnya?

Tisna Jawa dan Dua Titik Gempa
Sebagai Urang Sunda, Tisna Sanjaya nampaknya akrab dengan kosa-kata orang Jawa, dengan teks Ndasmu Etik—ingatan enam orang Jawa berkontestasi di Pilpres 2024. Laiknya seniman-seniman, pergaulan tak membatasi profesi, etnis pun latar pendidikan, Tisna Sanjaya bertipe seniman easy going.
Ia bergaul juga bereskpresi, membangun kolaborasi dengan seniman lain pun yang bukan perupa. Dimanapun dan dengan siapapun, dari pemilik galeri privat, pejabat, seniman-seniman muda, kiai pesantren, nyampe pemulung sampah.
Sebab ia juga mendirikan komunitas pun “pondok-seni” di area Cigondewah yang bertolak dari keprihatinan ekologis di kawasan industri-pakaian jadi, sekitar sungai Citarum, Jawa Barat. Penulis masih ingat di tahun 2011-an, menyaksikan karya-karya Tisna berupa “sampah-sampah nyeleneh” dipamerkan. Yang kata Tisna, sebelum pameran sempat ada kejadian yang membuat geger orang-orang bea-cukai di Singapura.
Tatkala puluhan ton sampah memasuki sterilnya Singapura, negeri-kota yang “anti-sampah” agak terkesiap menerimanya. Tisna berpameran solo di galeri seni National University of Singapore (NUS) dan memamerkan “sampah-sampah seni”. Balik ke karyanya, Tisna yang sempat menjadi tokoh kocak nan bijak “Sang Kabayan”, beberapa tahun lampau di statiun TV lokal Bandung mengulang kata-kata apa yang pernah disampaikan oleh salah satu paslon Capres.
Ujaran Ndasmu Etik, yang berarti seloroh atau keseriusan kata-kata terelasi dalam konteks dan kondisi tertentu hal itu disampaikan. Yang jelas, kata “Ndasmu” yang berarti kepala orang, yakni kepala milikmu bagi orang Jawa adalah tuturan umpatan. Sebab melanggar niat melucu dalam konteks berpidato secara publik; dan jelas-jelas tak menjaga kehormatan bagi yang sedang diolok-olok.
Menjadi semacam keintiman antar teman atau keakraban jika disampaikan tidak dalam forum resmi. Tapi, terbatas semisal antar kawan yang memang pergaulan seusia, atau di kelompok kecil teman sejawat. Sama sekali tidak, jika disampaikan dalam acara temu ribuan kader partai politik dan relawan fanatis, apalagi disampaikan semata membalas pernyataan salah satu paslon Debat Capres yang telah usai. Sungguh sebuah pernyataan yang tak nyaman pada orang yang sedang disinggung.
Tisna sebagai “Kabayan” dengan cara unik dan usil membenturkan dua kata “Ndasmu” dan “Etik” menjadi inti adegan di karyanya, sosok orang yang menggendong, cemeti, uang dan bebek-bebek sementara kepala-kepala orang-orang separuh manusia diinjak-injak.
Tafsiran akan segera dijumput sebagai narasi yang memberi pesan “Tahu apa kau dengan etika, lihat cermin dirimu sendiri, memang hal itu saya pikirkan?” Dua kata menyaru untuk diadu selebihnya adalah realitas kita hari ini, warga dipertontonkan nilai-nilai etika dan aturan hukum tertulis diobrak-abrik tanpa malu.
Ada rasa syukur lamat-lamat berbunga di hati penulis, bahwa keteladanan seniman senior itu mengambil resiko apa yang harus disampaikan tentang imajinasi penguasa, politik dan peran dirinya pada momentum krusial terjadi. Tatkala seismograf semesta—alat pendeteksi gempa, bandulnya secara kontekstual adalah “gempa politik dan kultural” sedang mengayun -memantul keras di Tanah Air.
Sikap Tisna, sebagai seniman —yang mungkin tak diapresiasi para kolektor, atau justru diburu oleh kolektor-kolektor seni ditengah-tengah karya-karya seniman lain saat ini; bisa jadi ini momentum “titik perubahan tersebab gempa”. Mengulang perubahan-perubahan di masa reformasi, karya-karya seni yang hadir dengan mengintimasi momentum menjelang 1998.
Tisna kini sedang menapaki jalan “dua titik gempa”; yakni menjawab energi semesta yang datang dari segala arah, membenamkan diri pada kesadaran-kesejatian seniman tentang kegalauan kebangsaan.
Yang membawa pendulumnya ke aksi penolakan pada penguasa “Neo-Orde Baru”; saat sama memberi tauladan ke generasi seniman-seniman baru. Tema-tema politik dan kebangsaan seperti di masa silam, patut dipanggungkan membawa hikmah kebhinekaan karya-karya seni dan bukti sahih kembalinya energi kekuatan masyarakat sipil.
Teladan Tisna, semoga memberi cakrawala ulang karya-karya seni lain yang lalu-lalang di ruang-ruang pamer dimanapun, entah dengan medium digital (ditularkan secara digital via cyber space) dan ruang fisik yang saat ini cenderung menampilkan “karya-karya homogen” di sejumlah ruang industri seni rupa kita. Tisna, layaknya “penggembala seni”, menggiring pulang wacana tema-tema dan ekspresi-ekspresi non politis kembali ke khittahnya: seni yang memampukan diri membasuh pun menghayati zeit geist, jiwa zaman.***