DIREKTUR Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemdikbud Ristek), akhir-akhir sedang fokus melakukan pembenahan internal. Pembenahan internal tersebut meliputi perubahan struktur organisasi, mulai dari nama hingga pejabat pengelolanya. Hal in ini selanjutnya dapat dilihat dengan adanya perubahan status Unit Pelayanan Teknis (UPT) menjadi Badan Layanan Umum (BLU) yang dipercaya bisa mengefektifkan kerja-kerja pelayanan dibidang kesenian, kebudayaan dan pendidikan kepada masyarakat tanpa terkecuali. Benarkah?
Menyoal hal itu, Direktur Jenderal Kebudayaan (Dirjen), Hilmar Farid mengatakan setelah melihat kondisi museum kita, begitu banyak jumlahnya yang tidak tertangani. Dengan BLU, tentu penanganan ini akan menjadi sangat efektif karena penggabungan tujuh (7) museum, Satu (1) galeri dan dua (2) balai yang spesifik tentang manusia purba dan Borobudur.
Prinsipnya BLU adalah pengelolaan keungan dari unit tersebut mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Jadi layanan yang diberikan harus mampu menjadi sumber pengadaan layanan tersebut. Yang kalau dulu dengan pola satu museum satu UPT tidak akan bisa terjadi sampai kapanpun selama dia tidak membentuk unit khusus pada layanan tersebut.
Ingin tahu lebih jauh alasan pembenahan, capaian program kerja tahun 2022 serta apa saja yang akan dilakukan di tahun 2023 ini, jurnalis penaberita.id, Frans P berkesempatan bercakap-cakap langsung dengan Direktur Jenderal Kebudayaan (Dirjen), Hilmar Farid pada penghujung tahun 2022 kemarin di ruang kerjanya, Komplek Kemendikbudristek, Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta. Berikut petikan percakapannya.

Tahun 2022 kerja-kerja kebudayaannya seperti apa dan bagaimana perbandingannya dengan tahun masa pandemi?
Tahun 2022 banyak kegiatan luring, karena PPKM-nya jauh lebih longgar. Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah pengunjung di museum, baik museum punya pemerintah maupun punya swasta. Tapi kalau angka pastinya mesti dicek ke Museum Nasional. Demikian juga undangan untuk menghadiri pameran, sepanjang tahun 2022, hampir setiap minggu ada. Pun film, karena bioskop mulai buka, ada lonjakan penonton yang siginifikan. Jumlah penonton bioskop sekarang ini sudah 53 juta, melebihi angka lebih tinggi dari sebelum pandemi.
Sama halnya juga dengan pertunjukan musik. Kalau 2020, 2021 mensposori banyak kegiatan, baik itu konser online, praktis sekarang mayoritas kegiatan itu dilaksanakan oleh komunitas maupun swasta. Jadi, peningkatan pada 2022 itu sangat signifikan kalau dilihat dari kegiatan-kegiatan ini jelas perbedaan dengan tahun 2021.
Selanjutnya untuk kegiatan yang ada interaksinya dengan kebudayaan, seperti seniman masuk sekolah juga ada peningkatan. Demikian juga dengan program Presisi, semacam program yang memperkenalkan kesenian sebagai metode. Bukan kesenian sebagai pertunjukan atawa pameran. Tapi seni sebagai metode jangkauannya luar biasa luas.
Fokus tahun 2022 katanya ada pembenahan internal? Kenapa?
Ia, tahun 2022 kita juga melakukan pembenahan internal. Dan ini suatu hal yang mendasar, yakni penggabungan sepuluh (10) museum dan balai-balai, seperti Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, Balai Konservasi Borobudur, Museum Nasional, Galeri Nasional dan enam museum di bawah Kemdikbud sekarang menjadi satu, managementnya di bawah UPT Museum dan Cagar Budaya. Mudah-mudahan Februari atawa Maret 2023 akan mendapat status Badan Layanan Umum (BLU) yang mengelola sektor museum dan cagar budaya secara lebih profesional serta melibatkan tenaga-tenaga profesional di dalam birokrasi dalam mengembangkan program dan terus memberikan layanan yang diperlukan.
