Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Judi Wahjudin: Kami Terus Berproses Memperkuat Kapasitas Pelaku dan Lembaga Kebudayaan

Foto: Dok. Pribadi
Foto: Dok. Pribadi

Asisten Direktur Jendral UNESCO Bidang Budaya (ADG Culture), Fransesco Bandarin pernah mengatakan, bahwa Indonesia adalah negara super power dibidang budaya. Meski memiliki kekayaan budaya yang melimpah dan meruah sehingga disebut sebagai negara super power dibidang budaya, Indonesia juga perlu melakukan kerja-kerja konkret dalam memperkuat kapasitas dari pelaku dan lembaga-lembaga kebudayaan tersebut.

Selain agar tidak punah alias tidak hilang atawa mati karena tergerus oleh zaman serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pelaku-pelaku serta lembaga kebudayaan tersebut perlu dan penting untuk terus disokong agar tetap kuat dan yang paling penting tidak ditinggalkan oleh pelaku juga peminatnya. Lantas, seperti apa strategi dan kerja-kerja konkret yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemdikbud Ristek) dalam memperkuat kapasitas pelaku dan lembaga kebudayaan?

Terkait hal tersebut, belum lama ini, jurnalis penaberita.id, Frans P berkesempatan bercakap-cakap dengan Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemdikbud Ristek),Judi Wahjudin di Kompleks Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta Pusat. Berikut petikan wawancaranya.

Program kerja jangka panjang dan fokus kerja Anda tahun 2022 ini?

Direktorat ini dibentuk berdasarkan amanah Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dimana ada satu redaksi, khususnya Pasal 39; Pemerintah dan pemerintah daerah harus atawa wajib meningkatkan kompetensi dari pelaku kebudayaan dan tata kelola dan pranata kebudayaan. Ini menjadi dasar hukumnya, diturunkanlah menjadi Permendikbudristek dan uraian tugas.

Fokus utamanya melakukan pelatihan-pelatihan berbasis kompetensi, kedua melakukan standarisasi museum dan taman budaya, ketiga melakukan sertifikasi dan sinergi dengan lembaga sertifikasi pihak kedua bidang kebudayaan, keempat adalah apresiasi atawa Anugerah Kebudayaan Indonesia. Tahun ini kita melakukan hal yang menjadi fokus kerja itu, mulai dari melakukan kegiatan pelatihan, standarisasi, sertifikasi dan Anugerah Kebudayaan Indonesia. Dan hal ini menjadi suatu kegiatan rutin setiap tahunnya. Untuk jangka panjangnya, mudah-mudahan layanan yang kami berikan bisa memperkuat kapasitas pelaku dan lembaga kebudayaan.

Foto: Dok. Pribadi

Program kerja yang akan, sedang dan sudah Anda lakukan meliputi apa saja?

Yang sudah dan sedang dilaksanakan adalah terkait dengan pelatihan-pelatihan. Mulai dari pelatihan yang terkait dengan cagar budaya, museum, sejarah, termasuk seni dan tradisi. Sertifikasi juga sudah berjalan. Kalau untuk standarisasi museum dan taman budaya sudah selesai. Dalam waktu dekat ini anugerah kebudayaan yang pendaftarannya sampai akhir Agustus 2022 ini. Bulan Oktober baru kelihatan siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan apresiasi untuk Anugerah Kebudayaan Indonesia 2022.

Apa latar alasan pemberian Anugerah Kebudayaan Indonesia tersebut?

Pemberian anugerah ini mengacu ke amanah Undang-undang Pemajuan Kebudayaan Pasal 50, yakni Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan apresiasi kepada pelaku kebudayaan yang memberikan kontribusi luar biasa bagi pemajuan kebudayaan. Jadi ada dasar hukumnya pemerintah harus hadir dan memberikan apresiasi kepada orang-orang yang berkontribusi tersebut. Walaupun jenis apresiasi ini banyak, tidak hanya hadiah. Misalnya, memberi ruang untuk ekspresi, program, kerja sama, jadi sebetulnya apresiasi hadiah ini hanya sebagian kecil dari perhatian dan kehadiran pemerintah untuk talenta-talenta nasional yang memberikan kontribusi yang luar biasa bagi pemajuan kebudayaan.

