Membaca dan Merayakan Heningan Puisi Benny Benke

Foto: Dok. Benny Benke
Foto: Dok. Benny Benke

Jakarta, Penaberita.id—Bagi sebagian kalangan, Benny Benke lebih dikenal sebagai jurnalis yang banyak bertualang serta menulis laporan-laporan peristiwa atas peliputan maupun perjalanannya. Di sisi lain, Benny Benke juga rutin merekam setiap hal yang dilihat, diamati bahkan direnungkan tersebut ke dalam lambung-lambung puisi. Mungkin bagi saya (penulis) ini menjadi semacam siasat kebebasan bagi penyair seperti Benny Benke maupun pada penyair lainnya yang terlebih berlatar jurnalistik untuk menuangkan kesukaan,kecintaan, pujian bahkan kecemasan dan ketidaksukaannya terhadap sesuata hal (benda, orang, pemerintah, tempat bahkan sistem) secara lepas tanpa ada ‘perangkap’.

Alhasil, dari kesemuaan itu, ini kali Benny Benke, setelah melalu proses kontemplatif dan proses teknis yang panjang (2004-2021) berkolaborasi dengan penerbit buku Situseni Bandung, asuhan dari Doddi Ahmad Fauzi, berhasil menerbitkan buku antologi puisi tunggal berjudul, ‘Mengheningkan Puisi’. Selanjutnya buku puisi setebal  140 halaman tersebut merangkum sebanyak 49 judul puisi dengan berbagai latar penulisan; Moskwa, St. Petersburg, Tsarkoye Selo, Tula, Berlin, Cannes, Juan Les Pains, Monaco, Madinah, Mekah, Tokyo termasuk Jakarta.

Pulang (2)

Katanya, obat rindu adalah bertemu. Bagaimana kita akan

bertemu, jika pulang tidak lagi berumah di hatimu.

Meski ke manapun kakiku melangkah, sejauh  ufuk dituju, pada

akhirnya pulang menyeret hatiku.

(………)

Puisi yang berjudul Pulang (2) tersebut adalah salah satu puisi dari sekian banyak puisi yang bisa dijumpai dalam buku antologi ini. Secara penulisan, puisi tersebut dituliskan dengan bahasa yang renyah dan mudah dicerna oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Meski demikian, puisi ini mencoba melafalkan makna yang lebih dalam dari kata pulang—makna yang dirasakan penyairnya, mungkin perasaan senada juga dirasakan orang lain yang ingin pulang—namun pulang tersebut tidak memiliki kerinduan yang seirama dengan orang yang dirindukan.


Puisi-puisi semacam ini juga bisa dijumpai dalam antologi puisinya Benny Benke. Tengok saja puisinya yang berjudul,

Krasnaya Ploschad

Ivan Yang Agung pasti tidak pernah menyangka. Lapangan

merah telah malh rupa sedemikian bercahaya.

Meski pada mulanya serupa daerah kumuh, tempat petani

papa dan penjahat teri berumah di sana.

Sebelum akhirnya menyempurna. Dengan kehadiran St.Basil’s

Katedral, menyusul kemudian the State Historical Museum

dan GUM Departement Store di belakangnya.

(…….)

Penggalan puisi tersebut juga menyuguhkan larik-larik yang renyah yang dengan mudah dicernah oleh siapa saja, tanpa terkecuali. Sekilas puisi ini terasa seperti laporan jurnalistik pada umumnya tentang sebuah perjalanan sejarah dari sebuah tempat yang dalam ‘rahim’-nya banyak kisah yang perlu dicerita kepada khalayak dunia—di balik kemegahan sebuah kota—ada sejarah atau cerita kelam mengikutinya, mulai dari kriminal, politik dan kisah-kisah lainnya.

Membaca puisi-puisi dalam buku ini, saya (penulis) jadi teringat pada sebuah pernyataan dari sastrawan, seniman dan budayawan terkemuka Remy Sylado; Bahwa puisi itu tidak melulu ditulis dengan kata-kata yang rumit atawa bermetafora. Rangkaian kata-kata sederhana bahkan singkat sekalipun bisa juga dikatakan sebagai puisi. Singkatnya, kata Om Remy (sapaan akrab dari penulis), puisi itu dunia ini, kehidupan ini. Orang yang tidur atawa makan sekalipun juga puisi.

Terlepas dari semua itu, saya (penulis) menyambut gembira dan takjub dari kelahiran buku puisi tunggal Benny Benke dengan judul ‘Mengheningkan Puisi’. Sebab, disela-sela kesibukannya sebagai jurnalis, sebagai bapak, suami, Benke masih memprioritaskan puisi dalam kamus hidup dan kehidupannya. Sekali lagi, selamat buat Bang Benke (panggilan akrab penulis) dan selamat mengapresiasi buat semua teman serta sahabat. *** Frans P