Seberapa penting di BLU kan? Bukannya BLU itu prinsipnya money oriented atawa berbicara untung rugi?
Prinsipnya BLU adalah pengelolaan keungan dari unit tersebut mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Jadi layanan yang diberikan harus mampu menjadi sumber pengadaan layanan tersebut. Jadi kayak muter. Prinsipnya bisa mendapatkan pemasukan tidak mencari keuntungan. Jadi dua barang yang beda. Tapi kita tetap mempertahankan museum ini menjadi barang publik. Kalau ini syaratnya ada dua (2) sifatnya, kita tidak boleh membatasi akses orang karena alasan. Skemanya sudah ada di Indonesia. Orang berpendapatan rendah semuanya sudah pegang kartu, mulai Kartu Indonesia Sejahtera, Kartu Indonesia Pintar dan segala macam. Dia pegang kartu itu, maka tidak perlu membayar, begitu saja prinsipnya. Jadi akses terhadap itu kita jamin. Pun kalau ada permintaan dari masyarakat, jadi mudah sekali. Jadi kita tidak akan membatasi akses orang terhadap layanan-layanan itu terhadap prinsip kalau tidak bisa bayar, maka tidak bisa masuk, itu tidak akan terjadi.
Tapi secara bersamaan, untuk kegiatan-kegiatan yang dirancang secara khusus, memerlukan investasi, itu memang kita pasang. Misalnya kalau sekarang pameran temporernya berbayar, tetapi tetap saja kalau ada rombongan pelajar bawa (Kartu Indonesia Pintar) KIP, ya pasti akan dilayani juga. Jadi perubahan BLU itu tidak dengan sendirinya berarti komersialisasi dalam pengertian yang negatif. Tidak lain kepentingannya untuk meningkatkan layanan itu sendiri. Kalau dia punya uang, tentu untuk peningkatan layanan itu juga.
Terkait seberapa penting, itu setelah melihat kondisi museum kita, begitu banyak jumlahnya yang tidak tertangani. Dengan BLU, tentu penanganan ini akan menjadi sangat efektif karena penggabungan tujuh (7) museum, Satu (1) galeri dan dua (2) balai yang spesifik tentang manusia purba dan Borobudur. Di luar itu kita masih ada museum-museum lain yang dibangun, diserahkan kepada daerah, kemudian daerahnya tidak bisa mengelola, sekarang kita mau tarik lagi. Artinya, semua aset yang ada dalam jangkauan Kemdikbud bisa dilayani oleh MCB ini. Yang kalau dulu dengan pola satu museum satu UPT tidak akan bisa terjadi sampai kapanpun selama dia tidak membentuk unit khusus pada layanan tersebut.

Terkait dengan Dana Abadi Kebudayaan katanya ada penambahan?
Ya, seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Ibu Srimulyani, jumlah investasi Dana Abadi Kebudayaa dari tiga (3) triliun rupiah menjadi lima (5) triliun rupiah. Dan ini pekerjaan yang tidak mudah, dalam waktu singkat kita membuktikan bahwa dana abadi kebudayaan ini memang sesuatu yang strategis untuk pemajuan kebudayaan yang melibatkan para pelaku budaya.
Untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya internasional di tahun 2022 lalu seperti apa?
Untuk kegiatan yang sifatnya internasional kita ambil posisi memfasilitasi, jadi bukan membuat kegiatan sendiri. Jadi, kehadiran-kehadiran teman-teman, ikut festiival dan lain sebagainya lebih banyak yang kita fasilitasi. Seperti kita lihat, banyak yang menang, tampil di luar negeri, mendapat pengakuan internasional dan lain sebagainya itu merupakan bagian dari strategi kita juga di tahun 2022. Jadi, hal ini menjadi fokus kita di tahun 2022, yakni memfasilitasi teman-teman yang punya potensi untuk mendapat pengakuan internasional.
Bagaimana dengan Perda Pemajuan Kebudayaan yang ada di provinsi/kabupaten kota, geliatnya seperti apa?
