Jika menilik sejarah, bahasa Indonesia yang kita (masyarakat Indonesia) pakai untuk berkomunikasi secara lisan maupun tulisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah melalui proses pembahasan serta perumusan yang tidak sebentar.
Singkatnya, selain mengikrarkan berbangsa dan bertanah air Indonesia, para pemuda yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dalam sumpahnya juga mengikrarkan tentang bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Artinya, bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian (dipakai dalam ruang-ruang formal dan nonformal) juga menjadi bahasa yang mepersatukan seluruh masyarakat yang beragam suku, agama, ras dan lainnya kedalam Negara Kesatuan Republin Indonesia (NKRI).
Sangkin vital dan pentingnya bahasa kesatuan ini, negara pun membentuk sebuah lembaga yang khusus mengurusi persoalan kebahasaan, yakni Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia atawa yang akrab disebut dengan Badan Bahasa. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, seperti apa program kerja serta hal-hal apa yang dilakukan oleh badan formal ini dalam mengurusi persoalan-persoalan kebahasaan kita? Apakah bahasa yang kita pakai dan banggakan ini bisa dijadikan sebagai bahasa internasional seperti bahasa Inggris?
Terkait hal tersebut, belum lama ini, jurnalis Penaberita.id, Frans P berkesempatan untuk mewawancara Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia, Aminudin Aziz belum lama ini di ruang kerjanya,Jl. Daksinapati Barat IV, Rawamangun, Jakarta Timur. Seperti apa program kerjanya dan bagaimana siasatnya dalam menginternasionalkan bahasa Indonesia, berikut petikan wawancaranya.
Latar belakang dari pembentukan Badan Bahasa ini seperti apa?
Sekarang nama resminya, Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Ini nama resmi setelah beberapakali mengalami perubahan nama. Dulu, tahun 1970-an, 1980-an, namanya Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kemudian berganti nama menjadi Pusat Bahasa. Ketika nama Pusat Bahasa, masyarakat mengenal betul lembaga ini. Dan saya pikir nama Pusat Bahasa itu nama yang sangat melekat dengan lembaga ini.
Kemudian pada 2010 berubah seiring dengan munculnya UU 24 Tahun 2009 tentang bendera, lagu kebangsaan, bahasa dan lambang negara. Pada undang-undang itu disebutkan, untuk mengurus masalah-masalah yang terkait dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah, maka dibentuklah sebuah badan. Disitu juga disebutkan, bahwa badan ini bertanggungjawab langsung pada menteri. Artinya, badan ini ada perubahan struktur, perubahan nomenplatur, dan juga eselonisasi. Yang tadinya namanya pusat itu eselon dua, sekarang berubah menjadi badan, maka jadinya esolon satu karena langsung bertanggungjawab pada menteri .
Pada 2010 disetujuilah namanya menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Memang pernah berubah pada 2017 dan 2018 menjadi Badan Pengembangan, Pembinaan Bahasa dan Perbukuan. Karena waktu itu Pusat Perbukuan yang tadinya di Balitbang beralih ke Badan Bahasa, karena kalau urusan bahasa itu urusan perbukuan atawa sebaliknya. Padahal yang namanya urusan bahasa bukan urusan perbukuan. Bahwa di dalam buku ada bahasa, tapi bukan bicara tentang konten, bukan bicara isi dari buku itu.
Maka, atas berbagai pertimbangan, perbukuan ini pada 2019 dialihkan kembali ke Balitbang. Karena yang disediakan dalam perbukuan itu buku-buku pelajaran yang akan dipakai di sekolah. Sementara Badan Bahasa banyak mengurus urusan lain. Kita, Badan Bahasa ini, tidak pernah sesungguhnya berada pada Balitbang. Pada tahu 1980-an pernah menjadi bagian dari Dirjen Kebudayaan. Sekarang, setelah namanya berubah menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, orang lebih Badan Bahasa. Dan saya pikir, nama Badan Bahasa ini lebih melekat pada ingatan masyarakat daripada nama panjangnya.
Oleh karena itu, saya selalu mengatakan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa atawa dikenal dengan nama Badan Bahasa adalah sama. Dan saya juga sudah mengusulkan agar nama yang panjang itu menjadi Badan Bahasa ke kementerian, tapi ini suatu proses yang panjang, karena harus banyak yang diubah dan harus mendapatkan persetujuan dari Kemenkum HAM, Kemenpan RB dan seterusnya.
Apa tugas, fungsi dan tujuan dari keberadaan lembaga ini?
Menurut UU 24 Tahun 2009, pertama mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia. Kedua, membina. Bicara mengembangkan, yang dikembangkannya adalah unsur-unsur kebahasaan. Jadi, urusan tata bahasa, ejaan, bagaimana cara mengkonversi padanan asing ke dalam bahasa Indonesia, dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia, bagaimana mengembangkan perkamusan. Ini semua berada dalam payung pengembangan.
