Jika sebagian kalangan, terlebih menjelang akhir tahun, sudah sibuk untuk mempersiapkan atau merancang libur akhir tahun, tapi tidak bagi Willy Aditya, anggota DPR RI dari Fraksi NasDem. Senja itu, Selasa (28/12/2021), saat dijumpai di ruang kerjanya, ia tampak sedang sibuk mengurus berbagai macam peraturan perundangan yang sedang menjadi fokusnya.
Tidak hanya itu, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi DPR ini hingga kini masih terus memperjuangkan isu-isu kerakyatan lewat RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA), dan RUU Pendidikan Kedokteran.
Satu di antara RUU tersebut sudah mulai menunjukkan titik terang, yakni RUU TPKS yang tidak lama lagi akan diparipurnakan oleh DPR. Sedangkan RUU lainnya masih dalam proses perjuangan. Lantas, apa yang menjadi alasan salah satu eksponen ’98 itu kini memilih jalur perjuangan melalui parlemen? Seberapa efektifkah semua RUU itu untuk rakyat? Dan bagaimana sejauh ini proses perjuangannya dan tantangan yang dihadapinya?
Untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tersebut, belum lama ini, Frans P berkesempatan mewawancara aktivis yang dulu orator ulung itu di ruang kerjanya, di Kompleks DPRI, Senayan, Jakarta. Berikut petikan wawancaranya.
Saya mengenal Anda sebagai aktivis yang berjuang untuk rakyat, berjuang untuk kebenaran dan keadilan, termasuk memperjuangkan HAM dari luar sistem. Apa yang menjadi latar alasan Anda masuk parlemen?
Tidak ada hal yang bertentangan. Aktivis menjadi anggota DPR itu to be continued atau kelanjutan saja. Yang paling penting idealismenya tetap. Apakah sekarang saya tidak memperjuangkan HAM? Justru lebih konkrit. Kalau dulu modelnya aksi jalanan atau advokasi, sekarang tertuang dalam undang-undang.
Jadi, tidak satu hal pun yang berkontradiksi dalam hal ini. Yang harus kita telisik adalah ketika di akhir masa jabatan saya di Front Mahasiswa Nasional (FMN), saya yang mengusulkan, bahwa perjuangan kita tidak sebatas mahasiswa saja. Ada ide yang kemudian ditolak sama teman-teman. Jika GMNI tidak mau menjadi sayapnya PDI, bagaimana kalau FMN menjadi sayap PDI. Kita datangi Ibu Mega. Artinya, gerakan mahasiswa itu lahir sebagai sayap partai.
Maka ketika saya di NasDem, ada sayap partai atau sayap mahasiswanya. Karena secara historis gerakan mahasiswa itu hadir dan diinisiasi oleh partai politik. Itu yang banyak orang lupa, banyak orang yang tidak membaca sejarah. Moral force itu weakness dari rezim Orde Baru. Itu kerangkeng yang dibuat oleh rezim Orde Baru.
Selanjutnya, ada hal yang harus kita lihat bahwa demokrasi itu perjuangan pergerakan mahasiswa. Karena kita empirik, maka kita tidak berkuasa hari ini, (tidak) seperti Korea Selatan sudah ada yang jadi presiden. Empirik itu penyakit yang paling kronis dalam gerakan mahasiswa. Kalau kita tidak empiris, tidak eksistensialis, kita bergabung dengan oposisi waktu itu, mungkin ceritanya akan berbeda. Itu yang menjadi catatan.
Kemudian saya Ketua Panja semua Rancangan Undang-undang yang populis, alias pro rakyat. Mulai dari RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Masyarakat Hukum Adat, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RUU Pendidikan Kedokteran. Itu semua saya niatkan dan perjuangkan. Apa yang menjadi selama ini komitmen politik saya coba realisasikan.
Jadi hal itu yang benar-benar saya coba perjuangkan dan realisasikan. Dan NasDem memberikan peluang untuk itu dalam hal perjuangan politik. Walaupun masih banyak yang belum disahkan, dan saat ini baru satu yang mau diparipurnakan. Semoga masa sidang depan TPKS bisa disidangkan. Sedangkan yang lainnya masih dalam proses. Jadi, saya mencoba membangun benchmarking, bahwasannya isu-isu kerakyatan itu, undang-undang kerakyatan itu tetap menjadi garis politik Willy Aditya.
Seberapa efektif berjuang dari dalam dibandingkan berjuang dari luar?
Kalau efektifnya, ya efektif dari dalam. Tapi tidak bisa didikotomikan. Sebab, semuanya saling melengkapi. Kenapa sekarang partai politik kita menjadi satu hal yang patah kaki dan patah tangan? Karena dia tidak punya basis gerakan. Hampir semua partai tidak punya basis gerakan.
