TAK sedikit dari masyarakat Indonesi, termasuk stakeholder lembaga maupun kementerian yang hingga ini waktu yang masih menganggap bahwa kebudayaan itu tak lebih penting dari ekonomi, politik dan hal-hal lainnya karena kebudayaan hanyalah sebatas seni dan hiburan. Bahkan, tak jarang juga yang menilai bahwa kebudayaan itu hanyalah sebatas pengeluaran atawa cost. Bahkan lebih parahnya lagi ada yang mengira kalau kebudayaan itu hanyalah “beban” dari APBN atawa APBD, sehingga dengan penilaian-penilaian keliru tersebut menjadi ragu-ragu bahkan minimal dalam memberikan porsi anggaran untuk kebudayaan.
Padahal, kata Sekretarias Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Fitra Arda, kalau undang-undang telah menyebutkan, bahwa kebudayaan itu adalah investasi. Sehingga, tidak ada pikiran bahwa kebudayaan itu cost. Jadi dalam berinvestasi, seberapapun dikeluarkan anggaran, maka dilakukan dengan senang hati.
Lantas, langkah-langkah seperti apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam memberikan pemahaman dan pencerdasan kepada seluruh lapisan masyarakat, pemangku anggaran dan kebijakan, seperti kementerian dan lembaga terkait kebudayaan sebagai investasi? Dan program kerja apa saja yang perlu dilakukan evaluasi alias penguatan di tahun 2023?
Berikut petikan wawancara jurnalis Penaberita.id, Frans P bersama Sekretarias Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Fitra Arda belum lama ini di ruang kerjanya, Komplek Kemendikbudristek, Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta.
Apa saja program kerja di tahun 2022 dan apa evaluasinya?
Di tahun 2022 ada beberap program strategis kita. Misalnya, Muara Jambi, Desa Pemajuan Kebudayaan, Jalur Rempah, Repatriasi atawa Mengembalikan Barang dari Luar Negeri, kemudian Presisi dan Gerakan Seniman Masuk Sekolah. Alhamdulillah hasil evaluasi eksternal, indeksnya naik. Maksudnya apresiasi masyarakat terhadap kerja yang kita lakukan naik sekitar 1,4 persen. Dan kita lebih tinggi daripada pendidikan. Artinya, banyak program kita yang mulai berdampak dan dirasakan oleh masyarakat. Tapi ada beberapa evaluasi yang harus kita lakukan baik secara mikro maupun makro.

Mikro, bagaimana dengan ketepatan sasaran, penggunaan anggaran, tidak boros, efisien. Kalau makro, program itu sudah tepat dan dirasakan oleh masyarakat. Meskipun sudah bagus, namun ada beberapa yang perlu kita evaluasi.
Program yang sudah bagus, tapi masih perlu dievaluasi itu apa misalnya? Kenapa di evaluasi?
Misalnya, program Desa Pemajuan Kebudayaan dan Program Jalur Rempah. Untuk Jalur Rempah ini perlu dikuatkan bagaimana kesadaran Pemerintah Daerah (Pemda) bahwa rempah ini adalah hal yang dicari bangsa asing ke Indonesia. Itu yang mau kita kedepankan kembali sehingga dia bisa menjadi jalur pertumbuhan ekonomi. Pada umumnya kegiatan itu berjalan dengan baik, hasilnya juga bagus, namun tetap harus ada evaluasi agar kedepannya menjadi lebih baik lagi.
Evaluasi itu diberikan oleh internal dan eksternal. Tentu evaluasi ini menjadi sebuah masukan bagi kita, apakah program kerja yang kita lakukan sudah sesuai atawa tidak. Dari hasil evaluasi inilah kemudian kita akan membuat program berikutnya, yakni untuk tahun 2023 ini.
Program Desa Pemajuan Kebudayaan perlu dievaluasi karena desa ini ranahnya ada di Kementerian Desa. Yang kita perlu bantu adalah subtansinya. Hanya kita perlu mengkordinasikannya dengan teman-teman di Kementerian Desa agar cakupannya luas. Artinya, selama ini kita sudah melakukan koordinasi dengan pihak terkait. Bahkan membuat kesepakatan dengan Kementerian Desa bahwa sebagian dari dana desa itu bisa digunakan untuk kegiatan dan pemajuan kebudayaan. Tidak hanya untuk membangun gorong-gorong, membangun jalan dan seterusnya.