Terkait pembinaan ada dua, pertama pembinaan terhadap lembaga pengguna bahasa. Misalnya lembaga negara atawa kementerian, dan lain sebagainya itu kita bina bagaimana mereka menyusun surat-surat, bagaimana melakukan bahasa perundang-undangan, dan sebagainya. Kedua pembinaan bahasa penuturnya, baik individu maupun kelompok. Kita bina bahasanya, urusan sastranya, urusan literasinya.
Kemudian pelindungan bahasa dan sastra Indonesia yang terkait dengan bagaimana bahasa ini bisa terawat secara baik di dalam ruang publik, di dalam dokumen supaya tidak tersisihkan oleh bahasa-bahasa asing. Agar bahasa Indonesia menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Keempat atawa tugas tambahannya, mengusahakan bahasa Indonesia memiliki fungsi sebagai bahasa internasional. Artinya, bagaimana kita menaikkan fungsi bahasa Indonesia, bukan hanya di dalam negeri tapi juga bahasa Indonesia dipakai di luar negeri. Baik dipakai sebagai bahasa pergaulan, bahasa perdagangan, dan untuk kepentingan-kepentingan lain. Ini yang kita sebut sebagai peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional.
Jadi fungsinya ada empat, yakni pengembangan, pembinaan, pelindungan dan meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Inilah yang menjadi tugas utama dari Badan Bahasa ini.

Fokus kerja di tahun 2022 ini apa saja?
Mencari prioritas untuk masing-masing fungsi itu. Saya mulai bertugas tahun 2020 menetapkan tiga prioritas program kerja. Program prioritas pertama, literasi. Literasi ini menjadi bahan pembicaraan yang bukan hanya pada tingkat sekolahan, tapi juga menjadi program nasional. Presiden Joko Widodo sangat gencar mengkampanyekan perlunya peningkatan literasi masyarakat, literasi anak sekolah. Karena bicara literasi itu bicara segalanya, karena literasi itu terkait dengan kemampuan seseorang untuk mengolah, menggunakan sumber-sumber pengetahuannya, baik itu teks (tekstual) maupun nonteks (gambar, angka, petunjuk) untuk menunjang kehidupannya.
Sebenarnya definisi literasi sesederhana itu. Nah, kami di Badan Bahasa, berbicara literasi, kami fokuskan, misalnya bagaimana pengembangan perkamusan, tata bahasa, pengembangan ejaan dengan tujuan untuk menunjang literasi. Jadi, kamu juga menyediakan buku-buku literasi untuk bisa dibaca oleh anak sekolah. Untuk tahun ini dan mungkin sampai akhir massa jabatan saya, kami akan fokus di PAUD dan SD, karena dasar-dasar untuk pengembangan dan pertumbuhan literasi ini adanya di situ, itu usia emasnya.
Kalau disuguhi dengan bahan, model pembelajaran dan bahasa yang baik, saya pikir literasi anak-anak ini akan berkembang sangat baik. Kemudian Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Kita kembangkan UKBI adaptif, merdeka dan sebagainya ini. Dikatakan adaptif, karena ini adalah model pengujian yang sangat berdaya guna, bisa menguji kemampuan untuk semua kelompok. Bukan hanya anak-anak sekolah dasar tapi juga sampai kepada profesional. Bahkan, ahli-ahli bahasa, wartawan, perbankan, akuntan, bisa menggunakan alat uji ini karena disusun secara adaptif. Jadi akan sangat disesuaikan dengan kemapuan berbahasa seseorang, dan ini sangat lengkap.
Dari mulai paket menyimak, membaca dan ada pengujian untuk menulis, wawancara dan juga ada logika, daya nalar, berpikir kritisnya juga ada. Jadi bukan lagi pengujuan tata bahasa, bahasa Indonesia, tapi ini lebih kepada kompetisi atawa kemahiran berbahasa Indonesia, itu di ujungnya. Dan ini kami sebut program literasi.dari penyediaan buku, kemudian melakukan pembinaan/pendampingan kepada sekolah, kepada masyarakat, kepada komunitas. Kami terjunkan para staf yang ada di UPT yang ada di 30 provinsi untuk dibina agar bisa membantu program literasi di masyarakat.
Kedua, program pelindungan bahasa. Karena ada tugas lain, yaitu Badan Bahasa memberikan fasilitasi untuk pengembangan, pelindungan, pembinaan bahasa, sastra dan aksara daerah. Kepakaran ada pada kami, tapi sesungguhnya tanggungjawab itu ada pada pemerintah daerah. Ketika sebuah bahasa berada di bawah administratif kabupaten kota tertentu, maka tanggungjawabnya ada pada pemerintah kabupaten kota untuk melakukan pengembangan, pembinaan, pelindungan bahasa, sastra dan aksara daerah. Kalau bahasa-bahasa ini melintas kabupaten kota, maka tanggungjawabnya ada pada pemerintah provinsi, dan kami di sini hanya melakukan fasilitasi.
