Dirjen Kebudayaan Kemdikbud Ristek, Hilmar Farid: Kebudayaan Masih Cenderung Dilihat Terbatas dalam Bentuk Ekspresi yang Bisa Dijual

Foto: Dok. Pribadi
Foto: Dok. Pribadi

Bagi sebagian masyarakat bahkan pejabat, budaya dan kebudayaan mungkin masih dianggap belum penting atau bahkan tidak sepenting urusan ekonomi, pariwisata, politik, hukum dan urusan lain-lainnya dalam hidup dan kehidupan. Singkatnya, budaya dan kebudayaan tak lepas dari sebatas persoalan sejarah, benda-benda antik, museum bahkan seni serta hiburan. 

Meskipada 27 April 2017 lalu, pemerintah telah mensahkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sebagai acuan legal-formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia. Bahkan jauh sebelum undang-undang itu disahkan, urusan budaya dan kebudayaan ini sudah dibahas secara serius oleh para pendiri bangsa, yakni termaktub pada UUD 1945 Pasal 32; Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.

Bahkan kebudayaan merupakan pilar kehidupan bangsa ini pada awal masa reformasi melalui proses amandemen alias perubahan UUD 1945, pemajuan kebudayaan masih prioritas. Penegasan ini selanjutnya termaktub pada Pasal 32 UUD 1945 dikembangkan menjadi; Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemdikbud Ristek, Hilmar Farid menyebutkan kebudayaan ini sebenarnya urusan wajib non pelayanan dasar. Jadi setiap daerah harus mempunyai dinas yang mengurusi bidang kebudayaan. Bahwa dia mau campur dengan pariwisata, pendidikan,  itu kewenangan daerah, tapi dia harus punya dan dibuniyikan. Nah, pariwisata sementara adalah bukan urusan wajib. Opsional, pilihan. Dia boleh ada, boleh tidak. Tapi  kalau kita lihat kabupaten kota di Indonesia ini hampir pasti punya dinas pariwisata. Dan dari segi anggaran, anggaran pariwisata di daerah ini selalu lebih besar daripada anggaran di bidang kebudayaan.

Masalahnya bukan hanya hal yang sifatnya teknis, tetapi ada sesuatu yang lebih mendalam, yaitu pemahaman bahwa kebudayaan tunduk pada keperluan pariwisata. Jadi, urusan kebudayaan itu diarahkan sedemikian rupa sehingga bisa disajikan sebagai pariwisata. Sementara Undang undang Nomor 5 Tahun 2017, paradigmanya terbalik.

Kebudayaan ini, kekayaan budaya ini, sumber dari banyak hal, termasuk di dalamnya, salah satunya pariwisata. Tetapi dia bagian dari manfaat yang sebetulnya bisa ditarik. Dengan kata lain, penempatan urusan kebudayaan secara proporsional di dalam tatakelola di tiap daerah itu masih belum sepenuhnya mencerminkan paradigma yang ada dalam Undang undang Pemajuan Kebudayaan. Jadi ada kecenderungan melihatnya secara terbatas dalam bentuk-bentuk ekspresi yang bisa dijual kepada turis atawa orang yang datang.

Untuk mengetahui lebih lanjut persoalan budaya dan kebudayaan termasuk dana abadi kebudayaan, fokus kerja serta strategi penanganannya, jurnalis Penaberita.id, Frans P berkesempatan  bercakap cakap dengan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Ristek, Hilmar Farid. Cakap cakap dilakukan secara eksklusif belum lama ini di ruang kerjanya. Berikut petikan percakapannya.

Fokus kerja 2022 ini apa?

Kalau tahun 2022 ini, sebagian masih ada residu dari dampak Covid selama dua tahun kegiatan praktis terhenti karena ada migrasi yang cukup besar. Yang tadinya luring berpindah ke platform digital yang mana kini kita punya kanal Budaya Indonesiana TV, kemudian punya beberapa inisiatif yang bekerjasama dengan beberapa kelompok untuk tetap melaksanakan kegiatan kebudayaan walaupun banyak yang  daring.

