BICARA kebudayaan, itu artinya berbicara soal kehidupan yang kompleks. Sebab kebudayaan tersebut merupakan “ibu kandung” dari kehidupan, mulai dari kehidupan ekonomi, hukum, politik, industri, sosial, kesehatan dan hal-hal lainnya yang saling beririsan dan kompleks. Untuk itu dibutuhkan program kerja yang tepat guna dan bisa menjangkau hal-hal itu dari hulu ke hilir secara konsisten dan berkebelanjutan.
Jika demikian, persoalan kebudayaan tidak hanya urusan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendibudristek) dalam hal ini bidang pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan semata, tapi direktorat ini harus secara konsisten menjalin hubungan kerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait. Hal itu dilakukan agar dalam prosesnya bisa seiring sejalan serta apa yang menjadi target capaian dan harapan bisa diraih tepat waktu. Yang paling penting, kesenian dan kebudayaan tidak hanya lestari, tapi para pelaku seni budaya ini bisa hidup dari kesenian dan kebudayaan dan lebih sejahtera.
Menyoal hal itu, jurnalis penaberita.id, Frans P berkesempatan bercakap-cakap langsung dengan Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Kemdibudristek, Irini Dewi Wanti. Berikut isi percakapannya.
Apa saja Program kerja 2023 Direktoran Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan atawa PPK ini?
Saya baru di direktorat ini, meskipun demikian, ketika dua tahun lalu saya sebagai Kepala UPT Balai Pelestarian Nilai Budaya yang sekarang namanya menjadi Balai Pelsetarian Kebudayaan, saya cukup familiar dengan beberapa program kerja di Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan. Ada beberapa event yang dilaksanakan Direktorat PPK ini juga dilaksanakan di UPT, seperti program Jalur Rempah.
Yang jelasnya Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan ini penekanannya sesuai dengan Permendikbud Ristek tentang Direktorat PPK yang memunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan berupa cagar budaya dan objek pemajuan kebudayaan. Berangkat dari tugas dan fungsinya itu, maka banyak turunan program yang terkait dalam menyiapkan berbagai kebijakan.
Selain itu kita juga menyiapkan beberapa event, misalnya aturan/pedoman yang untuk dilaksanakan, walaupun di dalam event ini sendiri untuk menjawab tujuh (7) agenda strategis kebudayaan. Yang jelas, kalau bicara mengenai pengembangan, itu dari hulu ke hilir, yakni ekosistem kebudayaan. Contoh, objek pemajuan kebudayaan berupa seni tari. Mulai dari alat musik, kostum, guru, maestro, yang membuat kostumnya dan semua material yang akan ditampilkan.
Contoh lainnya?
Contoh lainnya, Noken. Yang kita urus bukan hanya nokennya, melainkan jika bicara mengenai pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan, kita urus dari hulunya. Yakni, ketika kita mau mengembangkan kerajinan Noken, ada tidak bahan bakunya, pohon atawa tumbuhan untuk kerajinan Noken ini apakah masih tersedia. Maka, di hulunya ini harus dikuatkan. Oleh sebab itu kita harus bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan atawa Pertanian atawa Pemda setempat yang bisa melakukan pendampingan atawa fasilitasi dalam pembudidayaan tanaman bahan baku Noken ini.
Kemudian kita ambil bagian pada pengeuatan ekosistem dengan tetap menjaga pelaku, maestro, filosofi dari Noken, pembuat kerajinan Noken dan seterusnya. Jadi, Noken itu bukan hanya sebagai sebuah tempat, sebuah wadah, tapi memiliki filosofi kerja keras, kejujuran dan filosofi lainnya harus hidup. Sedangkan pengembangan kerajinannya dalam konteks peruntukannya. Contoh, untuk mengangkat sayuran, ternak, gendong bayi. Namun untuk konteks wisata bisa dikembangkan desainnya, ukurannya bisa dibuat lebih kecil lagi. Selain itu, di bagian hilir atawa pemasarannya bisa bekerjasama dengan UMKM dan sebagainya.
