“Boy (nama panggilannya sayang orang tuanya), ikutin tuh abangmu. Sudah tidak ‘nyusahin’ Bapak. Sudah punya masa depan. Kamu musti banyak belajar, biar…” Kurang lebih begitulah Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana mencoba mematut matutkan vokal, intonasi dan air muka Bapaknya ketika menerima nasehat semasa remaja.
Tentu, kebanyakan orang tua pasti dan musti menasehati anak-anaknya. Selain untuk memberikan semangat ketika belajar, berkarya dan berjuang meraih mimpi serta cita-cita, juga agar anak-anaknya tidak ‘lunak’ apalagi ‘terbawa arus’ situasi/kondisi serta perasaan. Tentu respon dari setiap nasehat yang diberikan kepada anak pun tak sama. Tergantung anak.
Yang jelas, nasehat itulah yang membekas dalam ingatan Iwan semasa lampau hingga kini, sebagai Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. Pertanyaannya kemudian, seberapa kuat pengaruh nasehat tersebut dalam pribadi Iwan Henry Wardhana dalam menjalankan hidup dan kehidupannya? Sebagai Kepala Dinas Kebudayaan, program atawa inisiatif kebudayaan apa yang akan, sedang dan sudah dirancang – jalankan untuk kota Jakarta? Seperti apa harapan dan mimpi terhadap kesenian dan kebudayaan di kota Jakarta ini?
Menyoal hal itu, belum lama ini, jurnalis Penaberita.id, Frans P berkesempatan bercakap cakap dengan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana di ruang kerjanya. Berikut petikan percakapannya;
Selama kurang lebih 28 tahun jadi Aparatur Sipil Negara (ASN), Anda percaya tidak dengan yang namanya keberuntungan atawa hoki atawa kebetulan?
Keberuntungan atawa kebetulan itu similer. Bisa dibilang sebagai pelemah motivasi orang. Karena kalau kita terlalu tergantung pada keberuntungan atawa kebetulan, itu menandakan usaha atawa upaya seseorang itu tidak besar. Yang benar itu bukan keberuntungan atawa kebetulan, tapi upaya dan doa.
Sehingga bahasa kebetulan dan keberuntungan itu diganti namanya dimudahkan. Kalau kita berdoa dan berusaha menjalankannya, dan tiba-tiba ada hasil, itu dimudahkan. Karena bahasanya tiba-tiba, tapi ada usaha yang dijalankan. Jadi, targetnya kapan, tapi targetnya sudah tercapai sebelum waktu dipikirkan sebelumnya. Ternyata lebih cepat, lebih mudah dijalankan. Itu namanya berkat. Berkatnya banyak hal. Karena kita sering berdoa, ketemu ide baru dalam perjalanan usaha.

Apa alasan Anda menjadi ASN?
Pertama adanya keinginan untuk bisa diperhatikan oleh orang tua. Saya anak kedua dari tiga bersaudara. Waktu SMA kelas satu, abang saya diterima di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Memang sejak SMP hingga SMEA dia berprestasi terus, jadi orang tua senang sekali sama abang. Terlebih lagi, pasca lulus dari STAN dia langsung bekerja, sebab sekolah itu merupakan sekolah ikatan dinas.
Kurang lebih, waktu itu, Bapak bilang begini; “Boy (nama panggilan sayang orang tuanya), ikutin tuh abangmu. Sudah tidak ‘nyusahin’ Bapak. Sudah punya masa depan. Kamu musti banyak belajar, biar…” kurang lebih begitu. Tapi, itulah asal muasal kenapa saya berniat untuk bekerja. Ketika itu, saya melamar di dua tempat, satu di DKI dan satu tempat lagi di pemerintahan yang lain. Alasan pertama, tentu karena acuannya adalah abang, dan abang adalah contoh sukses, maka saya ikut apa saran orang tua.
