Tanggal muda bulan Januari 2023, dalam suatu perhelatan pameran fotografi di sudut selatan kota Jakarta, saya dipertemukan oleh sahabat saya kurator (Bambang Asrini) dengan temannya yang juga berprofesi sebagai kurator seni rupa (Wahyudin) . Singkat kata, sebelum kami bersayonara, Wahyudin yang kini juga menjadi teman saya itu, tak lupa mengundang saya dan Bambang untuk datang ke perhelatan pameran seni rupa sekaligus pembukaan galeri (grand opening) di jantung ibu kota.
Namun, sebelumnya saya diperangkap dengan rasa penasaran atas secubit informasi yang diberikan mengenai sepak terjang si owner galeri ini. “Kau tak akan menyangka. Ownernya ini punya latar proses yang berdarah-darah dan punya gagasan ciamik di dunia seni rupa sekaligus kemampuan dalam meyakinkan seniman juga kolektor,” kurang lebih demikian ungkapannya.
Dua minggu berselang, sebelum waktu perhelatan saya kembali diingatkan oleh sahabat saya, Bambang Asrini mengenai waktu pelaksanaan pameran dan grand opening Jagad Gallery yang letaknya sepelemparan batu dari pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat.
Di parkiran, hingar bingar dan dentuman musik pesta sudah menjalar. Dan sesampainya di lantai 2, tepat di ruang pamer Jagad Gallery saya disambut dengan semarak karya rupa: lukis dan patung yang sedang bercakap-cakap dengan audiensnya.
Salah satunya, percakapan dengan karya pelukis asal Yogyakarta, Budi Ubrux berjudul, The Beauty Fashion Story. Dalam kanvas berukuran 200×200 cm meter itu, tampak sekelompok orang dengan muka-tubuh seperti dibalut koran. Sekilas lukisan itu seperti sedang merayakan kemerdekaan yang entah.
Bisa jadi kemerdekaan atas diri sendiri, kemerdekaan atas ungkapan hati atawa kebebasan yang masa bodo atas perkara politik, ekonomi, hukum dan keruwetan-keruwetan hidup serta kehidupan. Mungkin inilah yang dikatakan oleh teman kurator saya (Wahyudin) yang meminjam paparan Ignas Kleden yang pernah mengajukan teori, bahwa setiap karya seni (termasuk karya seni rupa) yang menyampaikan makna pada tingkat berbeda, dalam hal ini makna objektif atawa objective meaning.

Yakni, hubungan karya dengan dirinya sendiri. Apakah gagal atawa berhasil menerjemahkan keindahan dan pesan yang hendak disampaikannya.
Dimana suatu karya seni rupa merupakan objek yang menobyektivasikan suatu nilai atawa antinilai, keindahan, pembauran, originalitas, otentisitas atawa peniruan dan kepandaian teknis semata.
Tak sebatas itu, bisa jadi dengan meminjam teori kedua dari Ignas Kleden, makna ekspresif atawa expressive meaning yang mengurai hubungan karya dengam latar psikologi penciptanya (Budi Ubrux).
“Lukisan itu menggambarkan bahwa meski dunia politik sedang riuh dengan istilah dan tudingan antarkelompok, namun perempuan-perempuan yang ada dalam kanvas sibuk bersolek serta mempercantik dirinya sendiri,” kata Budi Ubrux.
Karya lain yang menarik saya untuk bercakap-cakap adalah seorang perempuan yang sedang beranak. Dalam kanvas berukuran sedang itu, tampak perempuan dengan rambut hitam terurai dengan air muka yang tenang sedang beranak. Anehnya, anak yang dikeluarkan itu bukan bayi seperti yang ada dalam benak manusia pada umumnya. Melainkan anak yang sudah remaja. Oleh Ivan Sagita, lukisan itu dijuduli, Kesalahan Pembuahan. Bisa jadi ini berangkat dari mitos dari suatu daerah tertentu dan bisa juga wacana itu sebentuk kritik otokritik terhadap hoax atawa bisa jadi semacam mimpi yang berproses menjadi kenyataan atawa…
Ada juga patung sepasang payudara karya Agapetus berjudul, Mother Earth. Di atas patung tersebut terlukis sepotong peta. Entah gagasan apa yang hendak disampaikan lewat karya itu, namun sebagai lawan bicara dari karya itu saya merasa karya itu sedang menjelaskan bahwa peradaban dunia dimulai dari ibu dan diakhiri oleh ibu yang berkembang biak, beranak pinak membentuk sebuah kenyataan dan mimpi yang saling bertautan. Apakah kau lupa?