Sebenarnya, kita di sini lebih pada penguatan ekosistem yang bekerja tidak sendirian, namun harus saling bekerjasama. Inilah yang disebut harus menyiapkan pedoman, kebijakan dan lain sebagainya. Misalnya, mengenai aturan dan pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan atawa cagar budaya.
Untuk pemanfaatan bagaimana?
Pemanfaatannya sendiri bukan hanya ditampilkan dan selesai. Tapi justru bagaimana produk kesenian, kerajinan dan lain sebagainya itu bisa mendorong agar terus bertumbuh dan berkembang dengan cara memberikan manfaat yang seluas-luasnya. Salah satunya dengan penguatan identitas dengan cara melibatkan pemangku kepentingan yang ada di daerah alias Pemda. Caranya, jika dibidang pendidikan, memasukan dalam kurikulum muatan lokal agar peserta didik bisa mempelajari kerajinan, musik tradisional, tari dan produk-produk kesenian lainnya. Misalnya membuat aturan-aturan pada hari-hari tertentu memakai tenun dan aturan-aturan lainnya dalam mendukung bagian pemanfaatannya. Jadi tidak berhenti pada penguatan saja, tapi juga dilanjutkan dengan terus mendorong bagian pemanfaatannya agar ekosistemnya bisa berjalan dengan lancar.jadi, pengembangan harus beriringan dengan pemanfaatan.

Kalau pemanfaatan dibidang cagar budaya bagaimana?
Apakah cagar budaya itu hanya untuk dilihat, dikunjungi, selfie-selfie setelah itu selesai. Justru, ketika kita bicara tentang pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya kita tidak terlepas dari konteks pelestarian itu sendiri. Dalam hal bicara tentang konteks keberlanjutan. Untuk itu, ketika dilakuakn pemanfaatan, pengembangannya juga harus dipikirkan dengan cara penguatan ekosistem di sekitar cagar budaya.misalnya pemanfaatan masyarakat di sekitar cagar budaya dengan cara menghidupkan ekosistem warisan budaya tak benda (WBTB) pada masyarakat di kawasan cagar budaya tersebut.
Seperti melakukan kajian tentang apa saja yang dilakukan oleh masyarakat dalam menguatkan ekosistem dari satu kawasan cagar budaya dengan penguatan Obejek Pemajuan Kebudayaan (OPK)-nya. Misalnya, jika orang atawa wisatawan datang ke kawasan tersebut ada pementasan, seperti tarian atawa apapun yang terkait dengan hal yang mendukung cagar budaya ini. Selain itu ada produk kerajinan yang harus dihidupkan, ada kuliner yang harus disuguhkan. Intinya, kalau ada satu cagar budaya yang sudah ditetapkan, dan ada wisatawan yang datang ke sana, sebaiknya kuliner yang disajikan harus kuliner lokal. Agar wisatawan bisa lebih dekat dengan cagar budaya tersebut, kemudian masyarakatnya melakukan penguatan identitasnya.
Kalau Borobudur bagaimana?
Kita menghidupkan ekosistem kebudayaan melalui penguatan OPK-nya melalui berbagai kegiatan. Dengan kata lain, ketika wisatawan datang ke Candi Borobudur, tidak hanya naik dan berselfie di candi saja, tapi menyiapkan berbagai macam aktivitas aktraksi budaya, pertunjukan tari, produk-produk kerajinan dan lain sebagainya. Konkritnya, desa-desa yang ada di sekitar Borobudur menampilkan berbagai macam pertunjukan kesenian, kuliner dan kerajinan lokal. Misalnya, ada suatu desa yang ada di sekitar Borobudur yang bisa memberikan edukasi kepada masyarakat wisatawan tentang membuat gula aren, belajar membuat tahu termasuk kegiatan-kegiatan pertanian masyarakat Borobudur. Kemudian belajar kesenian tentang relief-relief yang ada di Borobudur. Dengan demikian wisatawan datang ke Borobudur tidak hanya untuk naik ke candi kemudian berselfi dan pulang. Melainkan, memberikan tontonan dan tuntunan kepada masyarakat wisatawan. Terkait hal ini tidak hanya dilakukan oleh Dirjen Kebudayaan, tapi dilakukan secara gotong royong.
