Kepala Galeri Nasional (Galnas) Indonesia, Pustanto
Pameran Secara Daring dan Luring Jadi Siasat Menggeliatkan Seni Rupa

Tambahkan Caption pada image dan akan tampil di kolom ini.

Pandemi Covid-19 secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada segala aspek kihidupan masyarakat, termasuk pada lembaga dan pelaku seni dan budaya. Meski demikian, setiap lembaga maupun individu diajak untuk terus hidup, aktif dan kreatif dalam menyiasati keterbatasan selama masa pandemi. Bahkan meski wabah ini sudah mulai meredah, di Jakarta sudah level satu, semua sektor mulai menggeliat kembali, namun tetap dituntut tetap menerapkan gaya hidup normal baru. 

Lantas, bagaimana dengan Galeri Nasional (Galnas) Indonesia selama masa pandemi? Seperti apa siasat yang dilakukan oleh Galnas agar program kerjanya terus berjalan dan seni rupa bisa tetap bergeliat? Berikut wawancara jurnalis Penaberita.id, Frans P dengan Kepala Galeri Nasional Indonesia, Pustanto belum lama ini di ruang kerjanya. Berikut petikan wawancaranya.

Sebagai kepala/direktur Galnas, fokus kerja apa yang Anda lakukan saat ini?

Saya ke sini bersamaan adanya perubahan situasi, sementara saya fokus kepada teman-teman untuk merubah atau menyikapi situasi yang selalu berubah. Target utama adalah merubah pola berpikir Sumber Daya Manusia (SDM) yang tadinya kerja individu atau kerja kotak-kotak. Kemudian saya ubah pola berpikir, bahwa Galnas harus satu visi, satu mimpi. Sehingga diawal saya bergabung di sini, saya banyak melakukan pertemuan untuk membahas soal hambatan-hambatan untuk menggapai mimpi dan cita-cita itu. 

Saya diuntungkan ada tim-tim muda, satu kondisi situasi yang membantu dalam menghadapi perubahan yang lebih cepat. Harus kerja tim, problem solving. Galnas juga sudah banyak hal-hal yang bagus, beberapa diantaranya perhelatan dua tahunan, seperti pameran Nusantara, Manifesto sudah berjalan dengan baik, ada beberapa program perhelatan internasional gagal karena pandemi. Meskipun demikian ada perhelatan internasional yang berjalan, salah satunya pameran secara daring dengan Rusia. 

Kemudian pasca 2019, negara sudah beralih fokusnya untuk menangani pandemi. Meskipun demikian kita masih terus berjalan, meski pelan tapi pasti. Sehingga tidak bisa menjalankan fungsi Galnas yang kedua, yakni pusat aktivitas. Fungsi pertama itu museum, mulai dari mengeola koleksi (inventarisasi, merawat, kajian, dipamerkan, dibuat katalog) kemudian membangun mitra dengan institusi lain, termasuk dengan luar negeri. 

Apa para meter dari kegagalan dan keberhasilan Galnas itu?

Saya berada di posisi, antara merapikan, membesarkan, membina dan mengembangkan stakeholder sampai hal-hal kecil juga tak luput dari perhatian. Sebab semua itu seiring dengan tuntutan ruang publik. Salah satu tuntutan atau kegagalan Galnas adalah kalau ditinggalkan oleh stakeholder, khususnya perupa. Sehingga saya juga ingin menjadikan Galnas sebagai rumah bagi para perupa. Itulah sebabnya ada Kamis Sketsa dan akan berkembang lagi ke grafis, rencana ada keramik dan lain sebagainya.

Seberapa berpengaruh pandemi ini terhadap program kerja Galnas dan siasat seperti apa yang dilakukan agar seni rupa tetap bergeliat?

Meski akhirnya kompromi terhadap situasi pandemi, perhelatan seni rupa di Galnas tetap bergeliat. Puncaknya pembahasan di tahun 2019, kita menghasilkan 10-15 calon yang akan pameran tunggal atau grup. Kemudian kita tutup, karena DKI tidak boleh ada kerumunan, tatap muka. Mucullah solusinya pameran digital. Inilah yang saya nyatakan kompromi tadi. Sebab yang meski kita ubah pola pikirnya bukan hanya pegawai Galnas, senimannya juga. 

Bagaimana meyakinkan para perupa?

Kita tawarkan. Kalau dulu waktu luring ruangnya gedung A, B dan C. Sekarang virtual ruangnya Galnas Online. Kalau mau kita siapkan ruangnya itu. Kami bantu, kalau dia punya desainer onlinenya silahkan, atau kita bantu total. Salah satunya Perupa Jakarta Raya (Peruja), Perupa Kota Tua dan ada beberapa lagi. Sebab kita tidak tahu, sampai kapan pandemi ini berakhir. Negara harus hadir dalam situasi apapun. 

