Saat Anies Baswedan Meneladani Karakter dan Ajaran Tuhan Yesus Kristus

Oleh; Freddy Mutiara
Oleh; Freddy Mutiara

Statistik sektoral Provinsi DKI Jakarta tahun 2020 menunjukkan dari 11.196.633 warga Ibu Kota, sebanyak 84% penduduknya menganut agama Islam. Meskipun mayoritas penduduk DKI Jakarta beragama Islam, penganut agama Kristen (Protestan/non-Katolik) menjadi yang terbanyak kedua sebesar 8,6% atau sebanyak 960.162 jiwa.

Jumlah penduduk penganut agama Kristen (Protestan) tersebar paling banyak di Jakarta Barat dengan jumlah 268.502 jiwa. Tidak hanya agama Kristen (Protestan), Jakarta Barat juga menjadi wilayah dengan persebaran agama Buddha, Kristen (Katolik), dan Konghucu terbanyak dengan 203.889 jiwa penganut agama Buddha, 149.516 jiwa penganut agama Kristen (Katolik), dan 825 jiwa penganut agama Konghucu.

Pertanyaannya: saat Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 baik putaran pertama maupun putaran kedua yang saat itu diikuti oleh pasangan cagub Anies Baswedan-Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, ke mana arah dukungan non-Muslim, terutama umat Kristiani (Kristen Protestan dan Kristen Katolik) saat itu? Bagaimana pula sejatinya konten komunikasi politik yang terjadi dan beredar di kalangan umat Kristiani saat itu?

Kedua pertanyaan ini penting dan substantif, karena akan mematahkan labeling politik identitas dan intoleran yang selama ini selalu dituduhkan serta disematkan kepada Anies Rasyid Baswedan, Ph.D yang kemudian kita harus berbicara jujur (frankly speaking )menjadi sumber ketidaksukaan banyak kalangan Kristiani kepada Anies hingga kini, sehingga tak bisa lagi melihat secara objektif sederet prestasi atas diri satu-satunya gubernur pemegang gelar doktor (Ph.D/ Doctor of Philosophy) dari Universitas Illinois Utara, School of Public Policy, Amerika Serikat ini.Termasuk tidak bisa melihat secara objektif sederet kebaikan Anies kepada umat Kristiani di DKI Jakarta selama menjabat Gubernur DKI Jakarta sejak 2017-2022.

Politik identitas sejatinya sudah lazim dipakai dan dipraktikkan dalam berbagai kontestasi elektoral di Tanah Air sebagai bagian dari strategi pemenangan. Mulai dari tingkatan lokal hingga nasional. Sadarkah kita, kalau seorang kandidat menyematkan gelar haji di depan nama dirinya, menyebutkan dirinya berasal dari daerah atau suku tertentu, serta berkeliling kepada tokoh agama, mereka sesungguhnya juga telah melakukan politik identitas?

Foto: Dok. Pribadi

Kita harus jujur mengakui, di kalangan umat Kristiani sendiri mobilisasi untuk mendukung Ahok itu juga terjadi, dengan harapan Ahok menjadi Gubernur Kristen dan Tionghoa pertama yang terpilih melalui proses pilkada. Sebuah gereja besar di Jakarta, bahkan pendeta seniornya menyerukan dari mimbar khotbah—yang harusnya apolitis—untuk mendukung Ahok agar ada anak Tuhan yang baik dan berintegritas duduk di pemerintahan.

Berbagai rekam jejak digital menunjukkan upaya mendorong umat Kristen agar memilih Ahok menggunakan terminologi Alkitab yang sangat dikenal umat Kristiani untuk merujuk kepada sesama saudara seiman: anak Tuhan (anak huruf kecil). Sementara Anak Tuhan huruf besar merujuk kepada Tuhan Yesus Kristus. “Saya coblos nomor 3. Semoga menang. Saatnya Jakarta dipimpin anak Tuhan yang bersih.” “Ayo kita pilih anak Tuhan untuk Jakarta baru.” “Ayo dukung anak Tuhan yang akan mencalonkan diri menjadi Gubernur Jakarta. Kita berdoa melalui Pak Ahok akan mengubah Jakarta dan Indonesia secara umum.” “Anda sudah bersinar di tengah kegelapan? Bersama Ahok anak Tuhan yang menempatkan diri sebagai agen perubahan.” “Dukung Ahok yang bebas korupsi biar ada anak Tuhan yang pegang gunung pemerintahan di DKI Jakarta.”

Selain itu, ada pula kampanye “Saya Muslim saya pilih Ahok” dan pembagian buku saku “Tujuh Dalil Umat Islam DKI dalam Memilih Gubernur DKI Jakarta” yang dibagi-bagikan tim kampanye Ahok. Apa semua ini bukan politik identitas?