Apa target dari program Jalur Rempah ini?
Salah satunya jalur rempah. Program ini berbicara tentang identitas, ketersambungan sejarah, sehingga kita harus memunyai narasi yang lengkap. Oleh sebab itu, kita harus menumbuhkan kesadaraan masyarakat sehingga bisa tergerak melakukan pelestarian kebudayaan. Kalau bicara program ini artinya kita bicara mengenai ketersambungan dan narasi besar tentang sejarah di nusantara, baik dari aspek rempahnya, akulturasi, adanya hubungan antarbangsa, hubungan masyarakat antarpulau.
Kedepannya, rencananya kita akan terus menghidupkan jalur rempah sebagai sebuah identitas bangsa Indonesia, yang pada dasarnya maritim. Kemudian terkait juga, perdagangan, akulturasi budaya dan di tahun 2024 kita ingin jalur rempah ini bisa dinominasikan sebagai salah satu jalur budaya dunia dari Indonesia. Oleh sebab itu harus dilakukan upaya-upaya penyadaran, pelibatan, dan setelah penetapan ini dari UNESCO tujuannya adalah kesejahteraan.
Untuk itu ditahun ini kita melakukan penguatan festival jalur rempah yang dilakukan oleh daerah-daerah, kabupaten/kota, provinsi dengan terus mengkonsolidasikan semua program terkait jalur rempah. Dan tidak sedikit Pemda yang sadar dan membuat program-program terkait jalur rempah, mulai dari festival, seminar dan lomba-lomba terkait jalur rempah. Namun agar arahnya sama, kita mengawal semua program jalur rempah yang ada di daerah dengan cara melakukan pendampingan, melakukan fasilitasi dan membuat pedoman dengan melakukan focus group discussion (FGD). Dengan demikian, jalur rempah yang kita usulkan ke UNESCO ini memunyai dampak dan manfaat yang luar biasa bagi kehidupan karena memiliki keterkaitan dengan banyak hal, seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan, sejarah, militer dan sebagainya.
Desa Pemajuan Kebudayaan apa bedanya dengan tahun-tahun sebelumnya?
Ya, program Desa Pemajuan Kebudayaan ini akan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Konteksnya temu kenali, pendampingan, pengembangan. Untuk tahun ini, ketika bicara tentang pengembangan tidak bisa dilakukan sendirian, sebab kita punya 74 ribu desa. Sebab ini berkaitan dengan Kemendagri, Kemendes, Pemda, CSR serta kementerian dan lembaga terkait lainnya yang memiliki aktivitas di desa harus dijalin hubungan kerjasamanya.
Oleh sebab itu, kita harus berbagi peran sesuai dengan kapasitas masing-masing. Terkait hal itu, di tahun ini kita membuat penguatan desa lebih kepada para pelaku. Mulai dari kepala desa, penggerak pedesaan, pendamping desa dan orang-orang yang bisa menggerakkan masyarakat desa dalam hal ketahanan budayanya. Kalau kami istilahkan, pendidikan penggerak desa untuk pembangunan keberlanjutan. Jadi, aktivitasnya lebih kepada menyiapkan pedoman, orang-orang yang akan menjadi narasumber, fasilitator tentang betapa pentingnya program kebudayaan itu bisa berlangsung di desa.
Sebab desa merupakan dasar dari kebudayaan. Lahir, tumbuh dan berkembangnya budaya itu dari desa. Sehingga nilai-nilai gotong royong bisa tumbuh kembali, bahasa lokal hidup, nilai-nilai lokal juga hidup, musyawarah, kebersamaan terus terasa, dan seterusnya, dan kita tidak didominasi oleh bahasa tiktok lagi dan orang tidak asyik sendiri. Inilah yang menjadi target dari kita untuk para pendamping desa yang tidak hanya diciptakan, tapi memberdayakan atawa menguatkan yang tidak hanya pada petugas administrasi, melainkan bisa merubahcara berbikir. Sebab akar kebudayaan kita itu dari desa. Kearifan tentang masyarakat desa dalam hal menjaga lingkungan, hubungan dengan masyarakat yang ingin terus dihidupkan kembali.