Tahun ini, tentu karena perencanaan dilakukan tahun lalu, maka banyak unsur di dalamnya masih mempertimbangkan situasi Covid. Kalau situasinya terus membaik, sudah banyak rencana untuk membuat kegiatan luring. Jadi ini sedang melihat kembali, banyak usulan tahun lalu yang masih mempertimbangkan kondisi covid, tapi dengan perkembangan sekarang mungkin masih ada pergeseran. Tapi secara umum kita masih konsisten dan fokus besarnya dari Direktorat Jenderal Kebudayaan adalah memastikan tiga hal. Pertama, pelindungan. Artinya, pencatatat, dokumentasi, objek budaya, pemugaran dan seterusnya. Hal ini merupakan porsi terbesar dari Dirjen Kebudayaan. Kedua, sifatnya pengembangan dan pemanfaatan. Jadi, memfasilitasi berbagai macam inisiatif, projek kegiatan-kegiatan yang arahnya pada pengembangan kegiatan dari kekayaan kebudayaan yang sudah ditetapkan.

Misalnya penggunaan cagar-cagar budaya sebagai ruang publik, menggali informasi dari warisan budaya tak benda yang bisa digunakan di pendidikan dan dimacam-macam bidang. Ketiga, fokus pada masyarakat adat, ditambah lagi kita ada direktorat khusus, yakni Kepercayaan dan Masyarakat Adat. Kita membuat Satgas untuk membantu penegakan hak-hak masyarakat adat dalam berbagai bidang, khususnya sosial budaya.

Aksi kultural yang dalam waktu dekat bakal diselenggarakan apa saja?

Kalau festival, tahun ini kita menyelenggarakan kegiatan besar, terkait dengan G20, yakni 11-13 September di Borobudur pada September. Di mana menteri-menteri bidang kebudayaan akan datang . Kemudian kita akan membuat event Ruwatan Bumi yang juga menyambut sitauasi pasca covid. Mudah-mudahan Ruwatan Bumi ini semacam membersihkan bumi dari pengaruh-pengaruh energi negatif dan seterusnya. Jadi ini semacam aksi kultural atau aksi budayanya.

Apa kabar dengan Dana Indonesiana atawa Dana Abadi Kebudayaan itu?

Dana Indonesiana atawa Dana Abadi Kebudayaan ini merupakan amanat undang-undang. Tahun ini sudah mulai dibuka. Jadi tahun ini kita membuka kemungkinan orang untuk mendaftar, mengusulkan kegiatan-kegiatan berdasarkan kategori yang kemudian menjadi ruang bagi para pelaku budaya untuk mengembangkan apa saja yang menjadi kegiatannya.

Pengembangan dan pemanfaatan untuk cagar budaya seperti apa modelnya?

Cagar budaya memiliki dua dimensi. Pertama yang sifatnya fisik atawa keruangan atawa spasial. Jadi orang datang ke sana karena ingin menikmati. Tentu karena situasi covid kemarin, orang mencari alternatifnya, jadi tidak perlu datang tapi bisa melihat dengan menggunakan virtual technologi.

Dimensi kedua, cagar budaya sebagai sumber informasi dan sebenarnya, pengalaman orang secara fisik datangf ke cagar budaya ini akan meningkat pengalamannya seandainya dia mempunyai informasi terkait cagar bidaya itu. Sebenarnya dua dimensi ini tidak terpisah, hanya saja selama ini ada kecenderungan kita mengurusi dimensi fisiknya. Meski demikian, jika kita datang ke candi kita belum tentu mendapatkan informasi atau ceritanya dari ujung sampai ke ujung. Jadi, selama pandemi ini menjadi kesempatan yang bagus bagi kita sebagai pengelola maupun masyarakat, untuk mengkomunikasikan cagar-cagar budaya ini melalui media digital. Jadi, ada peningkatan besar terkait publikasi di ruang digital.

Jadi kompensasi dari keterbatasan pandemi ini, diimbangi dengan banyaknya informasi mengenai cagar-cagar budaya itu. Dan sekarang ini juga semakin banyak upaya untuk mulai menggali cagar budaya sebagai informasi yang tidak langsung berkenaan dengan sejarahnya.