Justru Anies tidak tahu-menahu dengan politik identitas tersebut. Bahkan Anies menyatakan siapa pendukung Ahok yang tidak di-sholat-kan, dirinya yang akan men-sholat-kan. Ahok-lah yang terpeleset lidah mengutip ayat Al-Quran yang bukan ranah keimanannya yang kemudian memicu kemarahan umat Islam. Lalu Anies yang selalu disematkan predikat intoleran? Adilkah? Padahal kita tahu bersama: pejabat publik lain di Pemerintahan Presiden Jokowi bahkan turut terlibat dalam terseretnya Ahok ke pengadilan. Wapres Ma’ruf Amin misalnya terlibat menginisiasi fatwa GNPF ulama tentang kasus Ahok dalam posisinya sebagai Ketua MUI saat itu. Begitu pula rekam jejak Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia Mahfud MD menunjukkan sikapyang memberatkan Ahok dalam berbagai statemen di media massa waktu itu. Namun, tidak ada yang menyematkan label intoleran kepada beliau berdua.

Foto: Istimewa

Sebagai orang yang pernah mengemban posisi pejabat publik pada dua posisi strategis—Mendikbud selama hampir dua tahun dan Gubernur DKI Jakarta selama lima tahun–di Tanah Air dalam kurun waktu lama, total hampir tujuh tahun, Anies harus dinilai dari kebijakan publiknya selama tujuh tahun menjadi pejabat publik itu. Selama tujuh tahun itu, adakah kebijakan publik dari Anies yang intoleran dan radikal? Atau justru sebaliknya, fakta selama tujuh tahun itu, kebijakan publik Anies justru memperkuat kebhinnekaan yang ika, keragaman, tidak menghasilkan kegaduhan politik yang kontraproduktif, dan harmoni masyarakat DKI Jakarta dan Indonesia?

Dalam sebuah kesempatan diskusi tatap muka pribadi selama sekitar satu jam dengan penulis pada Maret 2022, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan komitmen dan posisinya terhadap toleransi dan kelompok minoritas.Anies menjelaskan, beliau memilih tidak membantah labeling intoleran terhadap beliau dengan kata-kata, karena akan disanggah dengan kata-kata pula. Namun, kata beliau, biarkan fakta-fakta track record selama empat tahun lebih memimpin DKI Jakarta yang menjawab labeling tersebut. Dalam sebuah nada tanya, Anies berkata langsung kepada penulis, “Tunjukkan apakah ada kebijakan saya selama menjabat Gubernur DKI Jakarta yang diskriminatif?”

Siap Anies yang diam ini sejatinya mirip dengan karakter dan ajaran Tuhan Yesus Kristus tentang kasih dan pengampunan.Berbagai survei dan exit poll yang kredibel saat pilgub DKI Jakarta 2017 di tempat pemungutan suara dengan mudah dapat menunjukkan bahwa mayoritas dukungan umat Kristen pendulumnya bergerak ke Ahok. Sangat sedikit yang mendukung Anies. Namun, alih-alih membalas ketidaksukaan banyak umat Kristiani kepada dirinya sebagai ekses polarisasi pilgub DKI Jakarta 2017, Anies justru menaburkan banyak benih kasih dan kebaikan kepada umat Kristiani selama menjabat Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Anies melalui kebijakan publiknya memilih berlaku adil: memayungi semua anak bangsa pasca-pilgub tanpa pandang bulu. Hukum tabur tuai dan hukum kasih yang diajarkan Tuhan Yesus Kristus justru diterapkan Anies kepada umat Kristiani. Anies justru menjalankan ajaran Tuhan Yesus Kristus: ditampar pipi kanan, berikan pipi kiri.

“Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.” (Galatia 6:7)

“Dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat.”(1 Petrus 3:9)

“Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.”(Kolose 3:13-14)

“Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.”(Matius 5:39)

Juli 2022 ini, media kredibel Singapura The Straits Timesmewawancarai eksklusif Anies Baswedan. Dari interview media itu, terungkap betapa di masa pandemi Covid-19, para pendeta dari gereja-gereja kecil di Jakarta sangat berterima kasih dan terharu atas bantuan Anies kepada gereja-gereja melalui program BOTI (Bantuan Operasional Tempat Ibadah). Saat pandemi, tanpa kunjungan fisik jemaat, karena ibadah hampir seluruhnya berlangsung daring, persembahan dari jemaat untuk mendanai operasional gereja merosot drastis. Gereja-gereja kecil dengan jemaat sedikit sangat terpukul dengan kondisi ini. Tidak heran, mereka pun sangat berterima kasih kepada Gubernur Anies atas bantuan melalui program BOTI.

Penulis mengutip pernyataan Ketua Umum Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Pendeta Dr. Jonny M. Weol, M.M., M.Th  dalam Musyawarah Besar (Mubes) GPdI se-Indonesia pada Maret 2022 lalu. Pdt. Dr. Johny W. Weol terpilih menjadi Ketua Umum Majelis Pusat GPdI periode 2022-2027 melalui mekanisme voting dalam forum Mubes GPdI XXXIV pada Kamis dinihari (17/03) di Hotel Grand Mercure, Kemayoran, Jakarta.

