Catatan kecil : Puguh Tj.S Warudju
Cerminan Egaliter
“Kecil itu Keren” adalah sebuah tema yang dilansir dari sebuah pameran yang digelar di Belleveu art Space Cinere Depok, Jawa Barat. Inisiatornya adalah seorang perupa MS.Untung sebagai salah satu programmer kegiatan di Belleveu Art Space yang dimualimi oleh Sohieb Toyaroja, seorang perupa asal Gringging Kediri.
Kali pertama “Kecil itu Keren” dilaksanakan pada Oktober 2022, dengan menyeragamkan peserta pameran lewat karya berukuran 17 x 17 cm. Adapun Pameran yang ke dua dengan sematan tema yang sama, ditandai melalui ukuran karya 25 x 25cm. Pameran dibuka secara resmi oleh Akademisi dari IKJ: Dr. Inda Citraninda Noerhadi, yang jua pemilik Galeri Cemara, Menteng Jakarta Pusat. Rencananya pameran akan diberlangsungkan hingga satu bulan lamanya.
Dapat disimak bahwa Karakter Unik dari pameran-pameran “Kecil itu Keren”, pertama merupakan pameran lintas generasi dan membebaskan hierarki profesionalisme ataupun posisi emphiris perupa terhadap karyanya. Semuanya memperoleh kesempatan yang sama sepanjang memenuhi persyaratan administrasi maupun teknis koordinasi yang ditawarkan oleh penyelenggara.
Kedua, temanya bebas sesuai gagasan yang ingin disampaikan oleh para peserta pada karyanya. Ke tiga, pameran ini tanpa penyertaan kuratorial, sehingga bagi peserta belia (anak-anak dan remaja) maupun dewasa yang masih pemula menjadi merasa lebih bebas, ringan tanpa beban, tidak merasa khawatir untuk dielaborasi dan harus menghadapi gerbang seleksi yang biasanya masih menjadi ‘momok’ bagi para perupa yang barangkali belum memiliki banyak pengalaman. Itulah juga yang menjadi salah satu sebab bahwa besarnya jumlah peserta pada edisi ke dua ini juga mengejutkan, tak berbeda secara signifikan dari edisi pertama, tercatat diikuti sekitar 197 (hampir 2000) karya /peserta. Artinya animo peserta pameran masih sangat besar, bahkan mungkin meningkat.

Oleh sebab kesengajaan terhadap kelonggaran prosedur pameran ini, walhasil kurang lebih 200 an karya tampak beragam baik dari pesan yang ingin disampaikan oleh para pembuat karya maupun dari aspek gaya, atau pendekatan paradigma visualnya. Yang tampak seragam adalah kesepakatan ukuran 25x 25 cm, namun itupun tak luput dari persoalan kemasan tampilan (bingkai atau pun upaya –upaya memperelok tampilan, lainnya), yang pada akhirnya menjadikan ‘keseragaman’ menjadi tampak lentur.
Keragaman pendekatan visual, menandai adanya varian genre rupawi, mulai dari dekoratif, naifisme, still life realism (obyek alam benda dengan teknik realistik), abstrak, De Stijl yang dipengaruhi oleh post modernism ataupun post culturalisme, impressionisme, ekspresionisme dan barangkali juga art brut dan menguat pada pengkarya muda (millennia) berorientasi kepada comic graphic art, pop art dan seterusnya. Lebih lanjut juga dapat disinyalemen, bahwa para perupa rata-rata sudah memiliki kesadaran kontekstual atau berada dalam koneksitas terhadap citra visual kekinian.
Dengan tiadanya kuratorial yang mengkonsentrasikan pada aspek kekaryaan, dan juga oleh kompleksitas manajerial yang ditunjang oleh faktor jumlah peserta yang menerpakan kompleksitas respon terhadap mekanisme koordinasi dari masing-masing peserta, ditambah pula mempengaruhi waktu persiapan yang tersedia, maka pemajangan pameranpun relative lebih random.
Jaring kepesertaan yang ditempuh dengan recruitment terbuka (open call) tentu memberikan peluang besar bagi siapa saja yang memiliki aspirasi untuk berkreasi dan mencari pengalaman dengan mewartakan hasil karyanya dalam event pameran. Oleh karenanya pameran ini memang memiliki entitas yang sangat egaliter, terlebih di antar hampir 200 orang peserta itu, ada juga terpampang karyanya dari para perupa yang pada kurun ini memasuki fase senior atau paling tidak, diseniorkan.
Yaitu barangkali yang disebut sebagai “sudah sampai kriteria jam terbang di atas rata-rata, yang setidaknya telah mengantongi sejarahnya hingga tingkat mondial (lintas negara), secara signifikan”, antara lain boleh disebut : Soni SK, Jerry Tung, Yoes Rizal, MS. Untung , Jeffrey Sumampouw, Prisade, Erwin Erlangga (Bandung), Raden Kumala dan juga saya sendiri. Bila edisi perdana ada kesertaan Irawan Karseno, kali ini absen sebab terkendala oleh kesibukan ditambah permasalahan kesehatan.