Selulus SMA, saya mulai melamar kerja dengan modal ijazah SMA. Pada saat yang bersamaan saya juga kuliah di Universitas Trisakti. Tahun 1993 saya kuliah, tahun itu juga saya diterima bekerja. Yang pertama saya lulus tes adalah di Pemprov DKI. Tanpa pikir panjang saya lanjut di DKI. Bekerja sambil kuliah. Pagi kerja, kuliah sore. Lima tahun pertama, dari 1994-1999 saya di Kelurahan Jati sebagai staf tata usaha. Terima surat masuk, catat. Kemudian mengkonsep surat, pada bagian ini saya paling suka. Dan sampai sekarang terus berproses selama 28 tahun.
Selama 28 tahun ini apa cerita yang mengharukannya apa?
Ada masa-masa dimana kita jenuh, apalagi pada masa muda itu teman-teman maunya main, nongkrong. Saya tidak bisa, karena besok pagi saya harus bekerja. Masa belajar dan bekerja itu harus pintar membagi waktu sendiri karena resikonya berbeda. Kalau abang saya dia kuliah ikatan dinas, dia kuliah sampai selesai dan akhirnya jelas. Kalau saya, kuliah dan kerja juga. Jadi harus menyelesaikan itu dalam satu waktu yang bersamaan.
Itu masa yang harus belajar berhemat, mengatur waktu, disiplin dan malu ketika bertemu pada teman-teman, kok celananya tidak pernah ganti? Karena celananya waktu itu coklat dan pada waktu itu kerja kadang-kadang membuat kita jadi drop. Menyiasatinya, sebelum sampai kampus ganti celana dulu.
Siapa paling memotivasi?
Yang memotivasi orang tua. Karena pada masa-masa saya jenuh, orang tua hadir. Saya ingat sekali,pada tahun ketiga, saya ikut teater. Jadi saya kerja, kuliah, dan ikut latihan teater. Jadi saya mengenal seni berkarakter itu dari teater. Jadi saya belajar teater cukup lama. Teater itu mengajarkan saya bagaimana meluapkan emosi menjadi terarah. Bapak mengingatkan agar tetap tekun. Ibu juga memberikan jalan untuk mencari aktivitas lain yang positif, karena itulah saya bermain teater di Tanah Abang, dulu namanya Suryasin Studio. Saya senang dengan latihan-latihannya, olah vokal, intonasi, bedah naskah dan lain-lain. Semua itu masa-masa berat, namun dimodivikasi dengan pelarian-pelarian teater semuanya bisa dilewati.
Hingga sampai sekarang, saya mendapatkan kenaikan pangkat pilihan sampai lima kali. Ada yang sifatnya karena penyesuaian ijazah, ada yang memang karena sifatnya prestasi alias promosi. Misalnya, tahun 1999 golongan saya masih 2B, tapi karena saya sudah sarjana, saya ikut tes dan lulus, saya tidak ikut 2C-2D, saya lompat 3A. Dari situ, setahun saya ambil pascasarjana (S2), saya ikut penyesuaian kembali dan lulus lagi. Mestinya empat (4) tahun, saya hanya dua (2) tahun. Dari 3B saya setahun, naik promosi Eselon Empat (4) begitu terus sampai sekarang.

Ada rencana apa dari Pak Gubernur DKI, Anies Baswedan sehingga memisahkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Kata lainnya, Dinas Kebudayaan jadi dinas tersendiri. Apa konsep kebudayaan Anda untuk DKI ini?
Ya tentu tidak bisa disamakan, latar belakang keilmuan sektor kepariwisataan dengan keilmuan kebudayaan, itu dua hal yang sebenarnya berbeda, meski mungkin bisa saling menjunjung. Jadi, kepariwisataan itu lebih mengarah pada produk. Bagaimana memasarkan produk itu kemudian mendatangkat profit atawa devisa, sehingga lebih dikenal dengan program-program kepariwisataannya.