Di hadapan ribuan pendeta GPdI se-Indonesia yang menghadiri Mubes, Ketua Umum GPdI Pendeta Johny Weol menilai Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai pemimpin yang toleran. Johny tak setuju jika Anies dianggap atau dilabeli sebagai sosok intoleran. Pernyataan Ketua Umum GPdI Pendeta Johny Weol ini tentu merupakan statemen yang sangat kredibel mengenai Anies, karena dinyatakan oleh seorang pemimpin gereja di aras (tingkat) nasional.

GPdI merupakan organisasi denominasi (aliran) gereja Pentakostal terbesar, tertua, dan memiliki cabang gereja terbanyak di Tanah Air hingga ke daerah-daerah pelosok dengan estimasi memiliki sekitar dua juta anggota jemaat dan lebih dari sepuluh ribu gereja di seluruh Indonesia. GPdI pula yang menjadi cikal-bakal banyak gereja-gereja Karismatik dan Injili besar di Indonesia, seperti GBI (Gereja Bethel Indonesia), Tiberias, Mawar Sharon, dan Bethany.

Menurutnya, selama Anies memimpin Ibu Kota, gereja-gereja di Ibu Kota yang jumlahnya secara resmi mencapai seribu lebih itu amat terbantu dengan Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI) dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Bahkan, faktanya, selama Anies menjadi Gubernur DKI Jakarta banyak izin pembangunan gereja yang telah diberikan dan terbangun hingga diresmikan menjadi gedung gereja baru dari berbagai denominasi (aliran) gereja. Mulai dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) hingga Katolik. Untuk pertama kalinya dalam sejarah di DKI Jakarta, sejak Anies menjabat Gubernur, setiap tahun diadakan konser Natal Jakarta Christmas City di berbagai ruang publik di Jakarta dengan menggandeng komunitas gereja, yayasan, dan sekolah-sekolah Kristen.

“Jadi rumor mengenai beliau itu [intoleran], saya kira hal keliru. Sentuhan sosial beliau khususnya untuk gereja sangat berarti bagi kami. Saya masih Ketua Majelis Daerah GPdI DKI Jakarta mewakili hampir 1.000 gembala, menyampaikan kepada Pak Gubernur, terima kasih atas bantuan BOTI, Tuhan memberkati bapak, warga dan tugas-tugas kenegaraan,” kata Johny dilansir dari Kantor Berita Nasional Antara, Senin (21/3/2022).

Hal sama disampaikan oleh Ketua Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia (PGPI) Pendeta Jason Balompapueng memuji kepemimpinan Anies di DKI Jakarta yang menunjukkan sosok nasionalis. Asal tahu saja, PGPI merupakan organisasi perhimpunan gereja-gereja Pentakostal di aras (tingkat) nasional, yang levelnya sama dengan organisasi perhimpunan gereja di aras nasional lain seperti PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia), dan Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia (PGLII).

“Terima kasih kepada Bapak Gubernur DKI Jakarta. Saudara boleh lihat kabar yang didengar saudara keliru (tentang label intoleran). Beliau ini sangat nasionalis, keluarga nasionalis, perekat persatuan bangsa,” ujar Pendeta Jason Balompapueng.

“Dengan Program BOTI menunjukkan beliau memegang komitmen dan seorang yang sangat berkomitmen terhadap toleransi dan menjaga kerukunan umat beragama pantas sebagai pemimpin. Tuhan kiranya memberkati Bapak Gubernur DKI Jakarta,” kata Jason menambahkan.

Jason pun berharap program BOTI yang dibuat Anies tersebut tak hanya berjalan di Jakarta, tetapi juga dapat diteruskan secara nasional. “Saya bermimpi bagaimana BOTI ini bisa menjadi program nasional di seluruh Indonesia,” pungkasnya.

Tahukah kita juga, kalau Anies Baswedan itu juga punya ajudan dari Papua beragama Kristen, para staff dan pimpinan di lingkungan Pemprov DKI Jakarta beragama Kristen dan lainnya yang tidak pernah sekalipun mendapatkan diskriminasi atau perlakuan tidak setara dari Gubernur Anies selama menjabat Gubernur DKI Jakarta atau Mendikbud? Kepada penulis pun Anies sangat welcome, walaupun dengan lugas penulis menanyakan soal isu intoleransi itu dalam pertemuan perdana dengan beliau disertai statemen bahwa penulis beragama Kristen dan beretnis Tionghoa.

Semoga tulisan ini membuka mata kita semua: bahwa yang benar itu tetaplah benar walaupun kita hujat dan tidak kita sukai. “Akan terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya.”(Maleakhi 4:2).Kiranya Tuhan memulihkan bangsa dan negara Indonesia dari pembelahan, polarisasi, dan politik kebencian terhadap sesama anak bangsa yang tidak bersalah. Amin. (*)

Freddy Mutiara, ST, MM, CPM (Asia), CMA (USA), jurnalis & akademisi, mantan aktivis Badan Musyawarah Antar-Gereja (BAMAG) Jawa Timur, eks Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Kristen Tiang Api BAMAG Jawa Timur, jemaat baptis Gereja Bethel Indonesia (GBI) Gatot Subroto Senayan-Jakarta