Meski belum banyak desa yang kita sasar, namun kita sebagai “pemantik” saja. Misalnya, desa di sekitar Borobudur. Di sini berperan betul bagaimana desa di kawasan tersebut merasakan kehadiran kita. Hanya, cakupan wilayahnya yang perlu kita perluas. Maka kita perlu menjelaskan kepada Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri, bahwa ini perlu. Soal subtansi kami akan persiapkan, namun kalau mengharapkan dana kami, tidak akan mungkin tercapai, maka yang terpenting adalah kolaborasi.
Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan itu tidak hanya Direktorat Kebudayaan yang bertanggungjawab, semua kementerian dan lembaga karena ekosistem. Sebab, berbicara kebudayaan, yang perlu kita lestarikan atawa majukan ekosistemnya. Analoginya, kalau bicara tarian, tidak hanya orang yang menari saja dilihat. Tapi, alat musiknya, ada pemain musiknya, produksi musiknya, kostumnya, maestronya, digunakan untuk kegaiatan apa, masih dimainkan atawa tidak dan seterusnya.
Kedepan, bagaimana kita mengajak Pemda untuk sama-sama memajukan ditambah dengan naiknya anggaran Dana Abadi Kebudayaan dari 3 triliun rupiah naik menjadi 5 triliun rupiah, dan ini yang akan kita gunakan di tahun 2023. Untuk program kerja di tahun 2023, masih ada Pekan Kebudayaan Nasional (PKN), Kongres Kebudayaan yang terus dilakukan penguatan.
Bukannya respon dari Program Jalur Rempah ini sudah baik, respon pesertanya sangat antusias dan positif?
Nilainya tinggi, di atas 80-an. Yang kita evaluasi dampak dan luas cakupannya. Kemarin baru di Indonesia Timur, nanti ke barat. Apa langkah ke depannya, itu yang menjadi poin evaluasinya. Kita perluaskah sampai ke luar negeri atawa kita cukupkan di Indonesia saja. Ini program publik yang benar-benar berdampak dan dirasakan masyarakat sehingga perlu diperkuat. Jadi yang saya maksud dievaluasi itu, diperkuat.
Termasuk Program Desa Pemajuan Kebudayaan, bahkan diapresiasi oleh Kementerian Desa. Hanya cakupannya perlu diperluas. Untuk Jalur Rempah, kita harapkan, selain Pemda, kementerian dan lembaga lain juga terlibat. Termasuk Kementerian Kesehatan, Pertanian yang memiliki anggaran terkait hal itu. Artinya keterhubungan itu yang perlu kita perkuat. Atawa kita intervensi negara lain, terkait jalur rempah ini. Karena jalur yang dilewati banyak dan saling terhubung.

Bagaimana dengan respon Pemda?
Tidak hanya respon dari Pemda, tapi juga respon dari kementerian dan lembaga lain. Sebab sudah ada aturan tentang strategi kebudayaan. Bagaimana kita melakukan pemajuan kebudayaan dengan tujuh agenda yang disebutkan di sana, termasuk reformasi kelembagaan dan penganggaran dan kelembagaan. Kalau anggaran ya, dana abadi itu, kalau kelembagaan bagaimana kita membuat UPT, nama direktorat berubah untuk mendayung undang-undang itu.
Yang lebih penting lagi, untuk pemajuan kebudayaan itu tidak hanya tanggungjawab kementerian ini. Ada juga Kementerian Pertanian, Kesehatan dan kementerian lainnya yang merancang program yang juga sesuai dengan agenda pemajuan kebudayaan dengan cara berkolaborasi tidak sendiri-sendiri.