Kalau kebudayaan, tidak menambah kehidupan tapi menjaga kehidupan. Misalnya, bagaimana menyeimbangkan peran pekerja seni, pegiat seni budaya dengan kondisi sumber daya yang ada di kotanya. Fasilitas yang diberikan oleh pemerintah, kebebasan berekspresi para pekerja seni sampai sejauh mana. Sehingga jelas sekali bedanya, bahwa orang-orang yang sifatnya di kebudayaan, dia tidak melakukan kegiatan memasarkan hotel atawa suatu destinasi wisata dan lain-lain.
Tapi menyeimbangkan kegiatan para pekerja dan pegiat seni, memberikan fasilitas, bagaimana melestarikan cagar budaya, bagaimana mengembangkannya selain menjaga tradisi atawa pakem-pakem yang berlaku, itulah tugas Dinas Kebudayaan. Jadi secara prinsip kita lebih menjaga kehidupan, lebih berhubungan dengan banyak orang, seperti yang terlihat sekarang. Dan saya dinilai memiliki pengalaman cukup, karena sebelumnya saya juga memiliki pengalaman di Dinas Lingkungan Hidup dulu namanya Dinas Kebersihan, dulu ditugaskan di Bantar Gebang. Buat sebagaian orang memang capek berhubungan dengan banyak orang, tapi itulah amanah yang terus dijalankan.
Kebudayaan seperti apa yang sedang direncanakan atawa sedang dikerjakan di Jakarta ini apalagi ada rencana mengenai pemindahan ibu kota?
Jakarta atawa pada zaman dulu disebut Batavia, itu adalah sebuah kota pusat perdagangan. Jadi tempat persinggahan para pedagang dari luar negeri. Nah, kita bisa lihat dari sejarahnya itu, maka proses akulturasi sebenarnya sudah mulai pada masa itu sampai dengan sekarang. Kedatangan para pedagang, bertatap muka, berinteraksi, menginap, timggal di sini, menikah, beranak pinak, dll. Proses akulturasi seperti itu membentuk suatu ciri khas sendiri, bahwa Jakarta adalah pusat perdagangan.
Pusat perdagangan ini menuntut semua orang membuka diri sampai sekarang. Proses akulturasi ini membentuk budaya yang akhirnya asli orang sini. Walaupun secara sejarahnya lagi, kalau dilihat dari sumbernya, ada yang dari Tiongkok, India, Timur Tengah, sehingga proses itu membentuk sebuah ciri dan karakter kota ini dengan budaya ke khasannya. Sehingga pada 1930-an, kita mengenal yang namanya Betawi. Walaupun jauh sebelumnya sudah ada Betawi itu.
Jadi pembentukan ciri dan karakter kota itu adalah bagaimana orang perorang datang dan tinggal di Kota Jakarta, meyakinkan dirinya untuk bisa hidup lebih baik dari tempat sebelumnya dia berada. Itu asal muasal kota. Orang yang datang ke Jakarta itu meyakinkan dirinya memiliki kemampuan, bahwa di Jakarta adalah tempat perniagaan, tempat pertemuan dengan banyak orang dan saya punyakeahlian, sebenarnya standarnya begitu.
Tapi sebenarnya, konsep pembentukan itu sama. Sehingga Jakarta semakin melebar, tidak hanya Jakarta wilayah Utara atawa Batavia Utara semakin lama semakin melebar sesuai dengan perkembangan kota.
Yang dibentuk begini, kota berbeda dengan desa. Yang mana desa terbentuk secara alamiah dengan segala sumber daya alam yang ada di dalamnya. Kota tidak. Dia diciptakan oleh orang-orang yang ada di situ, sehingga terjadi penumpahan rasa, pertukaran ide, perbedaan, konflik, perdebatan semua itu menyatu dalam perkembangan sebuah kota sampai membentuk ciri dan karakter kota Jakarta. Kemudian membentuk budaya dan karakter orang. Seberapa besar, seberapa bagus teknologi dan infrastruktur yang kita bangun. Selama pembentukan karakter dan budayanya masih dibawah dari kemajuan infrastruktur itu, tentu tidak akan bisa maju dengan baik. Sehingga pengembangan budaya manusia, budi pekerti itu menjadi satu hal yang utama. Jadi budi pekerti ini menjadi yang utama dari program saya.
