Serupa lembaga-lembaga negara lainnya, Dewan Pers juga mempunyai tugas dan peranan sangat penting dalam menegakkan, menjaga dan melindungi kemerdekaan pers seiring lahirnya Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang menandai era peralihan jaman Orde Baru ke Orde Reformasi.
Eksistensi Dewan Pers sesuai Undang-Undang Pers dinyatakan, Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen (Pasal 15 ayat 1).
Lantas, seperti apa eksistensi, tugas dan peran penting Dewan Pers itu, jurnalis penaberita.id, Lukman Ajis Salendra berkesempatan mewawancara Wakil Ketua Dewan Pers Periode 2019-2022, Hendry Ch Bangun (HCB) pada Rabu (5/1/2022) di Kantor Dewan Pers, Jln. Kebon Sirih 34, Jakarta Pusat. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana menurut Anda terkait tugas dan peran Dewan Pers?
Dewan Pers itu kan dibentuk oleh Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Di
Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Pers tersebut dijelaskan fungsi Dewan Pers untuk melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; dan mendata perusahaan pers.
Jadi yang pertama yang paling utama adalah melindungi kemerdekaan pers. Karena kemerdekaan pers itu nanti mengacu kepada Undang-Undang Dasar yang menjamin kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan untuk mengetahui informasi, dan kemerdekaan berekspresi. Kemudian ada hal-hal yang lain bersama organisasi-organisasi membuat aturan-aturan. Jadi aturan itu dibuat oleh masyarakat pers. Dewan pers hanya mengkoordinir. Jadi kita ini nggak membuat aturan. Tapi mengelola. Teman-teman organisasi ini dan masyarakat pers menyatakan pendapat oke kita bikin begini. Oke semua setuju, setuju. Dewan Pers itu nyetempel, kira-kira begitu. Jadi bukan memaksakan.
Dewan pers juga kan bertugas meningkatkan kualitas. Kualitas itu macam-macam caranya. Bikin pelatihan, bikin seminar-seminar. Seperti sekarang ini kan era disrupsi media kan. Kita bikin diskusi rutin. Kemudian Dewan Pers memediasi apabila ada pihak-pihak atau masyarakat bersengketa dengan pers. Karena apa? Ya kita ingin semua persoalan pers itu diselesaikan sesuai Undang-Undang Pers, bukan Undang-Undang lain semisal ITE, KUHP, Pornografi, Hak Cipta dan segala macam. Oleh karena itu kita menerima pengaduan. Tahun 2021 saja ada sekitar 800 lebih pengaduan. Bayangkan coba! Itu tandanya masyarakat mulai menyadari Undang-Undang Pers. Oh kalau ada apa-apa mengadunya ke Dewan Pers. Itu antara lain. Kemudian ada juga mendata perusahaan pers. Data ini maksudnya supaya masyarakat tahu. Mana media yang menjalankan semua perintah Undang-Undang dan aturan-aturan yang dibuat oleh masyarakat pers itu sendiri. Itulah nanti yang disebut wujudnya verifikasi. Jadi itulah tugas Dewan Pers. Supaya, intinya kan Unang-Undang Pers dulu dibuat supaya masyarakat pers menyusun sendiri aturan bagi dirinya. Beda dengan jaman Orde Baru. Pemerintah yang ngatur harus begini-begini. Sekarang nggak. Unang-Undang pers sekarang ini namanya swaregulasi. Aturlah diri kalian sendiri. Yang bilang begini boleh ya jalankan. Kalau dilarang, jangan dilakukan. Kemudian diatur juga kalaupun masyarakat merasa tidak suka dia memperoleh itu ya ada Hak Jawab, sehingga pers ini menjadi arena dialog kita bersama.
Bagaimana upaya Dewan Pers dalam memperkuat jalinan kerjasama dengan lembaga lain?
Dewan pers itu banyak sekali kerjasama dengan lembaga. Tapi umumnya terkait dengan kepentingan pers. Misalnya kan kami sudah ada MoU (Memorandum of Understanding) dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan. ini kan terkait dengan penuntutan-penuntutan. Lalu kita juga meminta Mahkamah Agung membuat syarat edaran agar kalau ada kasus-kasus itu hakim misalnya ketika membuka sidang itu memulai dengan mediasi. Kemudian kepada hakim diminta untuk menghadirkan ahli pers sehingga nanti hakim mengambil keputusan, jelas dia. Terkadang kalau tidak ada ahli pers-nya pengambilan keputusan ya sesuai dengan wawasan dia saja.
