Sangkur Bela Negara: Persatuan diatas Perbedaan, berbagi rahmat dibulan rahmat

Sangkur Bela Negara gelar Talkshow bertema Persatuan diatas Perbedaan, di VIP Room The Salis Hotel, Bandung.
Sangkur Bela Negara gelar Talkshow bertema Persatuan diatas Perbedaan, di VIP Room The Salis Hotel, Bandung.

Bandung – ‘Persatuan Diatas Perbedaan’ sejatinya telah menjadi paradigma para sesepuh, pejuang dan pemimpin bangsa pada masanya sampai datangnya negara api. Tanpa embel embel dan slogan bombastis, para leluhur sudah menjadikan faktor persatuan menjadi semacam aliran darah dalam mengatur dan mengelola warganya.

Demikian pengantar Moderator Talkshow, Ganjar Gandapraja yang bertajuk ‘Berbagi Rahmat dibulan Rahmat’ sebagai bagian program Wawasan Kebangsaan dan Bela Negara yang digagas Sangkur Bela Negara bekerjasama dengan Pelangi Plaza Purwakarta bertempat di VIP Room The Salis Hotel Bandung, (16/04/22).

Lebih lanjur Ganjar memaparkan faktor spirit persatuan peradaban manusia Indonesia dapat melejit paling tidak sejajar dengan bangsa – bangsa lain. Ada beberapa faktor yang menjadikan persatuan berfungsi sebagai magnit bangsa.

“Pertama, faktor historis, yaitu terjadinya suatu proses tumbuh dan berkembangnya sebuah peradaban suatu bangsa; kedua, faktor senasib sebagai sebuah bangsa yang menjadi korban penindasan dan penjajahan yang kemudian bangkit secara bersama untuk meraih kemerdekaan; ketiga, faktor Kesamaan harapan dan cita cita untuk maju; keekmat, persamaan pandangan hidup untuk tumbuh menjadi sebuah bangsa yang besar; kelima, kesamaan peradaban sebagai sebuah puak dengan beragam budaya dan kultur menjadi sebuah peradaban bangsa,” papar Ganjar.

Praktisi Pendidikan, R Yusep Halandi menggarisbawahi persoalan tergerusnya nilai toleransi yang disebabkan kurangnya pemahaman dan pengertian terhadap nilai dan anutan diluar kelompoknya.

“Disadari bahwa begitu lama kita abai dengan nilai nilai luhur yang telah ditorehkan dalam sebuah nilai sakral dan luhur, sebuah nilai nilai yang terhimpun dalam sebuah bingkai Pancasila. Salah satu butir dari Pancasila telah ditelantarkan, yaitu Persatuan,” kata Yusep.

Menuruthya, indikator telah ditinggalkannya nilai persatuan adalah menguatnya ego kelompok, ego ras dan ego keyakinan.

“Pandangan hanya golongannya lah, hanya klannya lah dan hanya ideologinya lah yang paling unggul, diluar dirinya posisinya sebagai very inlander dan budak, sebagai sub ordinat,” tandas Yusep.

Dalam pandangan Komunitas Gunung Indonesia, Zakaria yang akrab disapa Kang Jack menyodorkan gagasan lama yang kini dicoba untuk didorong lagi, yaitu usaha untuk membangkitkan kembali sikap cinta tanah air melalui kegiatan pemeliharaan alam sekitar.

“Komunitas Gunung Indonesia dapat menjadi wahana untuk mendorong spirit persatuan, mengingat kegiatan pemeliharaan lingkungan tidak membatasi pada persoalan persoalan identitas seseorang. Siapa pun dia, dengan latarbelakang apa pun orang itu kami akan terbuka menerima kehadirannya,” ujar Jack.

Guru BK yang juga aktivis KAHMI, Endang Suherli merasa prihatin energi bangsa habis terkuras oleh hal-hal remeh temeh yang tidak substansial dan tenggelam dalan topeng – topeng.

“Munculnya perasaan hal-hal diluar bangsanya lebih indah, lebih hebat adalah kondisi mental bangsa saat ini.
Kondisi menafikan peradaban sendiri dan terkesima dengan peradaban luar yang masih utopis menjadi tontonan sehari hari,” ungkap Endang.

Dalam kacamata relawan Mafindo dan Muti Institute, Rini Rahmawati menyoroti persoalan masyarakat dalam memasuki babak baru gelombang teknologi informasi lebih pada menikmati sisi hiburan dan berita yang bersifat sensasi dari pada informasi yang bersifat edukasi dan keilmuan.

“Perkembangan informasi tidak merubah pada perubahan perilaku yang lebih baik. Kondisi mental dan mind setnya tidak banyak berubah, alih – alih terjadinya penguatan persatuan yang terjadi sebaliknya,” tutur Rini.

Harapan terjadinya transformasi pengetahuan yang dapat meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, meningkatkan kemampuan dalam menyerap gelombang peradaban tidak terwujud, imbuhnya.

“Kelompok ibu-ibu dan anak usia sekolah menjadi titik lemah dan rentan dalam ikut serta merebaknya disinformasi di masyarakat,” tandas Rini.

Jurnalis yang berlatar pendidikan Antropologi, Jumadi Kusuma melihat polarisasi politik pasca pilpres tidak pernah tuntas, padahal Presiden Jokowidodo telah berusaha menerapkan politik akomodatif dengan mengakomodasi tokoh dan elit rival politik dalam pemerintahan.

“Fenomena itu menandakan tokoh dan elit politik tidak mengakar dengan grassroot dan ada persoalan ideologis daripada masalah politik semata,” katanya.

Sebagai penutup, Ganjar menggarisbawahi perkembangan teknologi informasi yang belum mampu merubah mindset masyarakat kearah yang lebih baik dalam menguatkan spirit persatuan.

“Jangankan mampu melakukan percepatan untuk mendorong munculnya kekuatan terciptanya persatuan sesama anak bangsa,yang terjadi sebaliknya, dimana teknologi informasi atau teknologi digital melalui optimalisasi penggunaan internet hanya menjadi alat untuk menebar fitnah, adu domba dan persekusi,” ungkapnya.

Berita sampah menjadi makanan sehari hari dan telah hampir membakar dirinya sendiri yang berujung pada tindakan kriminal.

“Latarbelakang pendidikan yang beragam, pemahaman agama yang dangkal serta faktor faktor politik identitas yang masih menguat telah dan sedang menggerogoti fondasi persatuan. Bila saja kita abai dan lalai mengantisipasi kondisi ini, maka jangan harap bangsa kita akan sejajar dengan bangsa bangsa lain, malah bisa jadi akan hilang dari peta bumi ini,” pungkasnya.***

Reporter: Ganjar Gandapraja
Editor: Jumadi Kusuma