Pasca revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM), apa yang dilakukan untuk pengembangan dan pemajuan kesenian – kebudayaan di Jakarta? Apa harapannya terkait hal ini?
Tentu harapannya, revitalisasi itu bukan hanya sifatnya fisik. Tapi juga sifatnya non fisik. Misalnya penguatan kelembagaan, kemudian bagaimana membuat program berkesenian. Itu sama pentingnya dari sekedar membangun infrastruktur. Sama aja, kita mempunyai rumah besar tapi tidak ada jiwa yang bagus di situ, sama saja. Nah, itu perannya Dinas Kebudayaan dalam mengaktivasi bagaimana menjadi satu ekosistem yang baik dalam satu kawasan Taman Ismail Marzuki.
Cuma ada hal-hala yang mesti kita pahami, bahwa amanah peraturan gubernur itu mesti dijalankan oleh semua pihak. Seperti misalnya Pergub 63 Tahun 2019, Dinas Kebudayaan belum ada waktu itu, karena baru dibentuk tahun 2020, walaupun sekarang Pergub 63 sudah diperpanjang.
Nah, pengelolaannya itu, ke siapa? Karena secara nyata, yang direvitalisasi dari kawasan TIM tidak total pada area 7,2 hektare, tapi pada area 5,1 hektare dan 2,1 hektare-nya tidak masuk dalam kategori revitalisasi. Meliputi Gedung Teater Jakarta, IKJ dan satu gedung lagi, itu area yang tidak termasuk area yang tidak direvitalisasi. Selebihnya, itu diamanahkan kepada PT Jakpro untuk melaksanakan kegiatan revitalisasi. Mulai dari perencanaan, pembangunan, pengelolaan sampai perawatan. Tentu, kami patuh, karena kami yang mendapat amanah ini.
Jadi lahan 2,1 hektare itu masuk dalam inventaris Dinas Kebudayaan, tapi tidak semuanya dikelola oleh Dinas Kebudayaan, tapi ada satu kawasan yang dikelola oleh Yayasan Seni Budaya Jakarta, yaitu IKJ.

Dengan fasilitas yang ada sekarang, ekosistem kebudayaan seperti apa yang akan dibangun di Jakarta?
Ekosistem kebudayaan kita mulai dari akar rumput. Bagaimana proses pembinaan mulai dari tingkat keluarga, bagaimana kita memberikan fasilitas di tingkat wilayah, memberikan keluasaan dengan fasilitas yang kita miliki, seperti gedung pertunjukan seni budaya di masing-masing wilayah dan memberikan waktu untuk mereka memberikan pelatihan, bahkan dengan Instruksi 45 tahun 2020, bukan hanya gedung pertunjukan di tingkat wilayah, tapi taman-taman, ruang terbuka atawa istilahnya ruang ketiga semuanya boleh. Artinya dibuka, semuanya boleh melakukan aktivitas menandakan warga bahagia.
Konsep terhadap TIM ini seperti apa?
Jadi konsepnya, ada yang menyebutnya dokumen pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah. Semua itu sudah termaktub, sudah ternyatakan di dalam pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah. Bagaimana kita merasa prihatin dengan kondisi bahwa kurang lebih sebanyak 39 persen kebiasaan tradisi-tradisi, pakem-pakem, jenis-jenis tarian tidak terawat, terancam punah bahkan. Ditambah lagi dengan adanya covid, menambah tantangan yang luar biasa. Bagaimana bisa membuanya menjadi lebih baik.