Program yang kami lakukan untuk ini adalah pendokumentasian bahasa dan sastra daerah. Kemudian, mulai tahun 2022 ini, setelah tahun 2021 kita sukses menginisiasi program Revitalisasi Bahasa Daerah, uji coba tahun lalu, berhasil, maka sekarang menjadi bagian Merdeka Belajar Episode ke-17. Ini mendapat respon positif dari pemerintah kabupaten kota bahkan provinsi. Target kami, awalnya, cukup misalnya untuk lima bahasa di tiga provinsi, sekarang tambah menjadi enam provinsi.
Kemudian Mas Menteri melihat uji coba kemarin berhasil, sekarang dinaikkan menjadi 12 bahkan 13 provinsi dengan 39 bahasa daerah. Ini program pelindungan. Kami bekerjasama dengan pemerintah kabupaten kota, kabupaten provinsi dan komunitas serta para pegiat bahasa dan sastra daerah. Ketiga, meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional atawa penginternasionalan bahasa Indonesia.
Ini kami lakukan karena dalam undang-undangnya ada amanat itu. Selama ini programnya baru sebatas pengiriman guru BIPA ke negara-negara tertentu. Ketika saya masuk, saya ubah sudut pandangnya. Maka saya menggulirkan gagasan Lingua Franca Plus. Dengan konsep ini saya ingin memberikan kesadaran kepada semua pemangku kepentingan di negeri ini, kementerian dan lembaga yang memiliki tugas dan fungsi diplomasi yang akan memberikan fasilitasi penggunaan bahasa Indonesia pada tingkat global.
Misalnya, untuk diplomasi politik luar negeri kita, tanggungjawabnya ada di Kemlu yang dibawahnya ada perwakilan Indonesia di luar negeri. Agar dalam mengurus bahasa dan diplomasi budaya tidak boleh bekerja sendiri-sendiri, melainkan harus bekerjasama. Selama enam tahun, pengajaran BIPA melalui Badan Bahasa dilakukan di 32 negara dengan peserta yang aktif belajar sekitar 62 ribu peserta. Kemudian pola-pola seperti itu saya ubah dengan melibatkan semua pihak.
Kementerian Perdagangan, misalnya, ketika akan mengeskpor barang Indonesia, baik produk makanan, tekstil, dan komoditas lainnya, dalam deskripsi yang menyertai produk itu bisa dituliskan bahasa Indonesia. Kalau ada pertanyaan, mereka tidak akan mengerti? Bagaimana orang asing bisa mengerti, kalau tidak kita pajang dulu, kita tulis dulu dengan bahasa Indonesia. Mereka paling tidak tahu dulu, melihat dan membaca dulu, walaupun tidak mengerti, sehingga nanti tertarik.
Kemudian, misalnya, Kementerian Pertahanan. Mereka punya atase militer, memberikan pelatihan/pendidikan dalam bahasa Indonesia, kita kerja sama semuanya, termasuk di olahraga, pariwisata dan seterusnya.

Respon mereka (kementerian, lembaga, perwakilan Indonesia di luar negeri, dll) terhadap Lingua Franca Plus itu seperti apa?
Setelah diperkenalkan konsep tersebut, mereka menjadi sadar, kalau mereka juga bisa menginternasionalkan bahasa Indonesia. Meski tidak menjadi syarat yang mutlak, paling tidak menggunakan bahasa Indonesia. Saat ini, agar lebih utuh, kami sedang membuat konsepnya. Konsep ini kami kembangkan sejak 2021 akhir.
Minggu depan, kami akan diskusi tentang ini, membahas naskah akademik tentang peta jalan (road map). Siapa bertanggungjawab apa, bagaimana melakukannya, kemudian kita buat target lini masanya. Kalau kita targetkan sampai 2045, Indonesia Emas. Saya juga ingin Badan Bahasa berkontribusi terhadap Indonesia Emas ini. Itu yang kita sebut sebagai internasionalisasi bahasa Indonesia.
Nah, selain bicara konsep, juga berbicara praktik/implementasi, dan kebutulan saya mantan atase pendidikan, saya dekati Kementerian Luar Negeri agar penyebaran bahasa Indonesia di perwakilan-perwakilan ini juga masif. Dan alhamdulillah, responnya juga sangat positif. Lalu menyediakan forum kepada para kepala perwakilan, untuk bertanya dan fasilitas apa yang bisa kita berikan untuk pengajaran BIPA. Karena zonasi waktunya berbeda-beda, kami tiga kali melakukan sosialisasi kepada kepala perwakilan.
