Begini Cara Setiawan Sabana Berkarya dan Menyikapi Pandemi

Tambahkan Caption pada image dan akan tampil di kolom ini.

Pameran KITAB bisa disebut sebagai sebuah catatan personal dalam menyikapi perubahan konteks dan situasi, terutama karena karya-karya ini terhitung baru dan diproduksi di tengah pandemi.

Setumpuk buku-buku bekas berwarna hitam sisa pembakaran disusun menjulang ke langit. Buku sarat ilmu tersebut seperti sedang berkisah tentang dirinya sebagai bagian dari sarana menyalurkan ilmu pengetahuan yang mulai ditinggalkan, dilupakan bahkan hampir punah.

Di pusaran perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi serta atas nama pemanasan global, mendorong banyak orang (khususnya generasi millennial) memilih membaca atau mencari ilmu pengetahuan melalui gadget, laptop dan media-media lainnya yang lebih mudah dan praktis.

Karya yang berjudul “Monumen Buku” tersebut salah satu dari 41 karya seni grafis Setiawan Sabana yang dipamerkan melalui laman https://galnasonline.id. Pameran tunggal Setiawan Sabana bertajuk KITAB: Jagat Kertas dalam Renungan ini digelar secara virtual dan dibuka pada 5 Oktober 2021 silam melalui aplikasi zoom dan live facebook Galeri Nasional Indonesia.

Dengan kata lain, pameran yang terlaksana atas kerja sama antara Galeri Nasional Indonesia, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB serta Garasi Seni 10 tersebut menjadi penanda 50 tahun Setiawan Sabana berkarya. Tentunya, ke-41 karya seni grafis seniman yang menamatkan sarjana di Jurusan Seni Rupa ITB (1977), master dari Art Department, Northern Illnois University (1982), predikat Doktor dari Program Studi Pasca Sarjana Seni Rupa ITB (2002) serta guru besar FRSD ITB itu dapat diapresiasi kapan saja dan di mana saja oleh seluruh lapisan masyarakat.

Menyikapi Perubahan

Kurator pameran, Danuh Tyas dan Zusfa Roihan,menjelaskan judul KITAB diambil dari salah satu seri karya tiga dimensi yang ditampilkan. Kitab dapat diartikan sebagai tumpukan beberapa lembar kertas/suhuf. Sementara sebagai sebuah metafor, kitab juga diartikan sebagai sumber ilmu dan panduan, yang berisikan identitas baik personal hingga universal. “Sehingga pameran KITAB bisa disebut sebagai sebuah catatan personal dalam menyikapi perubahan konteks dan situasi, terutama karena karya-karya ini terhitung baru dan diproduksi di tengah pandemi,” jelasnya.

Ia juga menuturkan, perpindahan medium pameran menjadi daring ini  menimbulkan sisi dilematis, di satu sisi audiens serasa bisa melihat fisik karya, namun tidak nyata karena hanya berupa foto atau video dalam layar. “Namun situasi dilematis ini justru akan mendorong audiens untuk berimajinasi agar dapat mengapresiasi bentuk konkret dalam tampilan maya,” tuturnya.

Selain itu, medium daring juga dianggap membawa keuntungan. Harapannya karya-karya yang dipamerkan di laman galnasonline.id bisa terus hadir dan menjadi arsip digital dari sebuah momen berkesenian Setiawan Sabana. Hal ini juga diamini oleh Kepala Galeri Nasional Indonesia, Pustanto.

“Melalui galnasonline.id, karya Profesor Setiawan bisa terus dinikmati oleh publik seluas-luasnya tanpa terbatas jarak dan waktu, sekaligus menjadi rekam jejak dalam lini masa berkesenian beliau, pungkasnya.” *** Frans P