Tantangan Kenakalan Visual
Frasa “Kecil itu Keren”, mengingatkan kepada seloroh filsuf Jerman yang banyak melansir pemikiran dalam bidang Ekonomi, Sosial Budaya dan Politik serta irisannya terhadap nilai Spiritual: Ernst Friedrich Schumacher. “Kecil itu Indah”, kata dia. Merupakan suatu rumusan sintesa terhadap pembacaan realitas geo ekonomi secara visioner.
Konstelasi ekonomi dalam instrumentalisasi sumber daya demi berlangsungnya orkrestasi peradaban manusia, tidaklah harus hanya berorientasi kepada gagasan teknokrasi ekonomi secara besar- besaran, tetapi dapat dimulai dari partikel-partikel kecil, sebagaimana eksistensi atom yang secara proyektoral memiliki potensi yang sangat besar dalam hajat hidup masyarakat makro.
Terkait hal itu, Hans Dieter Evers, mengartikulasikan suatu istilah dari Norbert Ellias sebagai subsistence. Untuk memenuhi penopang kebutuhan pangan masyarakat dapat menyediakan tanaman-tanaman produktif di halaman rumah (sekarang dikenal hidroponik), dalam masyarakat tradisional Jawa dikenal dengan karangkitri, yaitu halaman kecil yang ditanami sayur mayur yang efesien untuk memperoleh penunjang kebutuhan pangan. Dan sejalan dengan kredo Shumacher “kecil itu indah” proyeksi strukturalnya adalah terbangunnya suatu sistem ekonomi sektoral yang terintegrasi secara komprehensif dalam pengertian mengantisipasi permasalahan-permasalahan pada setiap layer ekonomi secara adil dan merata.
Pameran 25×25 kali ini ternyata juga kontekstual, punya relevansi dengan problema antropogis kekinian tentang ruang dan bisnis. Makin marak rumah-rumah apartemen, yang rata-rata dihuni oleh kaum yuppies atau orang –orang muda yang sukses. Dan mereka itu cukup punya kelonggaran (kemampuan) belanja karya seni demi mempercantik ruang huniannya. Mereka sangatlah potensial sebagai entitas captive market lukisan, yang secara sizing mencukupi daya tampung ruangan, baik hunian ataupun perkantoran minimalis.
Hipotesa ini ternyata terbukti, bahwa pameran “Kecil itu Keren’, sejak hari pertama pembukaan pameran 8 Maret 2024 jelang waktu tutup galeri, sudah menjual sebelas buah karya, bahkan setelah 3 hari berlangsung, terakumulasi penjualan mencapai 20 buah karya. Ini tentu merupakan angin segar di tengah keluh kesah bantatnya upaya menjual karya yang dipamerkan. Maka klop sudah tentang “Kecil Itu Keren”.
Dari tinjauan estetika dan artistik, ukuran kecil itu merupakan tantangan tersendiri. Terlebih, mengingat dua – tiga dekade belakangan ini gelaran dan wacana seni rupa menggerakkan gelombang behavior menampilkan karya-karya dalam ukuran besar-besar (giant size). Ukuran besar sebuah karya hadir sebagai produk penikmatan inderawi, memang sudah merupakan modal sensasi dan daya sihir tersendiri. Kebiasaan melukis kecil seakan menjadi kegiatan remah-remah, memanfaatkan sisa-sisa material saja dalam berkarya.
Padahal sensasi ukuran kecil dan tantangannya cukup pelik. Mensiasati operasinya unsur- unsur visual pada bidang yang relative terbatas, menjadi kekagokan yang cukup berarti, terlebih bila jam terbang teknis maupun idiomatiknya juga masih terbatas.
Ukuran kanvas atau medium yang kecil, semacam dihadapkan pada dinding tebal permasalahan yang sangat sulit ditemukan jalan keluarnya. Hanya mereka yang berpotensi atau terlatih berpikir lateral (konvergen: meluaskan alternative) dan ‘nakal’ – biasanya cekatan menemukan solusi kreatif. Emphirisme teknis, memahami ruang atau space agar mampu mengakomodir imajinasi tentang kekuatan estetik dan artistik punya peluang untuk dimaksimalkan tatkala karya nantinya menjadi dinyatakan selesai.
Kekuatan imaji atas kemungkinan bidang menampung elemen-elemen visual terlebih manakala harus menyematkan suatu pesan (narasi), adalah kelindan kegelisahan kreatif yang harus menemukan solusi. Untuk itu, penghayatan dan tafsir terhadap makna kaidah estetika harus menjadi modal utama. Sehingga kekaryaannya nanti tidak terlalu problematik pada kriteria- kriteria focusing, proporsi, keseimbangan, aksen hingga kesatuan. “Kecil Itu Keren” memberikan ruang untuk menjawab tantangan terhadap ‘kenakalan visual’ tersebut.***