Semakin banyak pemerintah provinsi/kabupaten kota yang sudah, sedang dan akan menyusun Perda Pemajuan Kebudayaan, mengambil Undang Undang Nomor 5 Tahun 2017 sebagai patokannya. Selain itu, kita banyak sekali melayani konsultasi teman-teman daerah, begitu juga dengan DPRD-nya tentang bagaimana membentuk Perda yang selaras dengan kebijakan yang ada di pusat.
Ditingkat kebijakan sangat signifikan, karena dengan begitu tugas untuk memastikan adanya pergerakan pemajuan kebudayaan di daerah menjadi lebih ringan dengan sendirinya. Dengan kata lain, teman-teman di provinsi/kabupaten kota itu jauh lebih aktif, lebih jelas payung hukumnya dan tentu ada kerja kerja keras kita untuk memastikan ketersediaan anggaran, sehingga mereka betul-betul bisa menjalankan Perda itu.
Arah dari kebijakan atawa Perda Pemajuan Kebudayaan itu ke mana? Lingkupnya apa saja?
Di sini sangat penting disebut Perpres 114 Tahun 2022 tentang Strategi Kebudayaan. Jadi apa yang sempat kita diskusikan di Kongres Kebudayaan Tahun 2018, sekarang sudah jadi Perpres. Artinya, ini menjadi norma bagi teman-teman di semua kementerian dan lembaga termasuk Pemda untuk menyesuaikan program mereka yang bersinggungan dengan isu kebudayaan. Amanat dari Perpres itu antara lain, kita mendukung pembentukan atawa adanya ruang publik yang muaranya pada kebudayaan yang sifatnya lebih inklusif. Dengan perintah itu, tentu pemanfaatan ruang publik di kota/kabupaten akan mengacu pada gagasan ini.
Misalnya seperti apa?
Misalnya, alun-alun atawa gedung balaikota atawa apapun fasilitas yang dimiliki termasuk taman budaya, sekarang mendapat arahan yang cukup clear, bahwa arahnya untuk membentuk kebudayaan yang inklusif. Artinya, memberi ruang kepada kalangan minoritas, kalangan yang kurang diuntungkan, kepada teman-teman disabelitas. Jadi arah kebijakan besarnya ada, payungnya ada, sehingga teman-teman yang mengeskekusi program di lapangan menjadi lebih mudah.
Apakah saat ini ada daerah yang jadi fokus perhatian?
Dari pengalaman setelah pandemi ada gairah di daerah untuk melakukan sesuatu dibidang kebudayaan. Kesungguhan dari daerahnya sendiri. Meskipun daerah itu punya cagar budaya atawa apapun, tapi kalau tidak ada pergerakan, kita juga tidak mengerahkan sumber daya yang terlalu besar ke sana. Tugas kita bukan menggantikan perannya Pemda, tapi fokus kita mendukung. Dan ada daerah-daerah yang tidak memerlukan dukungan. Misalnya Yogyakarta, anggaran APBD Dana Keistimewaan jauh lebih besar daripada anggarannya Dirjen Kebudayaan. Untuk daerah lain, saya cenderung melihat kepala daerah kabupaten/kota yang menunjukkan perhatian terhadap upaya pemajuan kebudayaan kita fokuskan.
Tahun 2022 kita fokuskan di Jambi. Jadi seluruh provinsi Jambi itu, mulai dari hulunya Batang Hari sampai ke Muara kita buat kegiatan bersama-sama. Dan tanda kegiatan itu berdampak, ketika diakhir tahun kita melakukan evaluasi dan perencanaan untuk tahun 2023 semuanya tanpa terkecuali semuanya berkomitmen untuk meneruskan kegiatan ini dengan biayanya mereka. Bagi saya ini tanda, berarti apa yang kita inisiasi di tahun 2022 ternyata ternyata berbuah.
Pendekatan yang seperti ini yang akan kita pakai di tahun 2023. Di Sumatera Barat ada inisiatif untuk membuat seri pemikiran tentang kebudayaan. Di sisi lain, ada daerah-daerah yang belum memperlihatkan geliat yang sama, untuk sementara, apa yang kita lakukan selama ini, mulai dari sosialisasi kegiatan, memperlihatkan programnya.