Misalnya seperti apa?

Misalnya, banyak sekali patung atawa arca. Arca ini kalau kita perhatikan, cukup detail menggambarkan busana. Jadi kalau ada arca, kemudian figur itu duduk bersila, kemudian kita perbesar (zoom), maka kainnya akan kelihatan. Jadi, hal semacam ini yang akan kita angkat, misalnya. Jadi tidak langsung berkaitan dengan sejarahnya si arca ini. Melainkan busana, persiasan dan segala macam yang dikenakan si arca ini. Kita juga berdiskusi ke arah sana dengan teman-teman desainer. Apakah mereka juga dan bisa memanfaatkan informasi-informasi ini. Sama juga dengan tenun untuk menggali lebih dalam tekniknya dan seterusnya untuk memperkenalkan kepada publik.

Respon publik terhadap hal itu bagaimana?

Kalau diperhatikan, di media sosial kementerian, responnya cukup lumayan. Sebetulnya, minat publik akan informasi seperti itu cukup besar. Cuma selama ini sibuk dengan kegiatan yang macam-macam, jadi hal yang sifatnya esensial jadi terlewat. Namun sekarang ada peningkatan yang cukup signifikan dari jumlah maupun dari kualitas.

Jika memanfaatkan, kira-kira apa yang menjadi kelemahan teknologi digital ini untuk bidang kebudayaan?

Kalau saya tetap melihat, pengalaman berkunjung secara langsung ke cagar budaya itu tidak tergantikan. Betapa pun hebat teknologi digital, dia tidak bisa menggantikan pengalaman dan perasaan yang muncul ketika berkunjung secara langsung. Sebab pengalaman ketika berdiri di cagar budaya secara langsung perasaannya cukup berbeda. Jadi, teknologi digital ini sifatnya meningkatkan pengalaman. Jadi dia tidak menggantikan, tapi dia meningkatkan. Karena kalau berkunjung secara langsung kita akan mengalami Borobudur dalam konteks lingkungan, alam dan seterusnya.

Kalau dimainkan dalam virtual reality, kita akan melihat Borobudur dengan macam-macam himpunan informasi yang bisa diatur karena teknologi digital menyediakan sarananya. Jadi, akan ada perbedaan yang spesifik, makanya saya katakan komplementer, bukan subtitusi. Dan kedepan teknologi ini akan terus dimanfaatkan. Walaupun saya agak skeptikal dengan metafers, misalkan mau membangun satu dunia dengan berdasarkan data yang bisa dialami oleh kita menggunakan alat-alat seperti google dan lain-lain. Untuk game, dia cukup efektif dan ada pergerakan ekonomi di sana.

Untuk pengalaman mengenal sejarah dan budaya, saya agak skeptikal karena dua hal. Satu, jumlah data yang kita miliki untuk merekonstruksi kembali lingkungan dan seterusnya, seperti setting metaforis itu masih terbatas. Tidak semua keping  sejarah kita yang begitu kaya itu punya informasi yang cukup, sehingga kita bisa merekonstruksinya secara penuh. Kedua, karena perkembangan teknologinya yang tidak merata, jadi mungkin metafers akan menjadi mainan yang sangat menarik untuk masyarakat urban yang koneksi internetnya itu sangat baik. Tapi akan jauh sekali dari pengalaman dari orang-orang yang hidup di daerah dengan akses daerah yang sangat terbatas. Jadi, buat saya sifatnya lebih komplementer daripada subtitusi.

Walaupun kedepan, peran itu akan semakin besar. Misalnya di Borobudur kita akan memasang barcode yang bisa diakses melalui gadget orang akan mendapatkan informasi tanpa guide. Dan itu dengan mudah bisa dibuat menjadi audio, visual, dan bisa tampilkan foto dari arsip dan seterusnya. Jadi, sifatnya lagi komplementer yang meningkatkan pengalaman dari orang yang berkunjung.

