Staf Khusus Presiden, Diaz Hendropriyono: Buku Puisi Frans Bisa Jadi Medium Tingkatkan Kepekaan Lingkungan  

Diaz Hendropriyon, menyampaikan pendapatnya tentang buku puisi Monolog Hujan karya Frans Ekodhanto Purba
Diaz Hendropriyon, menyampaikan pendapatnya tentang buku puisi Monolog Hujan karya Frans Ekodhanto Purba

Jakarta, Penaberita.id—Frans Ekodhanto Purba meluncurkan buku puisi tunggal ketiga di Aula HB Jassin, Lt. 4, Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 13 Juli 2024.

Dalam peluncuran buku puisi tunggal ketiga, berjudul “Monolog Hujan” menghadirkan sejumlah penampil dan pembicara. Hadir sebagai keynote speaker, Diaz Hendropriyono (penikmat puisi – staf khusus presiden) dan kawan bicara Willy Aditya (penikmat puisi – anggota DPR RI – wakil ketua Badan Legislasi DPR RI) serta Vukar Lodak (seniman dan perhati budaya. Diskusi tersebut dipandu oleh sastrawan Fanny J. Poyk.

Dalam kesempatan tersebut juga ditampilkan pembacaan puisi dari M. Chozin Amirullah (pemerhati seni budaya – aktivis dan pembina Gerakan TurunTangan), Syahnagra Ismaill (perupa), Ical Vrigar (teatrawan). Selain itu, perayaan buku puisi Monolog Hujan ini juga menampilkan pertunjukan dari Teater Moksa, Dara Wita Anastasia dan pertunjukan dari Komunitas Sastra Jakarta Timur.

Staf Khusus Presiden yang juga penikmat puisi Diaz Hendropriyono menuturkan puisi bisa menjadi medium dalam meningkatkan kepedulian lingkungan.

“Puisi-puisi yang terangkum dalam buku ini menyoal berbagai hal. Salah satunya lingkungan. Dengan kata lain, puisi ini bisa menjadi medium  meningkatkan kesadaraan masyarakat agar lebih peka dan peduli terhadap lingkungan,” tutur Diaz, Sabtu (13/7).

Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Willy Aditya mengungkapkan, puisi dapat menjadi medium untuk mencuci politik yang kotor.

“Jadi puisi-puisi ini memang harus hadir ketika politik kita hanya diisi oleh intrik dan kekuasaan,” ungkapnya.

Hal itu bisa kita lihat dalam puisi-puisi dalam buku Monolog Hujan ini. Misal, puisi yang berjudul “Jakarta dalam Nasi Kotak” yang merepresentasikan bagaimana demokrasi dimaknai bukan sebagai ekspresi terhadap penindasan.

“Dalam puisi tersebut, Frans berusaha menyampaikan bahwa demokrasi saat ini dimaknai bukan sebagai ekspresi terhadap penindasan, melainkan karena faktor siapa yang bayar,” tutupnya. *** Weno