Kalau untuk teman-teman komunitas dengan adanya Dana Indonesiana/Dana Abadi Kebudayaan, sekarang akses para pelaku terhadap sumber daya finansial tentunya bertambah. Kita berharap di tahun mendatang sudah bisa memetakan. Siapa, buat apa, di mana, itu berarti sudah buat geografi persebaran kegiatan. Ini pasti sangat membantu dalam perencanaan tahun depan. Jadi dengan daerah saya kira kuncinya adalah membantu kerangka kebijakan yang tepat. Tentu bantuan yang sifatnya teknis, seperti menghadirkan kurator, menghadirkan tenaga ahli yang bisa membantu teman-teman di daerah merumuskan program yang lebih solid tetap kita lakukan.

Cara kerja sistem Presisi seperti apa? Seberapa efektif?
Presisi ini memerkenalkan seni, ungkapan-ungkapan artistik dan juga pendalamannya sebagai metode belajar. Titik tolaknya bukan meniru contoh yang diberikan. Melainkan diminta untuk mengembangkan projek-projek tertentu, sehingga ungkapan kesenian menjadi alat bagi bagi mereka untuk mengartikulasikan projek apa saja, seperti tentang sampah, tentang lingkungan, tentang kesenian, tentang tradisi, tentang apa saja tergantung lingkungannya masing-masing. Jika diterapkan di sekolah yang terpenting perhatian dan minat si anak. Dan ini terbukti di beberapa sekolah, guru-guru juga merasakan efektivitasnya. Dengan metode seperti ini bisa mengkonsolidasi perhatian anak, karena anak akan tidak terasa telah berjam-jam mereka masuk ke dalam subjek yang sama tetapi dengan metode yang berbeda.
Mengenai ini efektif atawa tidak, saya kira inilah esensi dari merdeka belajar yang dicanangkan oleh kementerian. Karena merdeka belajar ini mencari metode yang tepat bagi anak untuk mengembangkan dirinya. Jadi, praktis dengan mengembangkan program seperti presisi ini kita juga pada saat bersamaan melakukan penggalian, dan itu haru melibatkan guru dengan siswa. Karena pada akhirnya yang kita hadapi interaksi diantara guru dan siswa. Sebagai sistem tantangannya justru pada saat kita meningkatkan skalanya, sebab sekarang sudah ada seratus (100) sekolah, bagi kita sudah cukup banyak, tetapi sekolah di Indonesia ini ada 200 ribu lebih. Jadi untuk memastikan metode seperti ini bisa digunakan secara luas tentu ada tantangannya di dalam bidang apapun.
Seberapa penting pengharagaan desa budaya bagi desa dan kebudayaan?
Tentu sangat penting karena selama ini kegiatan kebudayaan kita punya bias urban yang cukup kuat. Bicara festival, peningkatan kegiatan apalagi kalau sudah bicara soal kesenian, hampir semuanya bias urbannya kuat sekali. Sehingga persebaran kegiatan untuk inisiatif kebudayaan desa itu sangat esensial dan memang tugas dari program desa pemajuan budaya.
Hal kedua, terkait dengan karakteristik desa. Kalau kita perhatikan, di masa orde baru desa ini menjadi perpanjangan tangan birokrasi. Desa menjadi objek pembangunan, objek kebijakan yang dari atas harus diimplementasikan. Sedikit sekali keterlibatan atawa partisipasi dari desa sendiri di dalam program seperti itu. Siapapun yang mengenal teori kebijakan publik, yang berhasil adalah kebijakan yang mendapat dukungan dari publiknya. Nah, UU Nomor 6 Tahun 2014 mengatakan bahwa urusan desa itu bertolak dari asal-usulnya.