Tantangan dalam menjalankan program kerja serta siasatnya seperti apa?

Menarik karena pelaku dan lembaga kebudayaan tidak semuanya formal. Kalau pendidikan jelas, ada sekian sekolah, sekian guru, sekian murid dan lain sebagainya. Tapi kalau lembaga dan pelaku kebudayaan sangat beragam. Dari mulai dari yang berpendidikan tinggi sampai yang otodidak. Tetapi, sama-sama memiliki kompetensi dan keahlian yang luar biasa. Jadi keberagaman itu merupakan tantangan. Termasuk perihal keterbatasan data. Sebab, tidak semua daerah memberikan laporan mengenai potensi, talenta dari pelaku dan lembaga kebudayaan yang ada di daerahnya.

Tetapi, perlahan-lahan dengan adanya data pokok kebudayaan teman-teman pemerintah daerah sudah mendata ulang melalui Pokok-pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) yang diamanatkan oleh Undang-undang Pemajuan Kebudayaan. Di mana PPKD ini datanya beragam, mulai dari kuantitas, kualitas, pelaku, lembaga, sampai pada sarana prasarana, kendala-kendala berbasi data pokok kebudayaan. Sebab dari PPKD ini kita juga bisa memetakan sebarannya, lokasinya dan kebutuhannya serta lain-lainnya.

Tapi harus dicatat, sekarang sudah Otonomi Daerah. Berarti pemerintah pusat adalah fasilitator, pendamping, regulasi, sehingga tidak mungkin semuanya ditangani pusat. Justru kita mendorong pemerintah daerah untuk bergerak, melakukan layanan-layanan terhadap pelaku dan lembaga kebudayaannya. Hala-hal itulah yang menurut saya yang menjadi tantangan dalam menjalankan program kerja yang tadi.

Untuk solusinya adalah koordinasi, melakukan pendampingan-pendampingan terhadap pemerintah daerah melakukan pelatihan, sertifikasi, peningkatan capacity building dan banyak hal lainnya termasuk koordinasi dengan pemerintah daerah. Selain itu, persepsi dari pelaku dan lembaga-lembaga kebudayaan juga sangat beragam ada yang sudah siap menerima layanan sertifikasi dan ada yang belum. Bagi kami itu suatu hal yang wajar, karena yang penting paham dulu. Ini layanan, bukan paksaan. Sebenarnya menarik, karena sangat beragam, sangat dinamis, dan berbeda dengan pendidikan formal.

Foto: Dok. Pribadi

Terkait pro – kontra sertifikasi ini menarik. Kenapa perlu disertifikasi? Hal apa yang mau disertifikasi? Apa dampak langsung dan tidak langsung dari sertifikasi ini bagi pelaku dan lembaga kebudayaan ini?

Sertifikasi ini sebetulnya merupakan penetapan dan apresiasi terhadap kompetensi seseorang. Bahwa dia kompeten dibidang tari, musik, cagar budaya, museum dan itu bukan paksaan, dan sebagainya. Tetapi kita melihat perkembangan zaman, bahwa disamping ijazah pendidikan formal sertifikasi juga dibutuhkan. Karena dunia kerja sekarang sudah ingin ada kepastian dari Kemenaker. Sebetulnya lulusan A, dia kompetensinya dibidang apa. Sebab, sekarang umum semua. Misalnya tari. Bukan tidak percaya, tetapi jenis tarian itu banyak, nah dia kompetensi di jenis tarian seperti apa.

Banyak orang yang sudah banyak keahlian, kepakarannya, tetapi hanya butuh legalitas dia kompeten atawa tidak. Jenis sertifikasi ini juga ada dua, yaitu portofolio dan ada yang dites. Kalau sudah pakar, profesor, maestro itu tidak dites. Begitu dilihat bukti-buktinya, karya-karyanya dan lain-lain dia bisa diproses cepat untuk sertifikasi. Kecuali bagi orang-orang yang keterampilan, wawsan, sikapnya yang masih perlu dieksplor.