Maksudnya bagaimana?
Partai Sosial Demokrat di Eropa, di Amerika, mereka punya serikat pekerja sebagai background-nya. Di sini tidak ada. Yang ada aktivis-aktivis individu saja. Itu tidak cukup. Itu sebuah watak yang harus ditransformasikan. Karena yang menjaga idealisme dari perjuangan partai itu adalah gerakan sosial. Nah, gerakan sosial ini yang kemudian harus terkoneksi. Dia bisa dari gerakan sosial menjadi partai politik atau partai politik memiliki kaki gerakan sosial. Keduanya bisa, sama saja.
Hari ini bagaimana?
Hari ini gerakan sosialnya sendiri, partainya sendiri. Nah, kalau bisa keduanya berjalan berbarengan.

Contoh Parpol yang seperti itu di negera lain?
India, Amerika Latin rata-rata seperti itu. Eropa, Partai Buruh ada, basis serikat buruh. Partai Sosial Demokrat di Jerman basisnya serikat pekerja.
Apa tantangan di kita untuk mentransformasikan seperti itu?
Kita menganggap politik kita elitis dan high cost. Cara meminimalisasi politik yang tidak elitis dan high cost, ya harus punya basis gerakan yang berkelanjutan juga. Tidak hanya gerakan yang sifatnya responsif, monumental, tapi bagaimana gerakan sosial yang bisa sektoral, bisa mengangkat isu-isu yang kontemporer. Misalnya, bagaimana NasDem memperjuangkan RUU TPKS, RUU PPRT, RUU MHA, dan RUU Pendidikan Kedokteran secara konsisten.
Apakah ketika NasDem mati-matian memperjuangkan itu RUU tersebut, orang-orang akan memilih NasDem sebagai alat perjuangannya?
Itu terjadi sebuah patahan. Harusnya satu kata, satu perbuatan. Itu yang seharus melakukan kontrol terhadap kedua belah pihak. Kontrol terhadap partai, parlemen, terhadap DPR khususnya dan bagaimana juga koneksitas serta sinergisitas itu terbangun dalam sebuah agenda perjuangan bersama.
Mungkin ada dari mereka yang tidak tahu, ada juga yang tahu. Secara pribadi saya tidak menangis. Karena saya tahu betul. Ini political commitment saya saja. Begitu juga dengan partai. Kalaupun mereka tidak memilih, ya begitulah realita politik kita sekarang. Tidak sebangun. Itulah patah kaki dan patah tangan tadi. Jadi apa yang sudah saya dan partai NasDem perjuangkan, harusnya ini menjadi sebuah kesatuan gerak yang kemudian mengkristal. Kalau kemudian dia mengambang lagi, itulah dinamika politik kita yang kesadaran antara pikiran dan lakunya bercerai.

Kalau ada masyarakat yang apatis, bahkan menganggap semua RUU tadi tidak perlu atau tidak penting, bagaimana?
Yang harus dilakukan pemerintah membangun payung hukum. Yang harus dilakukan oleh civil society atau gerakan, membangun narasi. Jadi gerakannya tidak hanya tergantung kepada funding, sponsorship. Begitu funding ganti isu, maka dia ganti isu. Sehingga konsistensi dalam membangun sebuah gerakan, disconnect. Jadi saya sampaikan kepada kawan-kawan; kalian kalau pilih aku syukur, kalau tidak pilih aku tidak apa-apa. Inilah political commitment-ku. Tapi yang harus kalian pertanggungjawabkan adalah bagaimana keberlangsungan dari hal ini. Jadi prosesnya adalah membangun narasi dan literasi. Gerakan itulah. Gerakan itu hadir karena ada literasinya. Bagaimana mencegah kekerasan seksual terhadap perempuan, pemerintah menyiapkan payung hukum untuk masyarakat.
Salah satu narasi kita seperti apa?
Narasi terakhir kita tentang kekerasan seksual itu novel Siti Nurbaya, karya Marah Rusli. Karya itu kini sudah difilmkan dan disenetronkan kembali oleh TVRI. Itu sudah lama sekali, sudah jadul. Apa kemudian literasinya, yang seharusnya tidak hanya menjadi sebuah perjuangan yang hanya diteriakkan oleh LSM semata-mata, tapi juga oleh kultum, khotbah Jumat, khotbah Minggu. Bagaimana kemudian sekolah, film, itu juga membangun tentang praktek-praktek kekerasan seksual yang memiliki dampak psikis, sosial, ekonomi, dampak budaya yang membuat masyarakat benar-benar tidak manusiawi.