Jadi, desa itu bisa mengklaim, karena asal usul saya begini, maka tatapemerintahannya pun mengikuti itu. Contohnya, Nagari di Padang, Tampung kalau di daerah pesisir timur sumatera, di Aceh Gampung. Jadi, kalau sudah berbicara asal usul dan hak penerjemahannya dan apa yang diurus oleh desa, maka kebudayaan pasti sentral. Padahal sudah ada undang-undangnya, sudah ada dana desanya, tetapi begitu turun ke desanya hampir semuanya menjadi projek infrastruktur kecil-kecilan. Posisinya, di zaman dulu menjadi objek dan segala macam, belum berhasil membebaskan diri sehingga menjadi subjek.
Dan transformasi kultural ini, tidak lain harus datang dari desa itu sendiri, tidak bisa orang luar. Nah, kalau kita kasih penghargaan, kebudayaan di desa adalah mereka yang telah melakukan proses transformasi ini, dan itulah yang menjadi contohnya sehingga juga bisa memberikan motivasi bagi desa yang lain.
Terkait dengan desa budaya, ada diberikan sentuhan yang berbeda tidak?
Di Jakarta, rencana kita kedepan, fasilitas atawa sarana prasarananya, setelah kita periksa sebetulnya cukup banyak. Kita cek di suku dinas yang membidangi kebudayaan cukup aktif. Jadi ada sanggar-sanggar, anak sekolah juga bisa mengakses fasilitas-fasilitas yang ada di sana. Praktis dari segi itu geliatnya cukup besar, walaupun kita menyadari pekerjaan rumahnya masih banyak. Apakah dia bisa berfungsi sebagai ruang publik yang sifatnya inklusif, itu masih menjadi pertanyaan.
Sebulan lalu, kita ketemu dengan Pj Gubernur Heru Budi, kita sepakat di tahun 2023, mengaktifkan sarana prasarana yang ada di Jakarta untuk kepentigan kebudayaan, yang sebetulnya instruksi gubernurnya sudah ada dan cukup clear, siapa mengerjakan apa.Tapi kemarin kita cek, belum berbentuk program yang siap untuk dieksekusi. Tapi, kalau kebijakannya bagus, kalau disertai anggaran, perangkat dan dukungan publik, maka tidak akan jadi apa-apa. Jadi harus ada komitmen untuk melakukan investasi.
Jadi DKI Jakarta pekerjaan rumahnya cukup lumayan, apalagi sekarang akan ada transisi ibu kota pindah, maka yang akan tersisa di sini utamanya jadi kota komers dan perdagangan. Industri tidak terlalu banyak karena pindah ke Detabek. Kalau nanti benar seluruh kantor pemerintah pindah, maka betapa banyak aset yang akan ditinggalkan, seperti gedung ini.
Yang mesti kita perhatikan, kita mempunyai waktu yang singkat untuk merumuskan kebudayaan di kota Jakarta. Teman-teman komunitas, organisasi yang konsen terhadap ini sebenarnya cukup banyak. Itu tadi, kalau kerangka kebijakan tidak usah rumit-rumit berpikirnya. Yang rumit itu sekarang bagaimana mengeksekusinya, menurunkannya, menjadi kegiatan. Dikawal betul, ada anggarannya, sehingga akan terasa. Dan tentu respon dari bawah sangat menentukan perumusan kebijakannya kedepan.
Hilmar Farid Setiadi
Menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sejak 2015 hingga saat ini.
Pendidikan:
- Tahun 1993 Sarjana, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Judul Skripsi: “Politik Bacaan dan Bahasa Pada Masa Pergerakan-Suatu Studi Awal”.
- Tahun 2014 PhD, Fakultas Seni dan Ilmu Sosial, National University of Singapore. Judul Disertasi: “Rewriting the Nation: Pramoedya and the Politics of Decolonization”.
Pengalaman Profesional
1995-2000 : Dosen, Institut Kesenian Jakarta
2002 – 2007 : Direktur, Lembaga Sejarah Sosial Indonesia
2008-2012 : Direktur, Praxis Institute
2014 – 2017 : Dosen, Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya, UI
2015 – 2016 :Komisaris Independen, PT. Krakatau Steel (Persero) Tbk
2015 – sekarang :Dosen, Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta
2016 – Nov 2020 : Ketua Dewan Pengawas, Perum Percetakan Negara RI
2020 – 2024 : Komisaris Utama PT. Balai Pustaka