Jakarta, Penaberita.id–Keberadaan guru ngaji atau guru mengaji di kampung maupun perkotaan memiliki peran yang besar terhadap perkembangan agama Islam di Nusantara. Di Betawi misalnya, tradisi ‘ngaji lekar’ sudah ada sejak era masyakarat Betawi tempo dulu, tidak ada rujukan yang pasti tentang kapan awal tradisi itu dimulai. Namun diketahui beberapa ulama penyebar agama Islam di Betawi, di samping mendirikan Masjid, juga mengenalkan agama Islam dengan metode ngaji lekar ala ulama salaf.
Hingga pada akhir abad ke 19 tradisi tersebut terus berkembang yang dikenalkan oleh seorang Mufti Betawi bernama Habib Ustman Bin Yahya dengan karyanya kitab Sifat Dua Puluh. Kitab ini mengajarkan tentang sifat-sifat tuhan dalam teologi Islam yang disampaikan melalui pengajian-pengajian sebagai ilmu Ushuluddin atau ilmu yang mempelajari tentang dasar-dasar keyakinan agama Islam, sebelum diberikannya pengajaran baca tulis Al-Qur’an dengan metode ngaji lekar.
Kini di DKI Jakarta, tradisi ngaji lekar masih eksis dan banyak di temui dipemukiman-pemukiman warga. Hj. Siti Marwiyah salah satunya, seorang warga Tanah Merdeka Kelurahan Kampung Rambutan, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur. Setiap pukul 18.00 WIB ada beberapa anak-anak yang belajar baca tulis Al-Qur’an kepadanya dengan metode tersebut. Bermodalkan tikar dan teras rumah berukuran 1,5 meter persegi, Hj Wiwik sapaan akrabnya, terlihat telaten mengajarkan anak-anak huruf hijaiyah satu-persatu.
Kepada jurnalis penaberita.id ia menuturkan, menjadi guru ngaji lekar sudah ditekuninya sejak usia 17 tahun di kawasan Pasar Cisalak, Kota Depok, yang merupakan tempat kelahirannya. Hingga hari ini usianya memasuki usia emas pun ia masih menekuni profesi sebagai guru mengaji.
“Mulai dari Cisalak sampai ke Kampung Rambutan saya emang dari dulu begini, ya mengajar ngaji saja, jadi guru ngaji kekar anak-anak dan ibu-ibu,” ujarnya Selasa (27/9).
Ia menjelaskan, metode ngaji lekar sejatinya memang sudah ada sejak tempo dulu. Bahkan ia menyebut tradisi ngaji lekar sudah ada sejak era Syekh Quro atau Syekh Qurotul Ain atau Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah di Karawang, Jawa Barat, sebagai generasi awal yang menerapkan tadisi ngaji lekar atau metode membaca satu persatu huruf hijaiyah, belajar ilmu tajwid serta memahami artinya.
“Maka dipanggilllah, sebutannya Syech Quro, karena beliau ini hafal Qur’an, seorang hafiz yang mengenalkan huruf pelajaran baca tulis kepada masyarakat Jawa Barat,” kata dia.
Metode pengajaran ngaji lekar tidak berubah sampai hari ini, pun begitu yang ia terapkan kepada anak-anak didiknya di pemukiman padat penduduk untuk anak usia 4 tahun – 15 tahun. Adapun ilmu yang didapatkan Hj. Wiwik didapat secara turun-temurun dari orang tuanya dan ulama setempat dengan metode yang sama, yakni ngaji lekar. Karena menurutnya, yang terpenting bukanlah di mana lembaga kita belajar tapi yang utama adalah mengamalkan ilmu yang didapat.
“Karena ilmu yang tidak bermanfaat hanya dikaji tanpa diamalkan, Alhamdulilah saya mengamalkan ilmu yang saya dapat masih eksis sampai hari dan mampu membiayai anak saya yang masih kuliah dan sekolah,” ungkapnya.
Ia bercerita, menjadi guru ngaji di kampung bukanlah satu hal yang mudah. Karena dalam prakteknya ada banyak tantangan yang dihadapi seorang guru ngaji. Salah satunya adalah menumbuhkan semangat dikalangan orang tua dan anak-anak agar mau mencintai Al-Qur’an. Selain itu persoalan ekonomi juga menjadi hal fundamental dalam berdakwah mengentaskan buta huruf Al-Qur’an. Contohnya adalah persoalan honor guru ngaji yang terbilang sangat miris yang hanya mengandal uang ikhlas.
Baginya hal itu memang tidak etis disampaikan jika mengingat pada prinsip dasar dalam berdakwah, yakni ikhlas mengamalkan. Akan tetapi ia menilai perihal tersebut perlu juga dirasionalkan dengan kondisi masa kini yang serba mengandalkan uang seperti penyediaan Iqro, Al-Qur’an, pembuatan lekar dan media tulis serta kegiatan lainnya yang bersifat keagamaan.
“Bisa dilihat ada yang sudah hatam Qur’an orang tuanya ga mau tahu, ada lagi yang alqurannya sampai jelek banget, buluk dan sobek. Kemudian saya lihat, lah ini anak HP-nya bagus banget, masa kok orang tuanya bisa beliin HP Android bisa tapi beli Iqro aja kaga bisa?” terang Hj. Wiwik.