Apakabar dengan Undang undang Pemajuan Kebudayaan? Saat ini sudah berapa daerah yang melaksanakan amanat dari undang-undang tersebut? Dan apa pengaruh terhadap daerah ketika menjalankan amanat dari undang-undang itu?

Kalau daerah sangat bervariasi. Ada daerah-daerah yang cukup semangat menyambut undang-undang ini, kemudian mereka membuat berbagai macam langkah kebijakan untuk mendukung itu. Indikator sederhananya, misalnya amanat dari undang-undang, setiap daerah membuat pokok pikiran kebudayaan daerah. Saat ini sudah 444 daerah yang sudah melakukan alias sudah membuat. Kalau melihat dari angka ini antusiasmenya sebenarnya cukup besar. Bahwa mereka ingin mendata, mengetahui kekayaan budaya yang mereka punya. Sebab dalam sosialisasi waktu itu kita sampaikan, inilah yang menjadi basis membuat kebijakan dibidang kebudayaan. Jadi kebijakan tidak serta merta karena selera orang perorang, tapi karena berbasis pada data.

Hal lain adalah regulasi. Ada tidak sekarang regulasi yang muncul sebagai akibat atau sebagai implikasi dari terbitnya Undang undang Nomor 5 Tahun 2017. Di  sini jumlahnya tentunya lebih sedikit, jumlahnya masih dibawah seratus. Jadi, yang sudah bikin Perda, Peraturan Bupati. Jadi, daerah-daerahnya itu cukup banyak, sekitar seperlima atawa 20 persen yang sudah membuat regulasi-regulasi. Dan itu terkait dengan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Hal lain, anggaran tentu. Karena ini penting sekali. Saya kira, situasinya, dalam berapa tahun terakhir setelah terbitnya undang-undang ini belum sepenuhnya berubah.

Jadi, kebudayaan ini sebenarnya urusan wajib non pelayanan dasar. Jadi setiap daerah harus mempunyai dinas yang mengurusi bidang kebudayaan. Bahwa dia mau campur dengan pariwisata, pendidikan,  itu kewenangan daerah, tapi dia harus punya dan dibuniyikan. Nah, pariwisata sementara adalah bukan urusan wajib. Opsional, pilihan. Dia boleh ada, boleh tidak. Tapi  kalau kita lihat kabupaten kota di Indonesia ini hampir pasti punya dinas pariwisata. Dan dari segi anggaran, anggaran pariwisata di daerah ini selalu lebih besar daripada anggaran di bidang kebudayaan.

Lantas, masalahnya apa?

Masalahnya bukan hanya hal yang sifatnya teknis, tetapi ada sesuatu yang lebih mendalam, yaitu pemahaman bahwa kebudayaan tunduk pada keperluan pariwisata. Jadi, urusan kebudayaan itu diarahkan sedemikian rupa sehingga bisa disajikan sebagai pariwisata. Sementara Undang undang Nomor 5 Tahun 2017, paradigmanya terbalik. Kebudayaan ini, kekayaan budaya ini, sumber dari banyak hal, termasuk di dalamnya, salah satunya pariwisata. Tetapi dia bagian dari manfaat yang sebetulnya bisa ditarik. Dengan kata lain, penempatan urusan kebudayaan secara proporsional di dalam tatakelola di tiap daerah itu masih belum sepenuhnya mencerminkan paradigma yang ada dalam Undang undang Pemajuan Kebudayaan. Jadi ada kecenderungan melihatnya secara terbatas dalam bentuk-bentuk ekspresi yang bisa dijual kepada turis atawa orang yang datang.


Apa yang salah dengan hal itu?

Apakah dalam bentuk kerajinan, pementasan, pameran dan seterusnya. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Bagus kalau misalnya mendapatkan pendapatan asli daerah. Tetapi, investasi di bidang kebudayaan, kalau dia langsung direduksi menjadi barang atau produk yang bisa dijual untuk kepentingan pariwisata, sayang. Karena sebetulnya masih banyak sekali yang dihasilkan dengan mengelola kekayaan budaya itu dengan baik. Nah, ini tentu pekerjaan yang tidak ada habisnya. Dan terus saja kalau ketemu kepala daerah, kepala dinas, kita ingatkan dan paling bagus kalau diskusi di lapangan dan kasih lihat. Ini loh yang sebenarnya bisa dikerjakan di daerah-daerah yang oleh kepala daerahnya atau dari dinasnya sendiri dianggap kurang berkembang secara kebudayaan.