Kuncinya ada di kerja sama atawa kolaborasi itu yang kedepannya perlu dikuatkan. Jangan dipandang pada pertunjukan kesenian, namun lebih luas dari hal itu. Sehingga di undang-undang kita disebutkan, bahwa kebudayaan itu adalah investasi. Sehingga, tidak ada pikiran bahwa kebudayaan itu cost. Jadi dalam berinvestasi, seberapapun dikeluarkan anggaran, maka dilakukan dengan senang hati. Karena suatu saat akan kita tuai. Itulah yang dilakukan oleh Korea, Jepang dan negara-negara lainnya. Sehingga pemajuan kebudayaan itu benar-benar dirasakan. Yang kita atur itu bukan budayanya, tapi tatakelolanya. Kita sering mendengar budaya hadir dibidang ekonomi, hukum, nah di sini, negara juga hadir dibidang kebudayaan. Tinggal kita membuat tatakelola yang baik.
Misalnya seperti apa?
Misalnya melaksanakan pameran seperti apa. Komunitas melaksanakan program budaya sesuai dengan tema yang kita buat, diplomasi kebudayaan keluar negeri itu seperti apa. Tinggal kita atur tatakelolanya dan tunjukkan apa yang mau kita angkat sehingga sampai pada tujuan yang diinginkan, yakni ketahanan budaya dan kontribusi kita di dunia internasional. Sebenarnya banyak ide-ide kreatif dari seniman, namun polanya yang kita kelola.
Jadi, kami di kebudayaan menyarankan ke Pemda dalam memberikan bantuan, bahwa perbulan itu tidak diberikan sekian. Melainkan lebih membantu pada programnya. Karena program itu membuat para seniman tetap berkarya. Di sisi lain mereka tetap bisa mempekerjakan stafnya dan seterusnya. Kalau tidak begitu, seniman bisa saja beralih ke profesi lain. Bagi seniman itu yang terpenting karyanya yang berkualitas dan berdampak.
Kedepan tugas kita menyamakan persepsi, bahwa kebudayaan itu tugas negara. Tentu terkait hal itu, kementerian dan lembaga yang terkait sudah, tinggal bagaimana kementerian dan lembaga itu menyusun program-program terkait dengan kebudayaan sesuai dengan subtansi kementerian dan lembaga tersebut.
Contohnya?
Contohnya, kalau Kementerian Pertanian, bagaimana mereka kembali menanam pohon-pohon makanan kita, seperti sagu dan lain sebagainya. Atawa menanam atawa membudidayakan pewarna alami yang digunakan dalam membuat tenun di NTT, digunakan membuat songket di Palembang atawa di Padang.
Tentu tidak hanya sekedar kita sudah bekerjasama, tidak itu, tapi benar-benar masuk pada perencanaan daerahnya. Sebab, Undang Undang Pemajuan Kebudayaan itu mengatakan, bahwa pedoman pemajuan kebudayaan itu ada empat, yakni; pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah kabupaten kota, provinsi, rencana strategis, lalu rencana induk pemajuan kebudayaan. Dan itu harus masuk ke perencanaan daerahnya, sehingga hal ini bisa teranggarkan.

Program kerja 2023 apa saja?
Kalau Kongres Kebudayaan itu kewajiban. Program utamanya Desa Pemajuan Kebudayaan, Jalur Rempah, program strategis lainnya untuk Cagar Budaya, yakni Cagar Budaya Muaro Jambi, Kampus Merdeka di wilayah kebudayaan juga harus diperkuat. Di sisi lain yang perlu kita gagas adalah penguatan para komunitas dengan memanfaatkan Dana Indonesiana. Salah satunya memperluas informasi, mudah diakses, menguatkan subtansi.
Artinya, teman-teman komunitas ini perlu diperkuat, ditambah Dana Indonesiana ini tahun 2023 ini bertambah, sedangkan pemerintah hanya fasilitator, bukan melakukan kegiatan memakai dana itu. Selain di dalam Dana Indonesiana ini juga ada beasiswa, baik untuk residensi dalam negeri maupun luar negeri. Sehingga program-program yang dimunculkan benar-benar berdampak terhadap masyarakat dan berdampak pada tujuan pemajuan kebudayaan untuk bangsa dan negara kita.
Komunitas yang dimaksud seperti apa?