Sekarang itu umumnya kasus-kasus itu hakim mendatangkan ahli pers. Itu penting. Untuk menjernihkan ya toh. MoU dengan LPSK sehingga apabila ada wartawan-wartawan atau narasumber yang merasa terancam merasa dilindungi. Kita juga ada MoU dengan KOMPOLNAS, MoU dengan BNPT. Kerjasama kita ya umumnya dengan lembaga-lembaga yang nanti bisa membantu pers. Dengan perguruan tinggi (PT) juga kita punya tapi belum efektif ya. Waktu itu misalnya ada PT yang bersedia memberikan beasiswa kepada wartawan untuk masuk S2. Gratis.
Bagaimana cara mendaftarkan media di Dewan Pers?
Itu gampang sekali. Buka website dewanpers.or.id. Di situ ada pendataan. Nanti ada step stepnya, langkah-langkahnya. Jadi misalnya pertama kita bikin akun dulu, pakai email, ada kata kuncinya. Lalu masukan akun itu, maka sudah mulai masuk ke databasenya Dewan Persnya. Apa saja tuh syaratnya, di antaranya perusahaan pers itu harus berbadan hukum khusus pers, jadi benar-benar perusahaan tersebut khusus untuk menyelenggarakan misalnya tv, radio, media cetak, online, harus jelas. Jangan sampai persnya ini bagian kecil. Jangan dicampur dengan perdagangan, ekspor, impor, firma hukum lainnya. Misalnya kita mau bikin penerbangan kan khusus penerbangan. Bikin restoran masa sih campur dengan pers. Dan nanti bingung. Setiap bidang usaha ada ketentuan-ketentuannya.
Penanggungjawabnya harus wartawan utama. Kenapa wartawan utama, karena pers ini kan bisnisnya ini berlandaskan etik. Jangan sampai banyak kejadian sekarang, bikin berita asal goblek saja, sembrono, cari sensasi, klickbait, milih kata-katanya tuh kadang-kadang tidak sesuai norma-norma kita. Di kode etik ada itu.
Bagaimana dukungan Dewan Pers terkait Hari Pers Nasional (HPN) yang akan digelar di Kendari tahun ini?
Dewan Pers selalu mendukung kegiatan-kegiatan pers. HPN ini tempat bertemunya masyarakat pers. Sehingga kita mensupport acara acara khususnya yang namanya konvensi nasional. Nanti di situ dibahas di antaranya Dewan Pers sudah memasukan draft ke MENKOPOLHUKHAM dan KOMINFO terkait konsep apa yang namanya Junalisme Berkelanjutan dan hak-hak penerbit. Artinya begini, kita sudah mengajukan peraturan bagaimana supaya media massa yang mencari berita dengan baik, yang menggaji wartawan, menyewa kantor untuk segala operasional tetap bisa hidup. Caranya apa supaya dapat pemasukan kalau berita-berita mereka dikutip oleh news aggregator, facebook, yahoo, google, youtube, dll.
Sederhananya seperti royalty hak cipta lagu kan kalau lagu dinyanyikan di kafe, tempat karoke. Itu aturan yang kira-kira sudah diajukan Dewan Pers dan berharap itu dikonvensikan di Kendari yang hasilnya diserahkan ke Presiden supaya ada percepatan peraturan. Apa bentuknya bisa saja Kepres, Perpu. Layak ko ini media sudah mati semua. Ini sudah darurat. Layak dia menjadi peraturan darurat yakni Perpu. Itulah partisipasi Dewan Pers di HPN nanti. Tentu kita juga akan bikin kegiatan katakanlah diseminasi mengenai Undang-Undang Pers, kode etik, bagaimana caranya mengadu, supaya peserta HPN bisa tahu.
Terkait orang per orang atau kelompok yang menggugat Dewan Dewan Pers, tanggapan Anda?