Sekarang ini, pembelajaran bahasa Indonesia ada tambahan 18 negara, jadi totalnya bahasa Indonesia sudah diajarkan di 50 negara. Catatan kami sekarang, setelah bekerjasama dengan Kemlu, dengan diaspora-diaspora Indonesia dengan mitra-mitra di luar negeri yang ada di perguruan tinggi, pusat-pusat riset dan masyarakat. Sekarang program yang ada di 50 negara ini didukung 428 mitra.
Pembelajarnya naik drastis, dari 62 ribu yang dicatat selama 2015 – 2020. Ketika saya perkenalkan konsep ini yang tercatat aktif sebagai pembelajar 143 ribu di 50 negara dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun.
Apa yang membuat mereka tertarik belajar bahasa Indonesia?
Salah satunya dampak dari pandemi Covid-19. Mereka bosan dan tidak melakukan apa-apa, maka mereka tertarik dengan program yang kami tawarkan ini. Dengan media pembelajaran secara daring memungkinkan antar negara, antar wilayah untuk saling belajar. Misalnya gurunya dari Jerman, pesertanya bisa dari Jerman, Swis, Belanda, dll. Demikian juga dengan di Timur Tengah pusatnya di Dubai, tapi pesertanya dari berbagai negara Arab. Ini hikmah dari pandemi.
Data Pribadi
Nama Lengkap : E. AMINUDIN AZIZ
Tempat dan Tanggal Lahir : Ciamis, 16 November 1967
Pekerjaan :
– Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia
– Guru Besar (Linguistik), Departemen Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia
Pendidikan
2004-2005 : Research Fellow, Institute of Sociology, Shanghai Academy of Social Sciences
1997-2000 : PhD, Dept. of Linguistics, Monash University, Australia
1994-1996 : Master of Arts, Dept. of Linguistics, Monash University, Australia
1989-1991 : S1 (undergraduate), Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia
1989-1991 : Teaching Diploma IV, Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia
1988-1989 : Diploma III/Teaching Diploma III, Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia
1986-1988 : Diploma II/Teaching Diploma II, Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia
Pengalaman Pekerjaan/ Profesional
2020 (Mei) – skrg: Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia
2016-2020 : Atase Pendidikan dan Kebudayaan, KBRI London
2014-2015 : Wakil Rektor Bidang Akademik, Pengembangan, dan Hubungan Internasional, UPI
2010-2014 : Pembantu Rektor Bidang Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan UPI
2010 – 2011 : Kepala, Pusat Bahasa, Kemdiknas, Jakarta.
2009-2015 : Anggota Senat Akademik, UPI
2008-2010 : Direktur, Direktorat Perencanaan dan Pengembangan UPI
Prestasi
2019 : Education Attaché of the Year 2019 (among All London-Based Foreign Diplomatic Representatives)
2012 : Penerima Satya Lencana Karya Setya, 20 tahun dari Presiden RI
2009 : Delegasi Indonesia ke The Fifth Asia Pacific Interfaith Dialogue among Faith Leaders, Perth, Australia, 28-30 Oct 2009.
2007 : Penerima Satya Lencana Karya Setya, 15 Tahun dari Presiden RI
2005 : Finalis (dan akhirnya jadi pemenang ke-9), Dosen Teladan Nasional
2005 : Dosen Teladan, Universitas Pendidikan Indonesia
2004 : Penerima hibah, Riset Fundamental, Ditjen Dikti, Kemdiknas (Anggota)
2004 : Finalis Projek Penelitian di bawah SEASREP Program (Southeast Asian Studies Regional Exchange Program), The SEASREP Council kerja sama dengan The Toyota Foundation dan The Japan Foundation Asia Center
Buku
- Introduction to Linguistics. Modul Belajar Mahasiswa Universitas Terbuka (Ditulis bersama Wachyu Sundayana). 1994.
- Semantics. Modul Belajar Mahasiswa Universitas Terbuka (Ditulis bersama Wachyu Sundayana). 1997.
- Ringkasan Materi dan Aktivitas Siswa. Mata Pelajaran Bahasa Inggris untuk SMP berdasarkan Kurikulum 1994. PT Andira Bandung. (Ditulis bersama Iwa Lukmana, Dadang Sudana, and Deddy Suryana).
- Culture-Based English for College Students. Bandung: Grasindo. (Ditulis bersama Dadang Sudana and R. Safrina). 2003.
- English Reading Comprehension for Students of Economics (editor). Bandung: P2U LPPM Unisba. 2003.
- Proceedings of the 4th Comparative Education Society of Asia (CESA) Biennial Conference. Bandung: UPI Press. (Co-edited with Moh. Fakry Gaffar, S.Hamid Hasan, and Iwa Lukmana). 2004.