Jadi perlu ada kemampuan dan semangat yang pantang menyerah untuk menjalankan ini. Kami tidak bisa jalan sendiri karena semua urusan kebudayan itu tidak pada satu orang atawa satu lembaga, tapi semua orang bergerak di dalamnya. Terutama orang yangmempunyai kepedulian dan mempunyai jiwa di dalam berkesenian. Ini harus jalan. Kami fasilitator, kemudian ada yang berperan sebagai regulator ada yang berperan sebagai operator. Kalau semuanya sudah jalan, dari tingkat keluarga, wilayah, kota, kemudian TIM adalah puncak dari semua ekosistem itu, di mana orang bisa bangga karena bisa tampil di TIM itu menjadi suatu ekosistem yang dinyatakan berhasil.

Harapan ke depan untuk TIM?
Tentu sebuah agenda yang rutin, di mana semua orang bisa melihat aktivitas berkesenian di Jakarta yang menjadi baromter buat Jakarta, buat Indonesia juga buat dunia. Karena kita memfasilitasi karya-karya baru. Bukan lagi karya lama yang dipamerkan, tapi bagaimana sebuah TIM, sebuah kawasan yang mampu menciptakan kreasi-kreasi baru. Investasi yang dikeluarkan pemerintah bukan hanya bersifat fisik yang bukan hanya profit, tapi juga benefit. Kalau berpikir benefit, tapi berpikir tentang karya-karya baik yang tak ternilai harganya itu yang Dinas Kebudayaan inginkan.
Biodata Singkat
Iwan Henry Wardhana, SE. MSiP., CBA.
Tanggal Lahir: 21 November 1975
Jabatan: Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta
Pangkat/Golongan: Pembina Utama Muda / IVc
Pengalaman Kerja :
- Januari 2020 – Sekarang : Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta
- September 2017 – Januari 2020 : Kepala Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Administrasi Jakarta Timur
- Januari 2017 – September 2017 : Kepala Bidang Deposit & Pelayanan Perpustakaan Dinas Perpustakaan & Kearsipan Provinsi DKI Jakarta
- Januari 2016 – Desember 2016 : Kepala Kantor Perpustakaan & Arsip Kota Administrasi Jakarta Selatan
- September 2015 – Desember 2015 : Kepala Bidang Perpustakaan Badan Perpustakaan & Arsip Daerah Provinsi DKI Jakarta
- Juli 2013 – Desember 2014 : Kepala Bagian Kerjasama Luar Negeri, Biro Kepala Daerah dan Kerjasama Luar Negeri (KDh & KLN)
- Oktober 2007 – Juni 2013 : Kasie Sarana Prasarana, UP. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Dinas Kebersihan DKI Jakarta
- Juli 2007 – Oktober 2007 : Administration Staff at Bureau of Sewage System, Tokyo Metropolotan Government (TMG), Jepang
- Juli 2004 – Juni 2007 : Staf Bidang Pemerintahan Bappeda Prov. DKI Jakarta
- Juni 1999 – Juni 2004 : Staf Biro Perlengkapan Provinsi DKI Jakarta
- Maret 1994 – Juli 1999 : Staf Keuangan & Umum Kelurahan Jati, Jakarta Timur
Pendidikan :
- 2011 Certified Behavioral Analyst (CBA), QQ Int’l Singapore
- 2004 S2 Kajian Pengembangan Perkotaan (MSiP), UI Jakarta
- 1999 S1 Fak. Ekonomi, Akuntansi (SE), Univ. Trisakti Jakarta
- 1993 SMA Negeri 21, Jakarta
- 1990 SMP Negeri 93, Jakarta
- 1987 SD Negeri 03, Jakarta Timur
Piagam Penghargaan :
- 2014 Satyalancana Karya Satya 20 tahun oleh Presiden RI
- 2014 Pengabdian masa kerja 20 tahun oleh Gubernur
- 2009 Pengabdian masa kerja 15 tahun oleh Gubernur