Kendati demikian dikatakan Hj. Wiwik, hal itu tidak terlalu menjadi pikiran karena ada beberapa donatur yang menyalurkan media baca tulis huruf Hijaiyah seperti Iqro, Alquran dan buku tulis. Yang terpenting sambung Wiwik, adalah bagaimana menumbuhkan semangat dikalangan orang tua dan murid agar menyadari pentingnya pendidikan Al-Qur’an sejak dini yang tidak bisa dilakukan secara intensif di sekolah umum.
“Untuk pelajaran agama saja tidak akan sampai jika siswa hanya sekolah saja tapi tidak mengaji, begitu diujikan di sekolah tidak bisa membaca Alquran. Ya bagaimana bisa kalau anaknya tidak mengaji di rumah,” imbuhnya.
Lebih lanjut Ibu 5 orang anak ini pun mengatakan, pernah mendengar tentang program intensif yang disalurkan oleh Pemerintah DKI Jakarta kepada guru-guru ngaji beberapa tahun lalu. Namun dirinya mengaku tidak pernah mendapatkan anggaran tersebut yang didedikasikan untuk guru ngaji di kampung-kampung. Lagi-lagi menurutnya, hal itu bukanlah hal yang penting. Karena ada atau tidaknya intensif untuk guru ngaji dari pemerintah, tradisi ngaji lekar di kampung-kampung akan tetap eksis hingga masa yang akan datang.
Di temui terpisah, salah satu guru ngaji lekar lainnya Ustadz Muhammad Bayhaqqi yang merupakan warga Kelurahan Susukan, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, mengapresiasi adanya upaya Pemprov DKI Jakarta dalam mensejahterakan guru mengaji melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 275 Tahun 2022.
Menurutnya program tersebut sangat bagus dilaksanakan sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap eksistensi tradisi ngaji lekar yang selaras dengan program lainnya seperti Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI). Namun pimpinan Majelis Ta’lim Baitul Ibadh ini mengatakan tidak mendapatkan dana intensif tersebut. Yang ia ketahui adalah bantuan dari BAZNAS (BAZIS) DKI Jakarta.
“Sempat beberapa kali saya dapat, bahkan dimintakan buku rekening Bank DKI Syariah, Alhamdulillah kami mengapresiasi dan sangat bangga dengan program ini,” kata Bayhaqqi.
Alumni Pondok Pesantren Darul Habib ini pun menuturkan, untuk dirinya dapat atau tidak bukanlah menjadi persoalan tapi dia berharap program tersebut bisa terus terealisasi guna mendukung eksistensi tradisi ngaji lekar yang sudah ada sejak tempo dulu secara turun temurun berikut bantuan untuk rumah ibadah dan marbot masjid.
Dihubungi terpisah Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Hj. Solikah mengatakan, guru ngaji lekar memang memiliki peran penting terhadap perkembangan karakter anak. Karena melalui metode tersebut selain terbukti mumpuni mencetak generasi yang memahami Al-Qur’an, metode tersebut behasil membentuk ikatan emosional antara guru dan murid. Sehingga tak heran banyak persoalan murid yang bisa dipecahkan oleh sang guru dengan mudah di pengajian.
“Guru mengaji itu paling peka, dan memahami psikologis anaknya, bukan sekedar baca tulis Al-Qur’an saja, saya katakan guru ngaji lekar ini adalah garda terdepan dalam pembentukan karakter anak dan hampir di setiap RT di Jakarta guru ngaji lekar itu masih eksis,” kata Sholikah.
Sementara itu, terkait upaya Pemprov DKI Jakarta dalam mensejahterakan guru mengaji melalui pemberian intensif adalah sesuatu yang patut diapresiasi dan diperjuangkan, apalagi diketahui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta yang terbilang besar dibandingkan Provinsi lainnya.
“Kota Malang saja, Jawa Timur, yang APBD-nya 2 Triliun bisa memberikan intensif untuk guru ngaji, masa kita tidak yang APBD-nya besar, intensif 500 ribu rupiah itu bisa, dan ini yang kami perjuangkan bersama teman-teman di DPRD,” tuturnya.
Wanita yang pernah belajar mengaji di wilayah Petamburan, Jakarta Barat, ini menambahkan, dirinya dan anggota DPRD lainnya sepakat untuk memperjuangkan terus keberpihakan pemerintah terhadap nasib guru ngaji dan berharap agar guru ngaji yang sudah mendapatkan intensif bisa terus mengembangkan potensinya dalam mengajarkan akidah dan akhlak generasi bangsa di dalam kampung-kampung.
“Karena kalau bicara perannya ya besar, garda terdepan menjaga akidah dan akhlak, guru ngaji kekar masih banyak di Jakarta dan tidak hanya mengajarkan Al-Qur’an saja, sejarah, hafalan dan persoalan-persoalan agama di masyarakat juga diajarkan, maka anak dewasa, tua pun masih ingat siapa guru ngajinya saat kecil,” tuntasnya.*** Kemal