Bagaimana cara kita menjaga ketahanan budaya ini agar tetap berlanjut, khususnya di Jakarta?
Strateginya kita harus benar-benar menguatkan ekosistem dalam menjaga ketahanan budaya dengan membuat ikatan dan berkelanjutan mulai dari kelurahann, kecamatan, kota untuk menghidupkan sanggar-sanggar kesenian, termasuk kesenian tradisional. Dengan kata lain, maestronya tetap ada untuk transfer pengetahuan kepada para pelakunya yang didominasi oleh anak-anak muda. Sehingga harus tetap dinamis, tidak kaku. Sebab anak muda sekarang cukup kreatif.
Misalnya kalau misalnya mereka sebagai pegiat media sosial (medsos) juga harus dimasukkan hal-hal yang positif tertuama unsur-unsur budaya dengan cara yang kreatif dan edukatif. Sanggar-sanggar ini bisa berkolaborasi dengan pegiat medsos dengan media untuk mempublikasikan dalam konteks pengembangan. Ini bagian dari strategi untuk terus menghidupkan, bahwa nantinya kota ini tidak akan pernah mati dengan aktivitas kebudayaannya. Karena pelaku dan cara berpikirnya yang dihidupkan.
Warisan budaya tak benda kita ada 1728, dan baru ditetapkan 12. Apa untungnya dari penetapan warisan budaya tak benda Indonesia menjadi warisan budaya tak benda dunia dari UNESCO ini untuk masyarakat, bangsa dan negara?
Bahwa kita negara-negara yang ada di dunia atawa negara yang ikut merativikasi ini ikut menjamin keberlangsungan dari warisan budaya tak benda tersebut. Untuk itu, ketika WBTB ini ditetapkan sebagai warisan dunia, maka kita harus membangun komitmen dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, komunitasnya terutama karena dasar dari usulan ICH ini adalah komunitas atawa masyarakat.
Kalau menjamin kelestarian atawa keberlanjutan, berarti ada hal yang dilakukan mulai dari workshop, event atawa apapun yang otomatis bisa memberikan kesejahteraan. Misalkan wayang, seniman wayang bisa tampil secara rutin. Contoh lainnya, tari Saman yang sudah ditetapkan, harusnya ada kegiatan-kegiatan yang terkait dengan festival Saman, Pendidikan dan Pelatihan Saman atawa apapun yang terkait dengan dengan Saman. Contoh berikutnya Batik. Desain, motif, industri dan hal-hal lainnya terkait dengan Batik bisa dihidupkan. Hal ini salah satunya bisa kita lihat di event internasional G-20 di Bali kemarin semua kepala negara diberikan Batik dengan berbagai motif. Hal ini menjadi salah satu dampak dari hal-hal yang bisa digerakkan pasca penetapan WBTB UNESCO.
Begitu juga dengan negara lain, juga boleh belajar. Siapapun dan dimanapun bisa dilakukan. Sebab hal ini menjadi salah satu semakan dari konvensi ini, dimana semua orang bisa ikut serta tergerak dalam menjamin keberlangsungannya. Dengan kata lain, semangat konvensi ini harus ada, kalau tidak ada, percuma saja kita menetapkan sebanyak-banyaknya.
Batik sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Selain itu, Batik sebagai sebuah kebutuhan dan gaya hidup sudah berhasil, tapi para pembatik kita belum sejahtera. Malah Batik dari Cina yang lebih laris dan diuntungkan. Hal ini persoalannya di mana?