Komunitas yang dimaksud semua jenis komunitas, yang terpenting berbadan hukum. Bahkan kita membantu institusional, seperti Ikatan Arkeologi, museum swasta ada juga yang bantuannya sifatnya stimulan. Asal masuk dalam tim seleksi yang objektivitasnya terjaga dan di dalamnya bermacam-macam ahli. Bisa saja selama ini informasi itu tidak sampai atawa aksesnya. Harapannya, melalui teman-teman UPT kita dan dinas yang ada di Pemda juga bisa menginformasikan, bahwa program ini bisa diakses. Di tahun 2023, informasi dan akses ini kedepannya akan kita perkuat. Sebab, komunitas atawa sanggar ini merupakan jembatan yang menghubungkan budaya dengan masyarakatnya. Sehingga tatakelola yang kita harapkan itu bisa berjalan dengan benar. Termasuk kita juga melakukan penguatan program dan pertanggungjawaban keuangan serta aturan.
Kita juga ingin, teman-teman komunitas bisa merubah polanya, bahwa kita tidak sekedar tampil, tapi budaya itu bisa kita buat sebagai perpustakaan yang bisa dibaca. Jadi, narasinya yang perlu kita bangun. Contohnya, kenapa ini orang membuat rendang, kapan bisa makannya, kok orang bilang itu kolesterol, padahal ada rempahnya. Asal rempahnya cukup, tahu cara makannya, ada daun singkong yang bisa menteralisir. Nah, narasi ini yang perlu kita bangun. Kalau museum tidak sekeder menyimpan bendanya tapi juga harus bercerita.
Kenapa kebudayaan menjadi landasan pembangunan bangsa kita ini?
Bahwa kebudayaan itu merupakan landasan untuk membentuk manusia Indonesia. Kebudayaan ini benar-benar pondasi. Jadi kita sedang menyiapkan manusia-manusia itu. Coba bayangkan, jika para penari tari Saman tidak serentak, maka akan memukul teman sebelahnya, sehingga perlu disiplin. Demikian juga dalam berteater, perlu disiplin, membuar arca juga ada komposisi dan juga bagian dari disiplin.
Anak-anak yag terbiasa berkesenian dan berkomunitas, tahu kapan maju, kapan mengerem, sebab semua ada streteginya, ada disiplinnya. Hal inilah yang kita harapkan. Artinya dari budayalah melahirkan orang-orang pekerja keras, tahan banting,disiplin, kreatif, punya strategi, membuat peluang, punya mentalitas dan lain sebagainya. Pada dasarnya, budaya kita sudah mengajarkan itu. Hal inilah yang mau kita bangkitkan kembali dan mulai kita rasakan lagi. Jadi hidup normal barunya, hidup berkelanjutan melalui kebudayaan.
Seberapa optimis untuk program di tahun 2023?
Saya sangat optimis alias optimisnya full. Hanya kita juga harus melihat situasi, sebab dampak dari covid-19 kemarin beberapa negara jadi resesi. Jadi, kita berharap program-program kerja di tahun 2023 ini bisa berdampak pada masyarakat, bangsa dan negara. Selain itu, kita juga berharap program kita ini tidak hanya dilakukan oleh kita, tapi juga dilakukan oleh “tangan-tangan lain”. Jadi saya sangat optimis untuk program kerja di tahun 2023 ini.
Biodata Singkat:
Nama dan Gelar : Drs. Fitra Arda, M.Hum
Tempat dan TanggalLahir : Bukittinggi, 23 Januari 1966
Pendidikan :
– S1 Sejarah, Universitas Andalas
– S2 Arkeologi, Universitas Indonesia
Riwayat Jabatan :
- 2004-2006,KepalaSeksi PPP Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten Wilayah Kerja Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Lampung
- 2007-2015, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau
- 2015-2016, Kepala Bagian Hukum, Kepegawaian dan Tatalaksana Sekretariat Direktorat Jenderal Kebudayaan
- 2016-2018, Kepala Bagian Perencanaan dan Penganggaran Sekretariat Direktorat Jenderal Kebudayaan
- 2018-2019, Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan
- 2019-2020, Direktur Pelindungan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan
- 2020-Sekarang, Sekretarias Direktorat Jenderal Kebudayaan