Soal pameran itu, Wahyudin menuturkan, pameran “Ungkap Jagad” menampilkan puspa ragam karya seni rupa–lukisan, gambar dan patung–ciptaan 13 perupa dari lintas generasi seni yang tinggal dan berkarya di Bali, Denmark, Jawa Timur, Jerman dan Yogyakarta.
“Dalam pameran itu, karya seni rupa mengizinkan terjadinya percakapan antara pengetahuan perupa yang membikin,” tuturnya.
Jalan Lain
Pemilik (owner) Jagad Gallery, Rambat mengungkapkan, Jagad Gallery sebagai kendaraan seniman berpameran dan audiens mengapresiasi atawa mengoleksi karya seni rupa. Berkat komitmen seniman dan kepercayaan kolektor Jagad Gallery bisa berjalan stabil selama pandemi Covid-19 dan bisa melaluinya keberuntungan-keberuntungan tak terduga.
“Berkat itu tidak hanya mewajibkan saya bersyukur, tapi juga sadar dan tahu diri bahwa menjalankan atawa mengelola galeri seni rupa bukan urusan gampang. Apalagi main-main, sebagai sekedar hobi sampingan. Bisnis seni rupa menuntut manajemen galeri yang serius, bukan aji mumpung,” ungkapnya.
Dengan kenyataan itu, saya perlu menegaskan, Jagad Gallery adalah galeri seni rupa, di mana karya seni lukis, patuk dan objek dipamerkan dan diperdagangkan secara serius dan profesional berfasarkan prinsip bahwa karya seni rupa bernilai finansial dan artistik adalah karya seni rupa yang disukai Jagad Gallery dan audiens.
Dengan kata lain, prinsip tersebut semacam tolak ukur keberhasilan suatu karya seni rupa. Sebab, pihaknya percaya, karya seni rupa yang kami sukai, sedalama apapun itu tapi tak disukai oleh audiens adalah karya seni rupa yang gagal yang mentransformasikan keindahannya kepada orang banyak.
“Sebaliknya, karya seni rupa yang tak disukai seniman penciptanya tapi disukai audiens adalah karya seni rupa yang masih menuntut kedewasaan untuk dihargai sebagaimana mestinya,” jelasnya.

Kontrak Batin
Rambat melanjutkan, dalam dua soal terkahir itulah Jagad Gallery sedapat mungkin bekerjasama dengan seniman yang berkenan berkarya, belajar dan tumbuh bersama atas dasar “kontrak batin”. Selain itu, pihaknya juga menyiapkan surat yang dianggap perlu dan berkekuatan hukum. Namun, berdasarkan pengalaman, “kontrak batin” sebuah bentuk hubungan ptofesional yang meyakinkan Jagad Gallery dan seniman di bawah manajemennya.
“Dengan kontrak batin itu, Jagad Gallery dan seniman-senimannya menjadi patner atawa rekanan yang memiliki rasa yang sama akan keberlangsungan dan kesejahteraan hidup bersama,” tandasnya dalam catatan di katalog pameran.
Pertanyaannya, akankah jalan lain dan kontrak batin bisa melahirkan rasa yang sama akan keberlangsungan dan kesejahteraan hidup bersama?*** Frans P