Ketika kita berbicara tentang produk budaya yang bicara tentang kesejahteraan, itu bukan ranahnya kebudayaan saja. Harusnya kementerian lain juga terlibat, karena ranahnya kebudayaan itu saling beririsan dengan kementerian dan lembaga lainnya. Jadi, satu sama lain saling menguatkan. Ketika nantinya jamu ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu ICH atawa warisan budaya tak benda dunia, maka harus bergerak secara serentak. Karena kedepannya, produk jamu ini bukan hanya urusan kebudayaan tapi bagaimana pemberdayaan para tukang jamu gendong misalnya. Tapi falsafah jamu itu sebagai apa bagi kehidupan masyarakat, itu ranahnya kebudayaan.
Oleh sebab itu, tugasnya kita lebih melakukan fasilitasi dan pendampingan dalam membuat berbagai regulasi dan kebijakan. Salah satunya pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan pada industri, industri besar dan industri asing yang akan kita susun dan buat. Ini menjadi salah satu upaya yang kita lakukan dalam konteks melindungi sekaligus menjamin keberlanjutan. Kedepan, perusahaan asing bisa memanfaatkan, tapi sesuai dan tidak terlepas dari budaya Indonesia. Tidak boleh tercerabut dari budaya Indonesia. Kembali lagi pada persoalan Batik tadi yang lebih laku Batik dari luar negeri. Sebab persoalannya kita tidak paham, apakah itu Batik atawa motifnya saja? Konteks Batik dalam industri besar, boleh, tapi harus menjelaskan desain atawa apapun terkait Batik itu.

Tahun ini dari 12 akan bertambah berapa WBTB ditetapkan oleh UNESCO?
Jamu, reok, tempe, tenun dan untuk multi nasional itu adalah kebaya. Untuk tahun 2023 ini hanya jamu. Sebab dua tahun hanya satu.
Siklus penetapannya kenapa begitu panjang?
Mekanisme penetapannya sudah ada siklus rencana kerja tahunan dari Sekretariat ICH UNESCO. Itu diberlakukan pada setiap negara untuk single nomination. Misalnya, kemarin sudah dapat gamelan di tahun 2021. Tapi kita sudah bisa berproses untuk penominasian tentang apa yang kita usulkan. Tahun 2022 kita mengusulkan berkas atawa dokumen jamu, harus kita usulkan paling lambat pada 31 Maret 2022 lalu, di bulan Juni dari sekretariat menyampaikan kalau berkas sudah diterima, namun masih ada beberapa pertanyaan yang harus dijelaskan. Balasan kita ditunggu pada September 2022.
Karena ada 198 negara yang merativikasi konvensi ini dan skretariat ICH punya keterbatasan. Kemudian pada November 2022 sudah diterima dan diberikan jawaban akan diproses. Kemudian Maret 2023 mereka melakukan sidang pertama, yakni memferivikasi kembali. Kadang-kadang ada hal yang kecil yang perlu diverikasi kepada komunitas, pemeritah daerah dan lain sebagainya, jadi proses dua tahun ini cukup panjang. Sampai nanti Oktober 2023 sidang kedua tahu kabar apakah ditolak atawa diterima. Desember baru pengumuman melalui sidang penetapan.
Biar cepat strateginya bagaimana?
Ada mekanisme yang menjadi penetapan dalam ICH UNESCO selain pengsulan tunggal atawa single nomination, yakni joint nomination dengan negara lain, misalnya Singapura, Malaysia, Afrika Selatan. Karena UNESCO sendiri memberikan pilihan atawa laternatif lain, yaitu multinasional atawa joint nomination di mana tiap-tiap negara dibenarkan setiap tahun dan boleh berapapun. Misalnya, Idnonesia mengusulkan WBTB A dengan Malaysia. Kemudian Indonesia mau menetapkan WBTB B dengan Afrika Selatan, kemudian mau menetapkan WBTB C dengan Cina dan seterusnya, hal itu bisa diproses.
Apakah pengakuan ini menjadi satu-satunya cara untuk pelestarian kebudayaan?