Untuk dibidang kebudayaan, tahun 2017 sudah berdiri lembaga sertifikasi pihak kedua. Lembaganya independen, ada di Setditjen, bukan di Direktorat ini, di sini mitra, menyiapkan instrumen-instrumen, menyiapkan dokumen-dokumen terkait kesiapan untuk sertifikasi. Jadi kami tidak langsung melakukan sertifikasi, karena itu tugasnya LSPP, tetapi kami mendampingi dan menyiapkan instrumen-instrumen terkait. Agar kegiatan sertifikasi bisa berjalan dengan lancar.

Untungnya punya sertifikat, ini aturan dari Kemenaker sebetulnya, berarti secara tenaga kerja dia akan lebih valid apibila bekerjasama dengan  lembaga, badan. Apalagi luar negeri, pasti sertifikasi. Teman-teman film misalnya. Acapkali pekerjanya tidak dipakai karena belum bersertifikat. Di mana film ini ada 99 profesi, mulai dari tata lampu, kabel, sound dan banyak lagi. Dan kadang-kadang mereka tidak mendapatkan hak semestinya (jaminan, penghasilan/gaji, dll) karena belum bersertifikat.

Di kita, perlahan-lahan, masyarakat mulai merasa kebutuhan-kebutuhan akan hal ini, meski belum merata. Tapi ini bentuknya layanan, dan lama-lama, jika butuh, masyarakat akan merapat untuk mengikuti sertifikat. Inikan sebagai bentuk ikhtiar. Kita tidak ingin talenta-talenta kita hanya jadi penonton gara-gara belum bersertifikat, pemainnya justru orang luar semua, kita tidak ingin seperti ini.

Foto: Dok. Pribadi

Apakah pernah kejadian seperti ini?

Saya pernah dengar di daerah Yogyakarta, investornya orang luar negeri, pemain pianonya diganti gara-gara belum bersertifikat. Sebagaimana kita ketahui, orang luar negeri ini tertib terkait hal-hal seperti ini. Jangan sampai kejadian itu terulang lagi. Mungkin sekarang belum terasa, tetapi beberapa lembaga pelan-pelan sudah mulai mewajibkan, syarat untuk bekerjasamanya itu harus bersertifikat.

Dalam sertifikasi ini, kompetensi itu terkait apa saja?

Kompetensi itu ada tiga, ada pengetahuan, keterampilan ada sikap atawa attitude. Mungkin keterampilan dan pengetahuannya luar biasa, tapi seseorang tersebut bermasalah dalam hukum, maka dia tidak akan lulus. Sikap ini menjadi salah satu pertimbangan atas penilaian. Apakah jujur, niatnya baik dan memiliki komitmen dengan profesinya untuk menjadi pertimbangkan oleh asesor yang bukan kami. Jangan sampai sertifikatnya terbit, dia memanfaatkan sertifikat tersebut untuk hal-hal yang tidak etis.

Ada cerita menarik dari orang yang mendapatkan sertifikasi ini?

Contoh tim ahli cagar budaya, ini amanat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010. Setiap Pemda harus punya tim ahli cagar budaya, tim inilah yang melakukan kajian dan mengeluarkan rekomendasi kalau ini cagar budaya atawa bukan. Ini jelas, begitu seseorang tersebut bersertifikat, maka dia langsung bertugas.

Kemudian teman-teman di museum, misalnya konservator. Dia merasa lebih yakin kerjanya ketika dia sudah bersertifikat dan orang percaya dengan kapasitasnya. Sebab, kepercayaan ini penting dalam bekerja. Kemudian teman-teman akademis, itu cum-nya nambah, begitu dia bersertifikat. Misalnya dosen sejarah, dekan dan prodi sejarah, dengan bersertifikasi cum-nya bertambah alias langsung berdampak.

Untuk teman-teman non formal, kalau dia bekerjasama, dia mendapat nilai plus, diuntungkan secara dokumen dan lain sebagainya. Memang kalau dia sudah bersertifikat, tidak tiba-tiba dia mendapatkan pekerjaan dan lain-lain. Tapi, kalau punya sertifikat akan lebih falid dalam menawarkannya. Intinya, seseorang itu harus tetap aktif menawarkan. Soal sertifikasi itu tidak hanya di sini, masing-masing kementerian juga berlaku dan sama.

Tenaga dan lembaga kebudayaan yang seperti apa yang Anda bina? Kriteria tenaga dan lembaga yang dibina seperti apa? Model pembinaannya seperti apa?