Kebanyakan grup yang siap untuk daring, yang pameran tunggal kebanyakan siap untuk luring. Karena mereka menyiapkan karya banyak dan harus diaresiasi secara dekat, mungkin bayangan dia seperti itu. 

Semuanya proses. Suka atau tidak suka, digital itu pilihan di situasi pandemi ini. Kalau Anda mau, saya persiapkan. Mulai dari desainnya, kirim fotografer dan mempersiapkan lain-lainnya. kita harus menyiapkan untuk generasi berikutnya. Kalau kita pakai cara kita sendiri, generasi berikut bisa tidak terima. 

Di tengah perubahan situasi dan perkembangan teknologi atau zaman yang pesat ini, menurut Anda apakah galeri fisik itu masih perlu?

Saya sudah kebayang, apakah galeri fisik ini suatu saat perlu? Kecuali hanya sebagai gudang. Karena anak zaman sekarang, kalau ingin nonton ludruk, nonton pameran di Galnas semuanya bisa dilakukan, ditonton, dikunjungi secara daring melalui handphone dan laptop di rumah, di mana saja dan kapan saja. Meskipun di generasi kita ada kerinduan luring (pameran secara fisik) dan orang ingin datang itu bisa terjadi. 

Ada juga orang yang ingin menontonnya atau mengunjunginya secara daring/digital. Tapi display tetap ada, ruang pamer juga, tapi itu fungsi ruang untuk kajian, riset, perawatan, pengamanan dan hal-hal yang sifatnya pameran bisa ditempuh secara digital atau daring melalui sistem atau aplikasi yang sudah disiapkan.

Kalau pameran secara fisik yang nonton bisa dihitung dan terbatas. Namun kalau pameran secara daring yang nonton banyak dan orang-orang yang nonton dari seluruh penjuru dunia. 

Apa rancangan atau persiapan Galnas untuk kembali menggeliatkan seni rupa?

Konsep luring tetap menjadi perhatian kami, termasuk anggaran yang turun sebesar 30 persen. Meski demikian daring juga tetap dilaksanakan, karena paling tidak bisa menghemat anggaran. Istilahnya kita tidak kehabisan cara untuk menggeliatkan seni rupa di Jakarta dan di Indonesia. Yang penting Galnas memberikan ruang pada pelaku seni, sisi lain jadi tempat ruang apresiasi masyarakat, baik secara daring maupun luring. 

Apa harapan Anda kedepan?

Harapannya kita harus jalan terus. Persoalan SDM, sarana prasarana, dan program –program harus berjalan terus. Semua sesuai fungsi yang berdasarkan kajian. Dan ini sudah kita mulai, setiap ada kegiatan harus dilakukan kajian. Mengikuti era yang terjadi, salah satunya era internet. Meskipun kami menyadari kalau kami belum bisa memberikan seperti yang diinginkan oleh publik secara sempurna dan semuanya masih tahap pengembangan. 

Pustanto

Tempat /Tanggal Lahir: Sukoharjo, 20 Mei 1966

Pendidikan

  • 1979  Lulus SDN Kedungsono II
  • 1982  Lulus SMPN Selogiri
  • 1985  Lulus SMAN Wonogiri
  • 1990  Lulus S1 Kriya, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta
  • 2008  Lulus Magister Manajemen STIE IPWIJA, Jakarta
  • 2018 – sekarang  sedang menempuh pendidikan S3 Manajemen Sumber Daya Manusia di Universitas Pancasila, Jakarta

Karir

  • 1999 – 2002  Kasubsi Pameran Galeri Nasional Indonesia
  • 2002 – 2005  Kasi Dokumentasi Pameran dan Publikasi Galeri Nasional Indonesia
  • 2005 – 2007  Kasi Pameran dan Edukasi Galeri Nasional Indonesia
  • 2007 – 2012  Kasubdit Seni Media Direktorat Kesenian
  • 2012 – 2014  Kasubdit Pembinaan Seni Rupa Direktorat Kesenian
  • 2014 – 2015  Kepala Museum Kepresidenan RI Balai Kirti
  • 2015 – 2018  Kasubdit Seni Rupa Direktorat Kesenian
  • 2018 – sekarang  Kepala Galeri Nasional Indonesia

Prestasi

  • 2008  Satyalancana Karya Satya X Tingkat Nasional dari Presiden RI
  • 2008  Satyalancana Karya Satya XX Tingkat Nasional dari Presiden RI
  • 2004–2014  Konservator Benda-benda Seni Budaya Koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia
  • 2010–2014  Penanggung Jawab Lomba Cipta Seni Pelajar di Istana Kepresidenan Republik Indonesia
  • 2016  Penanggung Jawab Acara dan Pentas pada Pekan Budaya Indonesia