Pengakuan itu bukan satu-satunya cara pelestarian kebudayaan. Kalau mau dikenal oleh negara lain, maka perlu dilakukan peningkatan diplomasi budaya, baik di dalam maupun di luar negeri. Kita ajak para pelaku seni, perguruan tinggi untuk belajar dan datang ke Indonesia, maka kita fasilitasi agar bisa belajar dengan maestro, di sanggar, dan lain sebagainya. Hal ini bisa dilakukan untuk menjaga keberlanjutan, karena semua warga dunia bisa terlibat untuk menjaga keberlanjutan. Ini salah satu yang perlu kita dorong, yakni memperkenalkannya pada warga dunia melalui Diaspora dan melalui berbagai cara. Tanpa perlu penetapan semua negara tahu.
Seberapa optimis semua rencana atawa program kerja ini bisa berjalan di tahun 2023?
Kita harus optimis, karena begitu kita merencanakan suatu program, tentunya strategi ini tidak terlepas dari rencana strategis nasional bahwa target harus terlaksana. Tapi yang paling penting bukan hanya menyelesaikan target. Optimis kita para pelaku seni budaya semakin semangat. Hal itu dapat dilihat dari semangat para pelaku seni budaya dalam kurun waktu belakangan ini. Konten-konten medsos yang terkait dengan budaya sekarang juga semakin banyak.
Artinya, walaupun masih terus dioptimalkan, saya yakin kebudayaan ini sudah punya tempat. Hal itu juga bisa dilihat pada berbagai kegiatan, baik itu yang dilakukan oleh Dirjen Kebudayaan kemudian Pemda bergerak serentak memajukan kebudayaan, otomatis kegiatan-kegiatan kita akan didukung oleh masyarakat, komintas dan Pemda. Tinggal kita mengoptimalkan kolaborasi program dengan lintas kementerian, kemudian mendorong berbagai lembaga, kementerian, swasta dan komunitas untuk bisa saling mendukung, bergotongroyong mensukseskan program-program kebudayaan.
Nama : Irini Dewi Wanti,SS.MSP
Tempat,Tanggal Lahir : Medan, 23 Mei 1971
Pendidikan :
– S1 Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
– S2 Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara
Riwayat Pekerjaan :
– Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (1997-2013)
– Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh-Sumatera Utara (2013-2021)
– Direktur Pelindungan Kebudayaan Ditjenbud Kemendikbudristek (24 Agustus 2021-31 Desember 2022)
– Direktur Pelindungan Kebudayaan Ditjenbud Kemendikbudristek (24 Agustus 2021-31 Desember 2022)
– Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Kemendikbudristek (Januari 2023)
Penelitian/Penulisan/Karya Ilmiah baik sebagai penulis tunggal dan tim
- Kewiraswastaan Masyarakat Aceh Besar (2002)
- Sejarah Industri di Aceh (2003)
- Upacara Menjunjung Duli Pada Kerajaan Deli (2004)
- Barus Sejarah Maritim dan Peninggalannya di Sumatera Utara (2006)
- Sejarah Seni Rupa di Sumatera Utara (2007)
- Seni Dalam Dimensi Sejarah di Sumatera Utara (2008)
- Gerakan Perlawanan Rakyat Terhadap Kolonial Belanda di Aceh Tenggara (2008)
- Banda Aceh dari Masa ke Masa (2011)
- Sejarah Indistri Perfilman di Sumatera Utara (2011)
- Peristiwa Bumi Hangus Pangkalan Berandan (2011)
- Pesta Danau Toba (1979-2010) Tinjauan Terhadap Upaya Mempertahan kan Danau Toba Sebagai Destinasi Unggulan di Sumatera Utara (2012)
- Kearifan Lokal Masyarakat Simalungun di Sumatera Uatar (2013)
- Saman Kesenian Dari Tanah Gayo (2014)
- Budaya Kerja Masyarakat Melayu Labuhan Deli di Kota Medan (2017)
- Suku Bangsa Haloban di Aceh Singkil (2017)
- Solu Bolon: Perahu Tradisional di Danau Toba (2020)