Yang jelas lebih banyak non ASN, karena kalau ASN ada Pusdiklat sama Setditjen. Kalau kriteria, dilihat dari biodata, dia harus pelaku yang dilhat dari pengalaman, karya apalagi kalau ada sertifikatnya. Demikian juga untuk lembaganya, apalagi kalau sudah berbadan hukum. Jadi kita juga melakukan verifikasi terkait lembaga ini dalam bersinergi. Sebetulnya layanan yang kita lakukan itu, kalau untuk pelaku berupa pelatihan, sertifikasi. Kalau untuk lembaga, kita juga ada penguatan tata kelola, bagaimana membuat perencanaan, bagaimana cara mendaftarkan berbadan hukum, hak cipta.

Karena banyak lembaga-lembaga kebudayaan yang masih belum punya kemampuan atawa masih lemah dibidang perencanaan. Kalau terkait seni, terkait bagaimana kurasi, tata kelola festival, bagaimana menyiapkan pra produksi, dll. Kalau untuk pelaku-pelaku daerah yang bukan akdemi, hal ini penting, itulah sebabnya kita melakukan pelatihan-pelatihan terkait hal ini.

Tenaga dan lembaga yang sudah Anda bina secara kuantitas berapa?

Di tahun pertama kita melayani hampir 47 ribuan, melalui dukungan kebudayaan. Setiap tahun sekian ribu yang terlayani dari setiap kegiatan. Terkait jumlah itu ada hubungannya dengan usulan, karena ini terkait dengan ketersediaan anggaran,  jumlah kekuatan dan lain-lain. Tetapi kita yang mengusulkan, tidak ada target dari pimpinan. Karena di sini,  anggaran yang lebih besar ada di pendidikan bukan kebudayaan.

Di sini hanya ada satu Dirjen untuk kebudayaan, di pendidikan lebih dari satu Dirjennya. Itulah sebabnya di sini lebih ke hulu, hilirnya ada di Kemenparekraf, dan untuk fisiknya ada di Kementerian PUPR. Misalnya revitalisasi Keraton, bangunan-bangunan heritage, dll. Itu sudah menjadi amanat Pak Presiden. Di sini memang sangat terbatas, namun bagaimana hal yang terbatas ini bisa tetap dioptimalkan.

Apa respon dari pelaku dan lembaga terkait pembinaan yang Anda lakukan?

Hampir tiga tahun ini relatif positif, dalam artian mereka merasa ada satu lembaga yang bisa jadi mitra karena di Pemda ada keterbatas-keterbatasan, tapi sebetulnya ini amanat Pemda. Pusat itu hanya stimulan walaupun kegiatan kita tidak bisa banyak setiap tahunnya. Namun selama ini kegiatan kita menjadi semacam menu-menu yang mereka tunggu. Ada beberapa daerah, misalnya yang terkait keinginan tata cahaya, tata suara, atawa bagaimana memperkuat tata kelola event. Mereka menunggu materi-materi seperti ini. Atawa terkait pendampingan-pendampingan festival, karena festival ada di pemda dan Kemenparekraf, tapi kita memperkuat ekosistem. Pendekatan-pendekatan semacam ini selama ini mereka butuhkan.

DATA RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap                  : Judi Wahjudin, S.S, M. Hum

Jabatan                               : Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan

Pangkat/Golongan           : Pembina Tk I/ IVc

Tempat/Tgl. Lahir              : Tasikmalaya, 29 Agustus 1969

Riwayat Pendidikan         : 1. S1 Universitas Indonesia

2. S2 Universitas Indonesia Riwayat Jabatan  : 1.Direktur PTLK 2019 – sekarang

  • Kepala UPT BPCB Serang
  • Kasubdit Program, Evaluasi dan Dokumentasi Direktorat PCBM
  • Plt. Kepala Museum Kepresidenan RI Balai Kirti

Diklat Kepimpinan            : Diklat Kepemimpinan Tingkat IV

Diklat Kepemimpinan Tingkat III

Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat II tahun 2019

Satuan Kerja                      : Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga

Kebudayaan

Unit Kerja                           : Direktorat Jenderal Kebudayaan

Alamat kantor                    : Komplek Kemedikbudristek Jl. Jenderal Sudirman

Senayan Jakarta