Jakarta, Penaberita.id—Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi DKI Jakarta hari ini menggelar webinar publikasi aktivitas pelindungan kebudayaan dengan tajuk 500 Tahun Prasasti Padrao Jakarta: Penanda Perjanjian Internasional Antara Portugis dan Kerajaan di Nusantara.
Webinar peserta didik, akademisi, praktisi serta masyarakat umum tersebut menghadirkan pembicara budayawan Betawi, Ridwan Saidi, Ketua Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Didik Pradjoko dan dimoderatori oleh Jurnalis dan Penyair Frans Eko Dhanto.

Dalam sambutannya, Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Anies Baswedan menyampaikan, Prasasti Padrao sangat bernilai karena merupakan sebuah penanda perjanjian internasional. Selain itu mengandung banyak pelajaran yang bisa diambil.
“Semoga seminar ini menjadikan Jakarta kota budaya. Kota yang bukan hanya melestarikan, tetapi juga mengembangkan dan mengambil hikmah dari perjalanan kebudayaan dan perjalanan sejarah,” ujar Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, Kamis (25/8).
Kepala Disbud DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana menuturkan, seminar ini bertujuan untuk memberikan edukasi sejarah kepada masyarakat, khususnya warga Jakarta. Sehingga generasi selanjutnya dapat mengetahui dan mengerti sejarah perkembangan kota Jakarta dari masa ke masa.
Menurutnya, nusantara merupakan ranah yang kaya akan kisah masa lalu. Terdapat berbagai peristiwa yang masih aktual dibicarakan sepert mengenai hubungan kerja sama internasional antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan bangsa Eropa.
“Salah satunya perjanjian internasional antara Kerajaan Sunda (Pajajaran) dan Portugis dengan ditandai Batu Padrao, semacam ‘tugu peringatan’ perjanjian antara Surawisesa dan Henrique Leme pada tanggal 21 Agustus 1522,” tuturnya.

Dalam paparannya yang berjudul Pelayaran dan Perdagangan Portugis di Samudera India dan Nusantara: Ekspansi, Hegemoni, kerjasama dan Perebutan Samudera, Didik Pradjoko menjelaskan, Portugis memasuki perairan Asia melalui jalur selatan, yaitu melalui Tanjung Harapan Tanjung Harapan, Pantai Timur Afrika, pantai barat India pada tahun 1510. Portugis dizinkan membeli komoditas yang diperjual belikan di Sunda Kelapa, dan Kerajaan Sunda dapat membeli barang-barang yang dibutuhkan dari Malaka-Portugis. Bagi Kerajaan Sunda perjanjian ini memberikan keuntungan terutama adanya pembelian lada oleh Portugis dan yang lebih penting kehadiran Portugis dapat memberikan perlindungan dari ancaman serangan dari Kesultanan Demak, dengan kejatuhan Cirebon di timur dan Banten di sebelah barat.
“Dalam perjanjian tersebut Portugis diwakili oleh Henrique Leme sedangkan Kerajaan Sunda diwakili Sanghyang (Sambriam), foto dokumen perjanjian terlampir, sayangnya isinya belum diterjemahkan oleh penulis A Heuken dan Hasan M Ambary, hanya garis besar isinya saja. Selain itu untuk menandai perjanjian tersebut ditandai dengan pembuatan dan pendirian batu padrao yang berhasil ditemukan dalam penggalian di Jalan kali besar (Jl Prisenstraat), tahun 1918 dan saat ini menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta,” jelasnya.
Didik menyebutkan, Batu Padrao tersebut memiliki ketinggian sekitar 2,5 m yang sekarang tersimpan di Museum Nasional. Padrao memiliki 4 sisi, namun hanya dua sisi yang tampak ada inskripsinya, sedangkan dua bagian lain tidak memiliki inskripsi, hanya saja memiliki pahatan yang kemungkinan besar dibuat oleh tangan manusia.
“Di sisi bagian utama Padrao (sisi depan dari pembacaan prasasti) pada bagian paling atas terdapat penggambaran armillary sphere (bola dunia yang menggambarkan garis khatulistiwa) dan di atas ujung bola dunia tersebut terdapat ragam hias berbentuk daun berdaun tiga, yang diinterpretasikan oleh beberapa ahli sebagai lambang Raja Manuel (1495 – Desember 1521) dan penerusnya Raja Joao III dari Portugal (Heuken, 2002: 81),” ungkapnya.

Budayawan Ridwan Saidi mengatakan, Prasasti Padrao bukan soal membangun benteng, tetapi menyangkut pembangunan Sunda Kelapa sebagai salah satu zona ekonomi.
“Investasi Portugis saat itu sangat diperlukan dan menurutnya pembangunan itu berhasil,” pungkasnya. *** Frans P