Ada upaya mempersoalkan aturan-aturan Dewan Pers yang sebetulnya aturan tersebut dibuat oleh masyarakat pers sendiri. Misalnya, mengenai Uji Kompetensi Wartawan (UKW). UKW ini kan mulai Tahun 2010. Seluruh atau sebagian besar media mainstream di Indonesia meminta kepada Dewan Pers untuk membuat apa namanya Uji Kompetensi. Mengapa? Karena banyak sekali yang mengaku wartawan tetapi ngukur kompetensinya kan susah. Saya sudah 20 tahun menjadi wartawan misalnya kan kalau 20 tahun dia jadi koresponden belum tentu jadi apa-apa. Bikin berita Cuma sebulan sekali. Nah karena perintah tersebut, Dewan Pers mengajak masyarakat pers, organisasi-organisasi, perguruan tinggi, media, wartawan-wartawan yang berpengalaman untuk rembuk. Pertama-tama kan materinya dulu untuk tingkat Muda, Madya, Utama, kemudian nanti lembaganya siapa yang berhak . Lalu dibikin semacam Babon.
Babon ini menjadi inti, misalnya PWI nambahi, AJI nambahi, IJTI nambahi, foto, radio. Jadi berkembang terus. Sehingga ini kita tahu professional apa nggaknya. Kalau pewarta foto itu profesional itu artinya sederhananya kita mungkin kalau bikin foto gak kabur misalnya kan. Angle-nya sesuai. Untuk wartawan televisi misalnya disebut kompeten kalau wartawan Muda dia sudah bisa mengambil gambar dan menulis serta menyiarkannya sesuai standar. Kalau cetak kan hanya membuat menulis berita dia dianggap kompeten. Kalau televisi dia ngambil gambarnya, menuliskannya, lalu membacakannya depan kamera. Nah ini kan standar gitu lho. Nah ini yang digugat, makanya kita bingung. Lalu mereka bikinlah standar-standar lain yang nggak memenuhi standar untuk menjadi wartawan profesional.
Ya cukup dia bisa menulis saja. Dia cukup bisa wawancara saja. Nahkalau kita kan bikin buku induk yang lalu ditambahi masing-masing sesuai perkembangan jaman juga. Jadi Dewan Pers ini selalu bersama masyarakat pers ayo kalau ada perkembangan kita bahas lagi. Wartawan kita itu minimal punya standar yang bisa diakui internasional. Kita ini ingin wartawan tidak hanya jadi ecek-ecek. Harus punya aturan. Kalau itu dibilang ketat ya memang. Ini yang mau diperlemah. Kan aneh. Undang-Undang mengatakan siapa pun boleh menjadi wartawan tapi masyarakat pers sendiri harus punya aturan mengenai ini, agar benar.
Peran Pers menjelang Tahun Politik seperti apa?
Pertama harus jujur diakui peran pers bakal berkurang. Iya kan. Sekarang orang itu lebih baik mainnya di media sosial. Media sosial itu satu lebih murah dan kedua lebih jelas sasarannya. Milenial misalnya, dia tinggal pilih saja. Siapa nih influencer yang cocok. Umur pemilih 18 sampai 25, siapa yang 30 sampai 40 kan jelas siapa influencer-nya. Kalau kita di pers harus disadari bahwa berkurang pengaruhnya. Tetapi tentu masih ada-lah ya. Terutama media media besar. Meskipun saya sendiri sudah ragu. Berapa persen nih. Mungkin nanti media sosial 70, media mainstream 30. Nah terhadap media-media mainstream ini juga masyarakat ini mulai jenuh karena apa, keberpihakannya gak jelas.
Orang tahu seharusnya media menjaga kode etik, tapi ini malah banyak dilanggar-langgar. Misalnya. Jadi maksud sayakode etik jurnalistik itu yang mestinya tetap keukeuh dipertahankan media. Kalau nggak dia makin terpuruk. Jadi menjaga reputasi sangat penting. Jangan main-main dengan reputasi, dengan nama baik. Kemudian, kita harap itu konten media masa itu sifatnya itu menjelaskan, mendudukan persoalan nggak usah ragu-ragu menulis hal buruk hal negatif karena itu nggak dilarang. Yang nggak boleh kan black-campaign. Kalau kita menyajikan data-data dia misalnya pernah masuk penjara, dia pernah diduga berselingkuh, itu kan fakta. Sejauh sudah menjadi fakta hukum. Nah sekarang ini yang terjadi banyak media ini sama sekali tak menyinggung hal itu, takut. Lalu dia akan kalah dengan media sosial. Menjaga reputasi lalu membuat konten yang sifatnya indepth, menjelaskan. Tantangan secara terus-menerus, persaingan dengan media sosial, persaingan dengan kemajuan teknologi.
Bagaimana pengalaman Anda awal mula menjadi wartawan?