Itu yang harus kita lakukan secara sinergi. Kalau hanya policy saja, kurang banyak apa peraturan perundang-undangan kita. Tapi tidak membangun sebuah sistem berpikir, sistem bertindak, konkritnya consciousness di tengah-tengah masyarakat, karena tidak ada literasinya, itu problemnya di tengah-tengah masyarakat kita.
RUU TPKS sudah mau diparipurnakan, yang lainnya masih waiting list (menyusul). Apa tantangannya?
Kalau TPKS karena Presiden sudah membentuk gugus tugas, DPR sudah Ok, artinya relatif lebih lancar. Tapi RUU yang lain, political will-nya masih belum. Kalau harapan saya, kalau (dalam konteks RUU) Masyarakat Adat, kita merawat moralitas Republik Indonesia ini hadir dari masyarakat-masyarakat hukum adat. Bagaimana bahasa kita secara gradual setiap tahun hilang dua bahasa. Harus ada perlindungan terhadap dua hal itu. Bagaimana masyarakat adat (yang terus) terpinggirkan dalam proses modernitas seperti ini.
Tapi pemahaman mayarakat adat terhadap hal ini belum sampai. Bagaimana terkait hal itu?
Ada hal yang harus kita konservasi atau diafirmasi. Ada hal yang kemudian harus berdarah-darah. Yang kedua, perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga. Kita belum merativikasi ILO. Yang ketiga, regimentasi Undang-undang Ketenagakerjaan kita hanya memasukkan tenaga kerja itu dimasukkan hanya bekerja di sektor barang dan jasa. Mereka yang bekerja di rumah tangga atau domestic worker itu tidak dianggap bekerja. Jadi bagaimana dengan kehadiran undang-undang ini, ada perlindungan hukum agar tidak terjadi tindak pidana perdagangan orang. Berikutnya, bagaimana kemudian kita memiliki bargaining position dengan 5 juta warga negara Indonesia yang ada di luar negeri yang tercatat. Belum yang tidak tercatat. Jadi, undang-undang hadir untuk memberikan perlindungan, kepastian hukum bagi mereka kelompok yang rentan. Di sanalah aku coba berjuang untuk kemudian berjuang bersama-sama.

Pesannya?
Ada kawan di tempat yang lain juga yang sedang berjuang. Jadi kita sama-sama berjuang. Kita saling support. Tidak ada perjuangan milik satu orang. Perjuangan itu milik semua orang. Bagaimana kemudian kita membangun sinergisitas, kolektivitas untuk sebuah cita-cita peradaban bersama. Itu yang terus kita perjuangkan. Bukan hanya berjuang untuk isu-isu fundamental, tapi juga berjuang untuk kemudian sebuah persatuan perjuangan.
Willy Aditya
Tempat-Tanggal Lahir : Solok, 12 April 1978
Pendidikan
2006-2008 :Masters Programme on Defence and Security Studies, ITB Bandung dan Cranfield University United Kingdom (UK)
2001-2004 : Fakultas Filsafat, UGM Yogyakarta
1997-2001 : Fakultas Kehutanan, UGM Yogyakarta
1994-1997 : SMU Plus Institut Nasional Syafei (INS) Kayutanam-Sumatera Barat
Karir Organisasi dan Politik
1999-2001 : Ketua Dewan Mahasiswa UGM
2002-2003 : Ketua Umum Front Mahasiswa Nasional
2004-2006 : Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rakyat Pekerja
2010 : Pendiri Organisasi Kemasyarakatan Nasional Demokrat
2011-2013 : Ketua Umum Liga Mahasiswa NasDem
2013-2017 : Wakil Sekretaris Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem
2017 : Ketu DPP Partai NasDem Bidang Media dan Komunikasi Publik
2017-2019 : Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai NasDem
2019-2024 : Anggota DPR/MPR RI, Komisi 1, Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Anggota Inter-Parliaentry Union 2019
Pengalaman Kerja
2009-sekarang : Direktur Eksekutif Populis Institute
2009-2011 : Staff Ahli Komisi II DPR RI
2008-2015 : Facilitator on Sekolah Demokrasi Tangerang-Nederland Institute for Multiparty Democracy
2008-2009 : Consultant on Advisory Service Support
2005-2008 : For Decentralization (ASSD)-GTZ Germany. Coordinator of Research and Development, Voice of Human Rights (VHR) News Centre
Bibliography
2012 : Mari Bung, Rebut Kembali (Pidato Politik Surya Paloh)
2013 : Indonesia di Jalan Restorasi
2016 : Moralitas Republikan
Penuli : Frans P
Foto: Dok. Pribadi