Jadi persoalannya bukan soal ada tidaknya atraksi yang menarik, tapi soal cara pikir kita. dan salah satu tugas penting setelah undang-undang terbit adalah itu. Kita bersyukur, peraturan pemerintah, regulasi turunan dari undang-undang ini terbit tahun lalu. PP 87 Tahun 2021, dan itu sangat membantu, karena bagaimanapun di birokrasi ini mesti ada tata aturan yang jelas. Kalau diperintahkan dalam PP, maka akan dilaksanakan. Kalau hanya diskusi dan ide-ide mereka akan bilang, ok nice to know tapi belum menjadi prioritas kita.

Tapi dari pengalaman Pekan Kebudayaan Nasional serta berbagai inisiatif yang dibuat oleh Dirjen Kebudayaan ini kita bisa melihat pergeseran pemikiran di daerah yang mulai menyadari potensi yang bisa digarap, diurus, ditangani dan berdampak baik bagi daerahnya. Masih banyak melihatnya sebagai cost, kalau mengeluarin uang untuk kebudayaan kenapa tidak kembali, dimarihi oleh seniman, terus lebih banyak minusnya daripada hasilnya. Jadi, tanpa menyediakan ruang bagi ekspresi budaya, maka lama-lama akan mengering, dan kalau mengering, tidak akan bisa masuk ke pariwisata dan bidang lain. Jadi penting untuk menjaga sumbernya ini agar tetap menghasilkan karya, ekspresi dari orang-orang yang terbaik. Karena tanpa itu tidak akan ada artinya pariwisata.

Kekeliruan berpikir terhadap kebudayaan itu tidak hanya ada pada orang-orang daerah. Tetapi di Jakarta ini, termasuk para petinggi negeri, para politisi ini juga keliru dalam memandang atau memikirkan kebudayaan. Lantas strategi untuk mengatasi persoalan ini apa?

Kalau kita di sini bilang bahwa kebudayaan ini harusnya berada di hulunya pembangunan. Lalu, strategi yang kita pakai, coba berbicara dengan bahasa yang berbeda-beda. Misalnya dengan orang ekonomi, maka strategi yang terbaik adalah menerjemahkan arti penting kebudayaan secara ekonomi. Contoh, kita memiliki banyak festival, seringkali oleh orang keuangan, bahkan perencanaan pembangunan seringkali dibilang pemborosan. Sementara rakyat lagi perlu minyak goreng dan segala macam. Kok, ini malah bikin festival yang sifatnya membuang uang.

Nah, yang kita bikin kemudian mempresentasikan setiap kegiatan kita ini dengan melihat nilai ekonominya. Misalnya, Pekan Kebudayaan Nasional, saya berani klaim, 95 persen dari apa yang kita keluarkan pasti masuk dalam rumah tangga pelaku, pemain, orang yang mengerjakan segala macam panggung dan sewa, para produser dan seterusnya. Dan kita hitung pada 2019 itu ada 4.500-an orang yang terlibat dalam prosesnya. Kalau misalnya sekarang kita bandingkan efektivitasnya, dengan katakanlah BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang sebenarnya juga uang habis.

Di sini jelas menjadi sesuatu. Dan buat saya, daripada seniman kita kasih BLT lebih baik kita kasih pekerjaan. Jadi dari situ kita bisa lihat, bahwa anggaran yang masuk dalam urusan festival dan segala macam pasti bermanfaat. Urusan ekonomi yang kedua, bahwa dampak dari kegiatan ini bagi masyarakat, dia berkontribusi terhadap kohesi sosial. Orang dari kebudayaan yang berbeda bisa melihat dan menyadari bahwa Indonesia ada segala macam. Dampak sosial yang bisa dibaca dengan menggunakan rumus-rumus yang sudah ada, maka lebih mudah berbicara dengan teman-teman ekonomi. Bahkan sebenarnya kalau kita lihat, ini tempat investasi yang jauh lebih besar daripada, katakanlah bagi-bagi cash.

