Oleh: Puguh Tj. S Warudju
Okupasinya adalah Pangeran Pati atau putra Mahkota negeri Hastina apabila kelak Prabu Duryudana surut dari tahta oleh alasan apapun: gugur, uzur ataupun sebenarnya sudah kian tidak populer di tengah rakyatnya.
Tapi itu klausul yang muskil. Sebab tahta ‘ayahnya’pun hanya pinjaman yang manipulatif dan memaksa. Karena mungkin Duryudana yang ditopang oleh akal bulus Patih Haria Suman (Sengkuni) kali-kali saja suka berlagak sok baca –baca buku dan menengok pada pikiran Gramsci.
Meski sejak lahir sudah dinobatkan sebagai putra mahkota, Lesmana Mandra Kumara bukan tipe satria yang bersandang wahyu. Meski diajari juga oleh Begawan Durna mengenai ajaran Karl Jasper, boro-boro mengerti apa yang disebut chiver ataupun aufklarung yang dipikirkan oleh filsuf-filsuf Jerman.
Pendidikan formalnya standar, bisa jadi setara komunitas jaket kuning segala. Tampangnya pun tidak buruk-buruk amat sebagaimana stigma yang disandang oleh Kurawa (di mana Lesmana terinstitusionalisasi). Bahkan dalam sejarahnya yang gelap, Bambang Lesmana Mandra Kumara tak seratus prosen anak Duryudana. Ia produk koalisi gelap di balik layar antara Banuwati dan Arjuna yang keduanya saling cinta pertama yang tidak bisa dibendung oleh kaidah maupun undang-undang Kadewatan sekalipun. Maka begitulah kendati tidak sebagai penyandang down mental syndrome, Lesmana tumbuh dalam campuran formula: pintar-pintar bodoh.
Lesmana berpakaian necis selayaknya seorang Pangeran Kaya Raya dan selalu harum, wajahnya innocent sedikit baby face, cukup modal untuk disenangi para gadis, kendatipun selalu gagal meminang perempuan. Tapi jangan salah, dalam soal pinang meminang ini Lesmana selalu didukung oleh konstituen yang amat dahsyat. Prabu Kresna, dan Prabu Baladewa saja kerap nyaris dikelabui hingga malah untuk ikut-ikutan mendukungnya. Kendatipun konon dengan lantang pihak-pihaknya menukas menolak mentah-mentah manakala ada pihak yang menuding memberlakukan money politic maupun money laundry. Kebenaran cepat pula hadir dengan selalu kabur seperti bubur Menado, untuk yang masih awam barangkali sulit membedakan mana yang bubur mana yang nasi sayur. Dramaturginya yang ditampilkan boleh jadi sangat layak diangkat kartunis Dodo Karondeng.
Carut marut persepsi dan penghayatannya terhadap Erwing Goffman dalam menampilkan diri Lesmana benar-benar merupakan insan mardhika yang seolah-olah
memang pintar dan layak dielu-elukan, dia tetap tampil kewes-luwes menutupi segala kedunguan dan carutnya pandangan etika yang ia baca Serat Wulangreh ataupun kajian antropologis Magnis Suseno. Maka tatkala sudah ada tanda-tanda berkelindannya tengara bahwa rakyat mulai mengumandangkan vox populi vox Dei, tak urung bergegas dengan anggun dan berwibawa Sang Duryudono yang merasa memiliki Hastina sepenuh hati, selalu menepis segala cacat dalam pencitraan ‘sang anak’ yang memang tumbuh dalam kemanjaan internal. Dengan asas praduga tak bersalah yang anti generalis, ia luruskan sesuatu yang sebenarnya tidak bengkok. Diteranginya sesuatu yang sudah terlihat, sampai malah kabur karena begitu silaunya.
Namun betapapun cantiknya permainan Duryudono dengan Kurawanya tidak akan tuntas memenangkan Lesmana, dia ‘gugur’ oleh nafsunya untuk membunuh adiknya Sang Abimanyu, yang meski sudah terhuyung diserbu Kurawa, keris Pulanggeni dari sang ayah (Arjuna) sempat merobek leher Lesmana Mandrakumara. Yang jelas Lesmana tak layak sebagai teladan.
Depok, 11 Februari 2012