Saya ini wartawan Kompas, sudah pensiun akhir tahun 2018. Sebelum itu saya pernah menjadi wartawan SPORTIF, kurang lebih selama 2,5 Tahun. Waktu itu saya masih kuliah. Pertama- tama saya masuk sebagai editor, karena saya ini sarjana bahasa dan Indonesia. Tugas saya sebetulnya menyunting. Lama-lama disuruh meliput. Saya juga kan sebetulnya asisten dosen di Universitas Indonesia (UI) dan mengajar di sejumlah perguruan tinggi swasta di Jayabaya, STIE Perbanas di Kuningan dulu. Saya mengajar bahasa Indonesia di sana. Sambil saya menjadi asisten dosen di fakultas sastra UI di Rawamangun ketika itu. Cuma memang ya waktu itu dengan kondisi susah, sementara itu proses menjadi PNS itu antriannya lama bisa 6 tahun bisa 10 tahun. Dan karena saya aktifis waktu dulu itu saya di blacklist jaman menterinya Daud Yusuf. Ada teman bapaknya kerja di sana. Dia bilang wah ada nama lu nggak mungkin jadi PNS lu. Waduh diblacklist karena saya kan ketua senat, sering demo segala macam. Ya sudah akhirnya keinginan menjadi pegawai negeri nggak jadi walaupun sudah asisten dosen. Setelah di majalah SPORTIF itu lalu melamar ke Kompas. Tapi sebenarnya saya melamar ke LIPI, karena waktu itu kan LIPI meskipun lembaga negeri tapi independen-lah. Nah kebetulan tanggal dan ujiannya sama dengan tes masuk Kompas. Jadi itu ujian kira-kira tahun 1984 bulan juli. Satu di Kompas satu di LIPI. Padahal untuk di LIPI tuh saya sudah minta rekomendasi Sapardi Djoko Damono, dia kasih rekomendasi. Ah saya bimbang nih, orang tua bilang sudah di LIPI saja. Dulu kan pegawai negeri berharga. Sudahlah Kompas saja, kata istri saya. Sudahlah pada akhirnya saya ikut ujian di Kompas. Mulai jam 8 pagi sampai sore, sama kan dengan tes di LIPI. Persis sama hari dan jam mulainya juga jam 8 pagi. Saya ujian di Kompas. Padahal kalau di LIPI saya lebih yakin di LIPI karena dapat rekomendasi dan beberapa senior saya di LIPI. Ya sudah begitu saya ikuti tes masuk di Kompas, ada 156 peserta. Dicari Cuma 10. Waduh ada insinyur, sarjana gigi, sarjana hukum. Saya sarjana sastra. Ya sudah ikut saja ujian di kompas. Tes psikologi, bahasa Indonesia. Lalu tes mendengarkan berita dalam bahasa Inggris lalu kita tulis menerjemahkan. Tapi harus berbentuk berita. Nah karena saya sudah pengalaman di majalah SPORTIF jadi sudah bisa menulis berita.
Tahu-tahunya ujiannya sampai sore dan pengumumannya di harian kompas. Bulan September atau apa bulan oktober ya. Jadi dulu begitu. Pengumumannya lihat di Koran tanggal dan harinya telah ditentukan. Begitu hari tiba waktunya, saya lihat wah ada nama saya, masuk 20 besar. Saya senang. Akhirnya tes wawancara. Saya dihadapkan dengan senior senior ada Pak Widiodo, Pak Indrawan, top-top lah mereka. Ditanya semua, termasuk soal amplop. Kamu pernah terima amplop, ya pernah. Dia bilang nanti kalau sudah masuk Kompas jangan itu. Saya bilang: Siap Pak. Saya kan di majalah SPORTIF itu tidak ada larangan. Artinya saya nggak ngerti kan. Ini kode etik. Ini nggak boleh. Lalu ya sudah saya tunggu panggilan. Ya akhirnya dipanggil.
Saya mulai sebetulnya diumumkan tanggal 1 desember 1984, tapi saya datang 2 hari sebelumnya. Mau melihat-lihat langsung disuruh meliput. Bingung saya harus menulis inisial. Ya sudah saya tulis HCB. Sejak itu bekerja, tetapi sambil ada pelatihan selama 6 bulan. Pelatihan di kelas lalu meliput, pelatihan lalu liputan begitu selama 6 bulan. Resminya diterima menjadi wartawan pada bulan Juni.