Kalau buat kita di kebudayaan ini sebenarnya sarana yang sangat bagus untukinvestasi sosial. Seniman bisa bermartabat, kegiatan sosialnya dirasakan masyarakat banyak, dia bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Jadi kerjaan semacam ini sebenarnya punya kontribusi lebih jauh daripada apa yang nampak di permukaan.  Saya istilahnya bagaimana memberi jalan dengan orang yang berbeda.

Contoh strategi lain, Jambi. Kita sekarang ada pengembangan situs Candi Muara Jambi. Dengan Bupati tidak putus-putus untu buat penetapan. Karena Bupatinya khawatir. Kalau seandainya kawasan ini ditetapkan sebagai cagar budaya, maka tidak boleh ada kegiatan pengembangan ekonomi. Lagi kita kasih pengertian, sebenarnya dengan menjadikan dia sebagai cagar budaya, bukan berarti masyarakat tidak bisa berbuat. Sebenarnya banyak sekali yang bisa dilakukan. Apalagi mengingat cagar budaya itu begitu luas, jadi kemungkinan untuk mengembangkan ke arah tempat yang nantinya akan jadi pusat ziarah, pusat kebudayaan dan segala macamnya, besar sekali.

Wilayah yang ditetapkan itu luas, lebih luas dari Taman Mini, yakni wilayah yang ditetapkan itu 3.981 hektar, besar sekali. Sekitar 80 persen hutan yang kaya. Ada madu, macam-macam tanaman di dalamnya, ada kelapas sawit juga. Jadi sebenarnya masih menghasilkan. Jadi kalau kita menggunakan pendekatan kebudayaan di dalam mengelola semua aset ini, fokusnya adalah pada pengembangan pengetahuan lokal. Saya percaya hasilnya akan luar biasa. Satu pohon aja, bisa menghasilkan madu yang nilainya tidak kurang dari seratus (100) juta. Itu dari satu pohon yang ada sarang tawonnya.

Jadi itu selama ini tidak pernah dihitung dengan benar. Ini belum mengembangkan orang datang dalam jumlah yang banyak, ditambah dengan hutan yang luas dan memiliki isi beragam ditambah lagi masyarakat yang tau tentang tanamannya. Karena selama ini masyarakat tidak pernah diorganisasi dan bekerja di perkebunan kelapa sawit, jadi keliru. Bahkan kalau dimainkan di market place, orang akan cari yang informasinya, narasinya itu bagus. Begitu mendapat informasi seperti itu, kepala daerah itu berubah 180 derajat, dan minta disegerakan, kemudian gubernurnya juga ikut mendukung. Jadi selalu mesti dikasih lihat benefit dari pemajuan kebudayaan ini apa. Kalau Cuma dibilang sebagai kewajiban, pasti orang berpikir masih banyak yang lain. Jadi praktis, kita coba menggunakan bahasa yang dominan sekarang, yakni bahasa ekonomi. Dan sejauh ini, saya belum pernah mendapat penolakan. Setidak-tidaknya, walaupun belum sepenuhnya memahami, tetapi semangat atau komitmennya untuk berbuat sesuatu itu ada. Dan ini juga pekerjaan yang tidak ada habisnya, karena kepala daerah ini datang silih berganti, pekerjaan yang terus menerus.***

Hilmar Farid

Lahir pada 08 Maret 1968

Pendidikan

  • S3 Cultural Studies/Critical Theory of Singapore
  • S1Sejarah, Fakultas Budaya, Universitas Indonesia

Pengalaman Profesional

  • Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemdikbud Ristek
  • Dosen Pascasarjana IKJ
  • Komisaris Utama PT. Balai Pustaka

Organisasi

  • Ketua Alumni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (ILUNI FIB UI) 2019 – 2020
  • Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI)  2016 – 2021